Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Jakarta dan International Labour Organization (ILO) Jakarta, akan mengadakan “Diskusi
Publik dan Pemutaran Video Diary tentang Pekerja Anak Indonesia”. Acara akan
berlangsung tanggal 24 Juni 2012 di Jakarta. Diskusi ini
bertujuan untuk memperbarui perkembangan isu pekerja anak untuk rekan-rekan
media.
Adapun Agenda tersebut
adalah sebagaiberikut :
1. Pemutaran Video Diary Pekerja
Anak
2. Diskusi Publik : Masa depan
Pekerja Anak di Indonesia
3. Launching Program: Fellowship dan
Media Award untuk Jurnalis (AJI dan ILO)
Video Diary tentang pekerja anak
yang berjudul: “Aku Masa Depanmu, Indonesia!” dikerjakan oleh para pekerja anak
di beberapa daerah di Indonesia, yang di fasilitasi oleh Yayasan Kampung
Halaman. Video ini merupakan hasil karya dari para pekerja anak di Jakarta,
Sukabumi dan Makassar di lima sektor: anak jalanan, anak pemulung, pekerja
Rumah tangga anak, pekerja pabrik anak dan pekerja seks komersial anak. Video
ini merekam perjuangan keseharian mereka dan harapan mereka sebagai anak
Indonesia.
Dalam diskusi ini akan hadir
pembicara dari ILO yang akan memberikan data terbaru tentang pekerja anak, dari
praktisi pendidikan anak, dan dari pemerintah (lihat kerangka acuan kegiatan).
Term Of Reference (TOR)
Pemutaran Video Diary, Launching Program & Diskusi
Publik untuk Jurnalis
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta &
International Labour Organization (ILO)
Persoalan pekerja anak di Indonesia,
tak hanya sekedar eksploitasi atas tenaga mereka. Melainkan juga eksploitase
atas seksualitas mereka. Lihat saja kenyataan yang
cukup fantastis ini. Data menyebutkan bahwa banyak anak di bawah umur yang
sudah bekerja. Mereka tak sekolah, dalam kondisi miskin dan rentan mendapatkan
perlakuan eksploitase seksual dan tenaga kerja. Sebanyak 1,7 juta anak bekerja di
lingkungan yang berbahaya dan harus ditarik kembali ke sekolah. Kenyataan lain
sebanyak 688 ribu anak bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Data lain
juga mengungkapkan, banyak pekerja anak yang kemudian dinikahkan siri dan
dijual ke luar negeri.
Inilah
data lengkapnya. Survei nasional yang digelar oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Labour Organization (ILO)
pada 2009 membuktikan, dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17 yang mencapai
58,8 juta orang anak, sebanyak 4,05 juta orang atau 6,9% adalah anak yang masuk
dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah anak yang bekerja tersebut,
sebanyak 1,76 juta orang atau 43,3% merupakan pekerja anak dalam bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak.
Data
lainnya dalam survey tersebut menyebutkan, dari jumlah total anak berusia 5-17,
sebanyak 81,8% berstatus bersekolah, 41,2% terlibat dalam pekerjaan rumah, dan
11,4% tergolong sebagai ‘idle’, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu
di rumah dan tidak bekerja.
Sekitar
50% pekerja anak bekerja sedikitnya bekerja selama 21 jam per minggu dan 25%
sedikitnya bekerja selama 12 jam per minggu. Rata-rata, anak bekerja selama
25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong dalam kelompok pekerja
anak bekerja selama 35,1 jam per minggu. Dan 20,7% dari anak yang bekerja itu
bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu.
Kondisi ini tidak hanya terjadi
pada kota-kota besar yang menjadi sentra industri, tetapi juga tersebar di kota
kecil. Patrick Daru, Chief Technical Adviser of the ILO Education and Skill
Program, pada awal Juni tahun lalu (2011) mengatakan pekerja anak ditemukan di
hampir di semua kabupaten.
