“Ritual Gaib”
dan Perdukunan Politik Menyongsong 2014
Oleh Satrio Arismunandar
Makin mendekati pemilihan umum 2014, praktik perdukunan politik semakin
marak. Para elite politik, meski mengaku berpendidikan tinggi dan rasional,
pada dasarnya tidak punya rasa percaya diri. Mereka akhirnya mengandalkan kemenangannya
pada jasa dukun-dukun politik.
Membaca deretan gelar akademis yang disandangnya,
orang bisa keliru mengira Dr KH Desembrian Rosyady S.Ag, SH, SE, MM, MBA,
sebagai ilmuwan kawakan, yang berkarir di perguruan tinggi ternama seperti UI,
atau di lembaga penelitian sekelas LIPI. Tetapi jangan kaget. Profesi pria asal
Malang ini, kalau boleh dibilang begitu, adalah “dukun politik.”
Lewat “ritual-ritual gaib,” Desembrian
mengklaim sanggup membantu menggolkan tujuan orang, yang ingin meraih jabatan
tertentu di lembaga legislatif, eksekutif, atau di manapun. Calon pengguna
jasanya cukup menyetor nama, tanggal lahir, nama orang tua, alamat, daerah
pemilihan, nama partai, hingga alamat rumah mereka. Desembrian lalu melakukan
ritual untuk menghitung peluang calon tersebut, serta berbagai pernik
persyaratan yang dibutuhkan jika mau terus maju.
Mengaku sudah buka praktik sejak 1997 di
Jakarta, Desembrian menawarkan jasanya lewat pamflet kepada para calon anggota
legislatif dan calon kepala daerah. Kepada sebuah media online, Desembrian
menyebut, tarif jasanya untuk caleg tingkat kabupaten/kota Rp 100 juta, tingkat
provinsi Rp 200 juta, untuk DPR pusat Rp 300 juta. Untuk jabatan bupati atau
wali kota, Rp 2 miliar. Sedangkan untuk jabatan gubernur, minimal Rp 5 miliar,
tergantung wilayahnya. Tarif tertinggi adalah untuk calon presiden: Rp 1
triliun!
Absurd? Boleh dibilang begitu. Tapi nyatanya,
ada saja politisi yang mau jadi pengguna jasa “dukun politik” semacam ini. Iklim
kompetisi pemilihan yang terbuka, di mana kemenangan betul-betul tergantung
pada suara rakyat, membuat sejumlah politisi yang merasa kurang populer jadi tidak
percaya diri. Di sisi lain, para elite politik yang sudah memegang jabatan,
dengan segala kenikmatan fasilitasnya, juga takut kehilangan posisi basah itu.
Memanipulasi kekuatan
adikodrati
Ketamakan pada jabatan membuat banyak
politisi menghalalkan segala cara, untuk bisa merebut atau mempertahankan
jabatan. Karena umumnya mesin partai tidak berjalan dan para calon tidak betul-betul
memahami aspirasi konstituennya sendiri, mereka pun “terjebak” untuk
menggunakan cara-cara lain. Mulai dari main uang (money politics), mengeksploitasi atau memperalat simbol-simbol
keagamaan dan primordial, serta terakhir memanfaatkan jasa “dukun-dukun
politik.”
Menurut filsuf kebudayaan Van Peursen, manusia
mempercayai adanya kekuatan adikodrati (supranatural),
yaitu kekuatan yang melebihi dunia ini dan tidak ia kuasai. Ada dua cara
menyikapi kekuatan ini. Pertama, orang ingin mengabdi pada kekuatan adikodrati
(Tuhan), maka ia menyembah Tuhan sebagai bentuk pengadian. Namun, ada juga
orang yang justru ingin memanipulasi kekuatan adikodrati, untuk tujuan menguasai manusia lain
dan kekayaan dunia. Perdukunan politik lewat “ritual-ritual
gaib” adalah salah satu wujudnya.
Dalam dunia modern yang semakin diukur dengan
nilai-nilai material, elite
politik memiliki hasrat besar untuk memiliki, menguasai, dan mengeksploitasi berbagai sumberdaya: uang,
harta benda, tanah, properti, dan mobil mewah. Semua itu diyakini akan
diperoleh melalui penguasaan jabatan-jabatan strategis dan pos-pos basah di
birokrasi pemerintahan, parlemen, kehakiman, kepolisian, perpajakan, bea cukai,
dan sebagainya.
Dalam upaya menguasai jabatan-jabatan yang
menjanjikan kemakmuran material itu, elite politik pun meminta dukungan dan memanfaatkan
jasa-jasa dukun politik, “orang pintar,” paranormal, penasehat spiritual, dan
sebagainya. Elite politik rela membayar mahal dan menjalankan ritual-ritual tertentu
demi memperoleh dan mempertahankan jabatan.
Bahkan ada juga “jimat-jimat” yang diberikan
oleh dukun susuk, untuk memberikan
jaminan kewibawaan, pesona, kecintaan, atau dukungan dari rakyat, konstituen, atau
massa pendukung. Selain itu, dukun juga diperlukan
untuk melindungi elite politik dan keluarganya dari serangan sihir, santet, teluh, tenung dari musuh-musuh
politik, yang ingin mencelakakan atau membunuh saingan politiknya.
SBY merasa diserang dengan ilmu
sihir
Banyak elite politik Indonesia percaya pada
praktik magi. Meski sudah berpendidikan formal tinggi dan mampu bersikap
rasional dalam menjalankan berbagai aktivitas politiknya, mereka terbukti tidak
lepas sepenuhnya dari alam pikiran mitis. Mereka tetap mempercayai adanya kekuatan
dan daya-daya gaib adikodrati, yang ikut berperan
signifikan
dalam kontestasi politik. Padahal
dunia politik dalam pemikiran modern sering diasumsikan sebagai dunia yang berada dalam arena rasionalitas.
Pada pemilihan presiden 2009, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menceritakan pengalamannya, yang tak banyak diketahui
publik. Menurut calon presiden petahana yang sudah menjabat presiden pada periode
2004-2009 itu, saat memasuki
pemilu banyak ilmu sihir yang dialamatkan kepadanya.
“Ini musim pemilu, musim pilpres, banyak yang
menggunakan ilmu sihir. Luar biasa, ini betul dan saya merasakan dengan
keluarga,” kata SBY. Hal itu diucapkan SBY dalam sambutan di acara dzikir
bersama di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, 3 Juli 2009. Acara itu dihadiri
ribuan orang yang berasal dari majelis taklim di wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan pengalaman tersebut, SBY
menyimpulkan, tidak ada yang tepat mengalahkan ilmu sihir kecuali dzikir.
Dzikir merupakan benteng yang paling kuat dan tidak bisa ditembus apapun. SBY
mencontohkan kejadian sebelum ia berangkat dari kediamannya ke lokasi debat
capres. “Saya pimpin dzikir dan doa sejak rumah sampai tujuan yang diikuti
istri, ajudan, dan pengemudi,” katanya.
Elite politik yang menjadi tersangka kasus korupsi
juga bisa mencari perlindungan dan penyelamatan diri ke praktik-praktik magi,
manakala merasa dirinya, karirnya, atau jabatan politiknya terancam oleh proses
tuntutan hukum. Praktik magi itu, antara lain, seperti mengunjungi makam-makam orang suci,
wali, atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Tokoh-tokoh yang sudah mati atau roh-roh itu dipercaya masih
memiliki daya dan kekuatan, dan bisa memberi pertolongan atau “bantuan gaib,”
berupa solusi terhadap masalah konkret --tuntutan hukum-- yang sedang dihadapi.
Anas Urbaningrum ke kuburan
keramat
Fenomena budaya ini tampak pada mantan Ketua
Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang berbulan-bulan menjadi sorotan
media massa. Itu terjadi sejak Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin
sering menyerang dan menyebut nama Anas, terkait kasus korupsi proyek Wisma
Atlet. Sejak merebaknya tudingan korupsi itu, Februari 2012, Anas yang waktu
itu masih menjabat Ketua Umum, gemar berziarah ke kuburan yang dianggap
keramat. Meski selalu dilakukan pada malam hari, perilaku ini juga terendus
oleh media.
Yang dikunjungi Anas adalah makam Al-Habib
Husen bin Abu Bakar bin Abdullah Alaydrus, yang terletak di kompleks Masjid
Luar Batang, daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara. Makam ini dikeramatkan warga
setempat dan menjadi tempat ziarah banyak orang. Tak sedikit peziarah datang
dari luar kota Jakarta seperti Cikarang, Cibitung dan daerah lain. Bahkan ada
yang datang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk ziarah kubur. Biasanya,
mereka yang berziarah memilih waktu malam Jumat kliwon.
Dalam perspektif ajaran Islam, sebetulnya
tidak ada larangan berziarah ke makam, dengan niat mengambil pelajaran (i’tibar). Maksudnya, untuk mengingatkan
diri kita sendiri bahwa seseorang yang dimakamkan itu semasa hidupnya boleh
jadi adalah orang yang saleh, kuat, kaya, punya banyak pengikut. Namun, itu
semua tidak dapat melebihi kekuatan dan kekuasaan Allah. Mereka semua akan
mati, dikubur dan tidak berdaya apa-apa, kecuali amal saleh yang pernah
diperbuatnya selama hidup. Namun, dalam kenyataannya, ziarah ini seringkali
dimaknai dan dipraktikkan
secara keliru. Sosok yang sudah dikubur justru dianggap punya kelebihan, punya
kekuatan, dan bahkan dijadikan tempat meminta pertolongan.
Adanya praktik perdukunan politik, yang makin
ramai dan laris setiap menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), pun diakui
Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Itu dinyatakannya pada syukuran Hari Amal
Bakti ke-66 Kementerian Agama di Pekanbaru, 8 Januari 2012.
Para elite politik yang menjalani praktik
perdukunan itu notabene adalah orang yang secara formal –tertera dalam kartu
tanda penduduk (KTP) mereka—sebagai penganut agama tertentu, yang mengajarkan
percaya penuh pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, mereka tampaknya juga masih
percaya pada daya-daya dan kekuatan
gaib lain, yang ikut bermain sebagai salah satu faktor yang berperan signifikan dalam penentuan pemenang pilkada. Menurut Nasarudin, para elite politik dan
calon yang bertarung dalam pilkada
merasa tak percaya diri jika tidak di-back
up oleh dukun. Mereka merasa tak punya pegangan.
Keberadaan dukun-dukun politik, sebagai orang
yang
dipandang mampu mengeksploitasi
dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan adikodrati untuk tujuan tertentu, sudah ada
jauh sebelum dikenal adanya konsultan-konsultan politik modern. Jadi, masuk akal jika keberadaan peran dukun dalam
kontestasi perebutan jabatan-jabatan politik dipandang sebagai fenomena budaya
yang bisa diterima masyarakat.
Seribu dukun di belakang
Soeharto
Contoh
lain yang menonjol tentang praktik magi dalam dunia politik terlihat pada zaman
kepemimpinan Presiden Soeharto. Kepemimpinan Soeharto memiliki aspek mistis, dan ini dapat dijelaskan
sebagai bagian dari budaya kepemimpinan Jawa. Namun sebagai fakta sosial,
kepemimpinannya juga menyandarkan diri kepada penasihat spiritual dan mistis.
Ada
sejumlah dukun setia yang dipercaya “memagari”
kepemimpinan Soeharto. Terdapat paling tidak “seribu dukun”di belakang Soeharto
dari seluruh penjuru negeri. Liputan media sesudah jatuhnya Soeharto tahun 1998
menyebutkan nama-nama Romo Marto Pangarso, Romo Diat, Soedjono Hoemardani, Ki
Ageng Selo, Soedjarwo, Darundrio, mbah Diran, serta Eyang Tomo sebagai sebagian
dari para penasihat spiritual yang setia.
Selain
dukungan dari penasehat spiritual, kepemimpinan Soeharto juga mendapat
“legitimasi”dari kepemilikan benda-benda gaib ageman, pulung, dan kekuatan mistis.
Soeharto setidak-tidaknya diyakini memiliki 113 pusaka dari berbagai penjuru
tanah air, yang dipercaya berkontribusi dalam memperkokoh kepemimpinan
politiknya.
Soeharto
bahkan memiliki pusaka andalan berupa “Mirah
Delima” yang dipercayai banyak membantunya dalam menjalankan tugas-tugas
kepemimpinannya. Hal itu dinyatakan oleh Ki
Edan Amongrogo, salah satu tokoh spiritual.
Maka,
keberadaan dukun, pusaka, dan kepemimpinan Soeharto yang seolah-olah tidak bisa
dipisahkan itu, menggarisbawahi bahwa praktik magi memang masih berlangsung di kalangan elite
politik Indonesia,
sampai saat sekarang. (Dirangkum dari berbagai sumber)
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2013/09/ritual-gaib-dan-perdukunan-politik.html
Dimuat di Majalah AKTUAL edisi terbaru.
Alamat Redaksi: Cawang Kencana Building ist Floor Suite 101,
Jl. Mayjen Sutoyo Kav.22 Cawang, Jakarta 13630.
Telp: (021) 8005520, E-mail: majalah@aktual.co
Satrio Arismunandar Mobile Phone: 081286299061
e-mail: satrioarismunandar@yahoo.com
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://facebook.com/satrio.arismunandar
e-mail: satrioarismunandar@yahoo.com
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://facebook.com/satrio.arismunandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar