Jakarta,
LIPUTANSATU – Hasil studi terbaru yang mengejutkan dari
Universitas Harvard dan Universitas Columbia memperkirakan 100.300 kasus
kematian dini akibat krisis kebakaran yang menghancurkan hutan
Indonesia tahun lalu, 91.600 diantaranya terjadi di Indonesia [1].
Perkiraan ini sangat jauh di atas pernyataan resmi pemerintah Indonesia
tahun lalu yang menyebutkan 19 orang meninggal karena asap. [2] Penelitian
yang diumumkan hari ini menggunakan metode pembacaan polusi udara dan
data satelit untuk menghitung paparan asap kebakaran hutan. Studi ini
juga melaporkan perkiraan kasus kematian dini di Singapura mencapai
2.200, dan 6.500 di Malaysia.
Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi mengatakan:
"Lebih
dari seratus ribu kematian dini diperkirakan terjadi tahun lalu. Dan
sekarang kebakaran hutan kembali terjadi. Jika tidak ada perbaikan, asap
yang mematikan ini akan menyebabkan angka kematian yang lebih
mengerikan dari tahun ke tahun. Pemerintah dan industri harus mengambil
tindakan nyata untuk menghentikan pembukaan hutan dan pengeringan gambut
untuk perkebunan.”
“Saat
amukan kebakaran tahun lalu, pemerintah Indonesia mengakui 43 juta
orang terpapar kabut asap di seluruh Indonesia dan setengah juta di
antaranya menderita penyakit pernafasan. Sekarang kita tahu besaran
korban meninggal, kegagalan bertindak cepat untuk membendung hilangnya
kehidupan adalah sebuah kejahatan.”
Selain kebakaran tahun 2015, tim independen yang terdiri dari 12 orang ilmuwan yang ahli di bidang kesehatan masyarakat dan atmospheric modelling juga
meneliti kebakaran hutan buruk lainnya di tahun 2006. Selama periode
Juli-Oktober 2006, mereka menemukan perkiraan kasus kematian dini
sebanyak 37.600 jiwa, 34.600 di antaranya di Indonesia, 2.300 di
Malaysia dan 700 di Singapura. Terbakarnya perkebunan konsesi kelapa
sawit dan bubur kertas pada tahun 2006 tercatat menyumbang emisi
sekitar 40% di Sumatera dan sekitar 25% di Kalimantan.
Kebakaran
di lahan gambut yang dikeringkan untuk perkebunan adalah penyumbang
terbesar asap yang mematikan di kawasan regional, api yang membara dalam
hitungan hari dan minggu bisa tiga hingga enam kali lebih banyak
partikel asapnya dibandingkan dengan kebakaran di jenis tanah lainnya.
[3] Laporan terbaru ini menemukan bahwa kebakaran di lahan gambut
menyumbang 72% dari emisi yang dilepaskan dari kebakaran di Sumatera dan
43% di Kalimantan sebagaimana terekam satelit pada tahun 2015.
Greenpeace dan LSM lainnya telah lama mendesak perlindungan menyeluruh
terhadap hutan dan gambut guna mencegah kebakaran.
Kerugian
terhadap kesehatan manusia yang dihitung dalam laporan ini merupakan
perkiraan konservatif, dampak sebenarnya bisa lebih besar lagi karena
studi ini tidak memasukkan dampak kesehatan atas kandungan racun lainnya
yang terbentuk pada asap seperti karbon monoksida, formaldehyde,
hydrogen cyanide, arsenic dan lainnya. [4] Penelitian ini hanya
menghitung jumlah kematian orang dewasa karena menghirup partikel asap
yang dikenal sebagai PM2.5 dalam konsentrasi tinggi. Dengan ukuran 2.5
mikrometer atau lebih kecil, partikel yang sangat kecil ini dapat
terhirup dan terserap ke aliran darah. Partikel ini dikenal sebagai
penyebab kematian akibat dampaknya pada paru-paru, jantung dan penyakit
peredaran darah lainnya termasuk asma, serangan jantung dan stroke. [5]
Penelitian ini tidak mencakup tingkat bahaya partikel jika terhirup oleh
anak-anak, meskipun laporan ini mencatat bahwa dampak terhadap
anak-anak cenderung signifikan.”
Sementara
itu Dr Nursyam Ibrahim, Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah
Kalimantan Barat mengatakan bahwa selama berlangsungnya kebakaran hutan
dan gambut, terjadi peningkatan secara masif kasus penyakit yang
berhubungan dengan saluran pernapasan.
“Dampak
paling besar dari terhirupnya partikel debu yang terbawa bersama asap
dari kebakaran hutan gambut dirasakan oleh kelompok rentan seperti orang
tua/lansia, ibu hamil, terutama bayi dan balita,” kata Nursyam.