Pekerja ditemukan pada
beberapa sektor yang berbahaya. Diantaranya ialah anak yang dilacurkan, pekerja
anak di industri pertambangan, pekerja anak di bidang konstruksi, pekerja
anak pada perikanan lepas pantai, pekerja anak sebagai pemulung
sampah, pekerja anak di jalanan, dan pekerja rumah tangga anak.
Sejumlah upaya telah dilakukan
pemerintah untuk menarik pekerja anak, termasuk anak-anak yang bekerja dalam
kondisi bahaya. Dari sisi pemerintah, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
misalnya, pada tahun ini berencana menarik sebanyak 11.000 pekerja anak dari
sejumlah perusahaan untuk disekolahkan kembali di sekolah formal. Pemerintah
menerjunkan tim ke beberapa daerah untuk menarik para pekerja anak tersebut.
Begitu pula dengan Lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Lembaga Advokasi Anak (LADA) misalnya mengadakan
program pelatihan keterampilan kerja dan kesempatan magang bagi eks pekerja
anak perkebunan di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Pada tahun
2009-2010, LADA memberikan pelatihan kerja reparasi motor kepada 62 anak
laki-laki dan latihan kejuruan tata rias kepada 38 anak perempuan agar mereka
tidak bekerja di perkebunan.
Indonesia sejatinya merupakan salah
satu negara paling produktif dalam mengeluarkan berbagai peraturan dan
kebijakan yang bertujuan untuk “memerangi” sector pekerja anak. Dalam sebuah
diskusi kelompok terarah pada Januari 2011 oleh International Labor
Organization (ILO) di Jakarta, para aktivis yakin bahwa Indonesia memiliki
peraturan yang cukup guna mengatasi permasalahan jika regulasi yang ada
dijalankan dengan semestinya.
Di sinilah media memainkan peranan
yang sangat penting. Dengan pemberitaan yang mendalam, publik mendapatkan
informasi mengenai kondisi pekerja anak di dalam negeri, tantangan yang dihadapi
untuk menghapuskan pekerja anak, dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Tidak hanya itu saja, media juga mampu menjalankan perannya untuk memberikan
suara bagi pekerja anak (giving voice to the voiceless).
Tulisan yang hadir di media dapat menghadirkan
realitas yang terjadi di sudut-sudut jermal, di pondok-pondok tempat buruh anak
melepas lelah sehabis bekerja di pabrik, di perempatan jalan di Jakarta, di
bilik-bilik tempat anak yang dilacurkan, hingga di kedalaman laut tempat si
penyelam pengambil mutiara.
Perluasan informasi ini juga
mampu menggalang keikutsertaan publik untuk berpartisipasi menghapus pekerja
anak. Bagi pemilik usaha misalnya, mereka sadar untuk tidak lagi mempekerjakan
anak-anak.
Sayangnya, di Indonesia, media
dan wartawan secara umum masih belum memiliki informasi dan pengetahuan yang
cukup tentang persoalan pekerja anak. Akibatnya perhatian media terhadap
persoalan pekerja anak masih menim dan tidak berkelanjutan.
Sumber-sumber untuk peliputan yang
lebih mendalam jumlahnya juga sangat terbatas. Alhasil, jurnalis sering kali
terpaksa hanya memberitakan apa yang ada di permukaan akibat minimnya kemampuan
dan biaya. Selain itu, kebijakan media di Indonesia yang sering kali menugaskan
jurnalis untuk meliput beragam bidang juga menjadi hambatan. Akibatnya,
kualitas pemberitaan kurang mendalam. Di sisi lain, media-media di Indonesia
akan sangat terbantu jika ada program dari organisasi jurnalis yang mendorong
jurnalis untuk menghasilkan peliputan mendalam tentang pekerja anak.
Karena itu AJI Jakarta dan ILO akan
mengadakan peluncuran program: Fellowship dan Media Award untuk jurnalis.
Kegiatan ini dapat menjadi ajang kampanye tentang isu pekerja anak di kalangan
media, sekaligus mendorong jurnalis menghasilkan karya jurnalistik yang
berkualitas. Melalui tulisan yang mendalam diharapkan timbul kesadaran bersama
untuk menghapus pekerja anak di Indonesia.
Selain itu dalam kesempatan ini
Yayasan Kampung Halaman (YKH) akan meluncurkan sebuah Video Diary berjudul :
Aku, Masa Depanmu Indonesia!. Video ini merupakan video Partisipatori
yang dibuat oleh para pekerja anak di Indonesia yang menceritakan tentang
kehidupan anak-anak yang tak sekolah dan harus bekerja untuk menghidupi dirinya
sendiri. Mereka adalah: anak-anak jalanan, pemulung anak, pekerja Rumah tangga
anak, pekerja pabrik anak dan pekerja seks komersial anak. Realitas anak-anak
Indonesia inilah yang ditampilkan dari Video ini. ILO percaya bahwa video
partisipatori ini akan meingkatkan kesadaran dan rasa prioritas masyarakat
terutama bagi para pembuat kebijakan pekerja anak.
Acara :
1. Pembukaan
: Peter van Rooij (Direktur ILO Indonesia)
2. Launching
dan pemutaran Video Diary Pekerja Anak “ Aku Masa Depanmu, Indonesia!
(Yayasan
Kampung Halaman)
3. Diskusi
publik: Persoalan Pekerja Anak di Indonesia
A.
Dede Sudono (Staf Nasional untuk Pekerja Anak dan Pendidikan ILO)
Memaparkan
tentang tentang kondisi terkini para pekerja anak di Indonesia.
B.
Bambang Wisudo (Pengajar di sekolah tanpa batas)
Memaparkan
tentang mensiasati sekolah alternatif untuk anak-anak di Indonesia.
Apakah
pendidikan di Indonesia relatif sudah memberikan kesempatan bagi anak-
anak
yang jatuh dalam kemiskinan, sudah memberikan tempat bagi para buruh anak,
pekerja
anak dan anak-anak marjinal di Indonesia?
C.
Maria Yohanista (Aktivis anak/ Mitra Imade)
Pekerja
anak dan persoalan yang belum usai.
D.
Hendar (Pemerintah/ Kemenakertrans RI)
Tanggung
jawab pemerintah dalam menarik pekerja anak untuk masuk sekolah.
4. Launching Program dan Media Briefing: Program Fellowship dan
Media Award untuk Jurnalis.
Jadwal Acara
Pemutaran Film, Launching Program & Diskusi Publik untuk
Jurnalis
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta &
International Labour Organization (ILO)
Minggu, 24 Juni 2012:
12.00 - 12.45 Registrasi dan
makan siang
12.45 - 13.00 Pembukaan oleh:
Direktur ILO, Peter Van Rooij
13.00 - 13.15 Pemutaran Video
Diary Pekerja Anak oleh Yayasan Kampung Halaman
13.15 - 13.30 Presentasi
Yayasan Kampung Halaman tentang proyek Video Diary
13.30 - 14.30 Diskusi publik/
Talkshow: Persoalan Pekerja Anak di Indonesia
14.30 - 15.00 Sesi tanya
jawab
15.00 - 15.30 Peluncuran
program ILO - AJI Jakarta
15.30 -
Penutupan
Informasi
Dapatkan informasi lengkap dengan menghubungi:
1. Sekretariat AJI Jakarta, Jl. Kalibata Timur IV G No. 10 Kalibata, Jakarta
Selatan 12740 –
Telepon/Fax: 021-7984105, email: ajijak@cbn.net.id,
2. Sdr. Aulia Afrianshah (Rio), Hp: 0852 7657 2757 dan
3. Sdr. Yus Ardhiansyah, Hp: 0811 807 1416.