“Kami,
IDI Wilayah Kalbar meminta semua pihak bersama-sama mencegah terjadinya
kebakaran khususnya gambut, karena yang dipertaruhkan adalah penurunan
kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Kamilah para
dokter yang merawat kelompok rentan yang terpapar asap beracun tersebut
di semua sentra pelayanan kesehatan dan betapa menakutkan melihat gejala
penyakit yang dialami bayi dan balita saat merawat mereka,” tambahnya
Yuyun menambahkan:
“Teknik modelling yang didukung dengan pemetaan real time untuk
mengetahui tingkat risiko kematian dari Universitas Harvard dan
Universitas Columbia ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Ini merupakan terobosan baru yang menunjukkan pusat-pusat populasi yang
terdampak asap hingga luas cakupan 50 hektar . Kita bisa menggunakannya
untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan yang terlibat
serta mengirim petugas kebakaran hutan yang terbatas jumlahnya untuk
memadamkan api di tempat yang paling berbahaya, hal ini akan
menyelamatkan nyawa manusia lebih cepat dan lebih banyak lagi.”
“Pekan
depan, Komisi Informasi Pusat di Jakarta akan menyampaikan sebuah
keputusan penting, saya berharap mereka mengabulkan permohonan
Greenpeace untuk mendapatkan peta konsesi perkebunan dalam format data
digital shapefile, yang mempermudah penerapan teknik baru ini untuk
penanggulangan bencana asap. Ini saatnya bagi Indonesia untuk
menyelamatkan ribuan nyawa dari bencana melalui tangan tiga komisioner
KIP dan keputusan mereka pada Minggu depan.” [e]
Catatan untuk editor:
[1]
Perlu dicatat bahwa Greenpeace tidak terlibat dan terkait apa pun
dengan penelitian ini, kami hanya diberi salinannya. Laporan ini
dipublikasikan setelah waktu embargo di atas oleh Jurnal Environmental Research Letters (ERL) dengan
judul “Dampak Kesehatan Masyarakat akibat Asap di Ekuatorial Asia pada
September - Oktober 2015: demonstrasi kerangka baru untuk
menginformasikan pengelolaan strategis dalam mengurangi paparan asap
menurut arah angin.” Kutipan sebagaimana Koplitz et al 2016 Environ.
Res. Lett. 11 094023 Doi: 10.1088/1748-9326/11/9/094023 dan akan
dipublikasikan secara online di sini:http://iopscience.iop.org/ article/10.1088/1748-9326/11/ 9/094023
[2] http://www.thejakartapost. com/news/2015/10/24/haze- kills-10-people-leaves-503874- with-respiratory-ailments- agency.html and http://www. dailymail.co.uk/wires/afp/ article-3292990/Indonesia- upgrades-death-toll-haze-19. html
[4] Sebagai contoh, ketika Center for International Forestry Research (CIFOR)
mengukur tingkat karbon monoksida di Kalimantan Tengah pertengahan
Oktober 2015, tingkatnya 30 kali lipat lebih tinggi dari normal,
walaupun dalam ruangan dan 30 kilometer jauhnya dari titik api terdekat.
Rajasekhar Balasubramanian bersama koleganya di National University of Singapore(NUS)
dalam studi 2013, menemukan udara di Singapura selama periode asap
kebakaran hutan mengandung arsenik, chromium, cadmium dan elemen
karsinogenik lainnya. Mereka memperkirakan bahwa jika asap terjadi
sepuluh hari setiap tahun dan berlangsung selama 70 tahun di Singapura,
maka kemungkinan angka kasus kanker akan meningkat mendekati
setengahnya.
[5]
Riset Universitas Edinburgh telah menunjukkan meski paparan jangka
pendek terhadap polutan udara meningkatkan risiko kesehatan atau
kematian dari stroke dalam tujuh hari berikutnya dan efek samping
terkuat terlihat pada waktu yang sama saat terpapar partikel PM2.5. http://www.ed.ac.uk/ news/2015/pollutionstroke- 260315.
[6] Latar belakang sengketa informasi Greenpeace Indonesia bisa dilihat dihttp://www.greenpeace.org/ seasia/id/blog/riau-terbakar- lagi-greenpeace-mengambil- langk/blog/56862/
---------- Pesan terusan ----------
Dari: Greenpeace Indonesia <indonesia@act.greenpeace.org>
Tanggal: 22 September 2016 10.43
Subjek: 100.300 kematian dini selama kebakaran hutan Indonesia 2015
Kepada: yayasanps@gmail.com
Dari: Greenpeace Indonesia <indonesia@act.greenpeace.org>
Tanggal: 22 September 2016 10.43
Subjek: 100.300 kematian dini selama kebakaran hutan Indonesia 2015
Kepada: yayasanps@gmail.com
Klik di sini untuk Balas atau Teruskan
|
2,9 GB (19%) dari kuota 15 GB telah digunakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar