Siaran Pers Komnas Perempuan Hentikan Eksekusi Mati ke 3:
Apakah Negara Harus Menghukum Mati Perempuan Korban Kekerasan yang Terindikasi Korban Perdagangan Orang dan Korban Sindikat Narkoba?
Jakarta, 26 Juli 2016
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai mekanisme HAM Nasional dalam pemantauannya menemukan fakta kerentanan berlapis yang dialami perempuan pekerja migran, korban trafficking dan korban sindikasi kejahatan narkoba serta perlakuan semena-mena dalam proses peradilan dibalik hukuman mati. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, terhadap 12 pekerja migran dan atau keluarga terpidana mati di luar negeri serta 4 perempuan terpidana mati di Indonesia, ditemukan sejumlah hal serius berikut ini:
1. Jaringan perdagangan internasional narkoba menyasar dan memanfaatkan kerentanan perempuan pekerja migran karena mereka mempunyai paspor dan dokumen untuk dapat bergerak lintas negara, namun jauh dari pantauan keluarga dan perlindungan negara. Mereka adalah para perempuan pekerja migran yang sedang memperjuangkan hidupnya dan keluarganya untuk keluar dari kemiskinan dan menghindari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya. Berbagai modus yang digunakan jaringan tersebut, dengan pendekatan personal, relasi pacaran dan penipuan untuk dijadikan kurir. Ironisnya, perempuan pekerja migran yang dijebak jadi kurir dan menjadi korban perdagangan orang baik proses, cara dan tujuan eksploitasi, kerap tidak dikenali aparat negara dan penegak hukum;
2. Kejahatan sindikasi narkoba internasional menyasar perempuan muda, perempuan korban kekerasan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan miskin dan perempuan dengan pendidikan maupun informasi yang terbatas;
3. Terpidana mati perempuan dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami kekerasan dan diskriminasi berlipat karena pelakunya cenderung orang dekat atau dengan menggunakan modus pacaran/hubungan intim bahkan oleh suami atau sahabat sendiri. Terpidana rentan menjadi korban kekerasan seksual, pemukulan, dikucilkan atau bahkan dibuang oleh keluarga, mengalami penghukuman dan penghakiman sosial;
4. Terpidana mati perempuan dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami kekerasan dan eksploitasi selama dalam proses penyidikan dan penyelidikan. Akses terhadap keadilan terbatas, baik dampingan hukum yang minim dan putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan posisinya sebagai korban perdagangan orang dan kejahatan narkoba. Pengadilan justru mengabaikannya dengan mempertimbangkan banyaknya kurir yang mengaku sebagai korban, namun tidak dibarengi dengan perbaikan sistem investigasi, penyelidikan dan penyidikan memadai dalam pemberantasan narkoba;
5. Terpidana mati pada awalnya memilih tidak di ekspose media untuk menghindari resiko lebih buruk, dan baru memperbolehkan di ekspose ke publik pada detik-detik ketika akses keadilan hampir tertutup maupun haknya sudah dibatasi menjelang eksekusi;
6. Hukuman mati adalah kejahatan yang bukan hanya menyiksa dan menghukum mati terpidana, tetapi juga menyiksa seluruh anggota keluarga mereka. Kekejaman yang dirasakan terpidana maupun keluarga adalah kematian yang dicabut oleh negara, bentuk dan proses penghukumannya, masa traumatik sepanjang hidup dan penantian yang memicu atau berdampak beragam, baik upaya bunuh diri, kematian anggota keluarga, stroke dan sakit yang sulit pulih, gangguan mental dan ingatan, hingga hilang semangat hidup dan trauma maupun kebencian ekstrem pada sesuatu. Untuk itu maka hukuman mati melanggar hak asasi manusia.
Oleh karenanya, menyikapi rencana eksekusi tahap 3 ini, Komnas Perempuan menyatakan:
1. Komnas Perempuan sangat mendukung upaya serius negara untuk memberantas narkoba hingga ke akar jaringan narkoba, namun menentang solusi hukuman mati, terlebih kepada perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba;
2. Negara mengkaji dan mempertimbangkan penundaan eksekusi, terutama kepada MU (lihat detail lembar fakta) yang sedang mengajukan proses grasi akibat keterlambatan pemberitahuan penolakan PK. MU adalah perempuan mantan pekerja migran yang menjadi korban KDRT dan dipaksa menjadi pekerja migran oleh suami, dan berakhir dengan dijebak oleh sindikat narkoba internasional. MU terindikasi korban perdagangan orang yang terjebak dalam sindikat narkoba.
3. Presiden RI agar mengabulkan upaya grasi yang tengah diajukan, khususnya oleh MU, agar seluruh upaya hukum dapat diberikan pada terpidana mati serta agar negara tidak melakukan kelalaian yang menghilangkan nyawa orang yang seharusnya dilindungi negara;
4. Negara harus mereformasi akses keadilan terutama perempuan korban melalui:
a. Memperbaiki sistem investigasi dan penanganan perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba;
b. Menguatkan sistem bantuan hukum dan memberi kesempatan kepada para terpidana mati, terutama perempuan korban kekerasan dan perdagangan orang untuk mendapatkan akses keadilan dan proses hukum yang adil dan komprehensif;
c. Menyerukan kepada seluruh Aparat Penegak Hukum (APH), untuk cermat memproses hukum para perempuan yang terjebak menjadi kurir narkoba dan menghindari putusan hukuman mati untuk menghindari penistaan keadilan bagi perempuan korban;
5. Menyerukan kepada semua pihak terutama media, untuk tidak membuat pemberitaan yang mereviktimisasi terpidana maupun keluarganya, karena terdakwa dan terpidana sudah cukup lama hidup dalam stigma dan trauma panjang.
Kontak Narasumber:
Azriana, Ketua (0811672441)
Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua (081311130330)
Sri Nurherwati, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (082210434703)
Adriana Venny, Komisioner Advokasi Internasional (0856 1090 619)
Imam Nahei, Komisioner (082335346591)
Apakah Negara Harus Menghukum Mati Perempuan Korban Kekerasan yang Terindikasi Korban Perdagangan Orang dan Korban Sindikat Narkoba?
Jakarta, 26 Juli 2016
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai mekanisme HAM Nasional dalam pemantauannya menemukan fakta kerentanan berlapis yang dialami perempuan pekerja migran, korban trafficking dan korban sindikasi kejahatan narkoba serta perlakuan semena-mena dalam proses peradilan dibalik hukuman mati. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, terhadap 12 pekerja migran dan atau keluarga terpidana mati di luar negeri serta 4 perempuan terpidana mati di Indonesia, ditemukan sejumlah hal serius berikut ini:
1. Jaringan perdagangan internasional narkoba menyasar dan memanfaatkan kerentanan perempuan pekerja migran karena mereka mempunyai paspor dan dokumen untuk dapat bergerak lintas negara, namun jauh dari pantauan keluarga dan perlindungan negara. Mereka adalah para perempuan pekerja migran yang sedang memperjuangkan hidupnya dan keluarganya untuk keluar dari kemiskinan dan menghindari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya. Berbagai modus yang digunakan jaringan tersebut, dengan pendekatan personal, relasi pacaran dan penipuan untuk dijadikan kurir. Ironisnya, perempuan pekerja migran yang dijebak jadi kurir dan menjadi korban perdagangan orang baik proses, cara dan tujuan eksploitasi, kerap tidak dikenali aparat negara dan penegak hukum;
2. Kejahatan sindikasi narkoba internasional menyasar perempuan muda, perempuan korban kekerasan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan miskin dan perempuan dengan pendidikan maupun informasi yang terbatas;
3. Terpidana mati perempuan dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami kekerasan dan diskriminasi berlipat karena pelakunya cenderung orang dekat atau dengan menggunakan modus pacaran/hubungan intim bahkan oleh suami atau sahabat sendiri. Terpidana rentan menjadi korban kekerasan seksual, pemukulan, dikucilkan atau bahkan dibuang oleh keluarga, mengalami penghukuman dan penghakiman sosial;
4. Terpidana mati perempuan dengan tuduhan kejahatan narkoba mengalami kekerasan dan eksploitasi selama dalam proses penyidikan dan penyelidikan. Akses terhadap keadilan terbatas, baik dampingan hukum yang minim dan putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan posisinya sebagai korban perdagangan orang dan kejahatan narkoba. Pengadilan justru mengabaikannya dengan mempertimbangkan banyaknya kurir yang mengaku sebagai korban, namun tidak dibarengi dengan perbaikan sistem investigasi, penyelidikan dan penyidikan memadai dalam pemberantasan narkoba;
5. Terpidana mati pada awalnya memilih tidak di ekspose media untuk menghindari resiko lebih buruk, dan baru memperbolehkan di ekspose ke publik pada detik-detik ketika akses keadilan hampir tertutup maupun haknya sudah dibatasi menjelang eksekusi;
6. Hukuman mati adalah kejahatan yang bukan hanya menyiksa dan menghukum mati terpidana, tetapi juga menyiksa seluruh anggota keluarga mereka. Kekejaman yang dirasakan terpidana maupun keluarga adalah kematian yang dicabut oleh negara, bentuk dan proses penghukumannya, masa traumatik sepanjang hidup dan penantian yang memicu atau berdampak beragam, baik upaya bunuh diri, kematian anggota keluarga, stroke dan sakit yang sulit pulih, gangguan mental dan ingatan, hingga hilang semangat hidup dan trauma maupun kebencian ekstrem pada sesuatu. Untuk itu maka hukuman mati melanggar hak asasi manusia.
Oleh karenanya, menyikapi rencana eksekusi tahap 3 ini, Komnas Perempuan menyatakan:
1. Komnas Perempuan sangat mendukung upaya serius negara untuk memberantas narkoba hingga ke akar jaringan narkoba, namun menentang solusi hukuman mati, terlebih kepada perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba;
2. Negara mengkaji dan mempertimbangkan penundaan eksekusi, terutama kepada MU (lihat detail lembar fakta) yang sedang mengajukan proses grasi akibat keterlambatan pemberitahuan penolakan PK. MU adalah perempuan mantan pekerja migran yang menjadi korban KDRT dan dipaksa menjadi pekerja migran oleh suami, dan berakhir dengan dijebak oleh sindikat narkoba internasional. MU terindikasi korban perdagangan orang yang terjebak dalam sindikat narkoba.
3. Presiden RI agar mengabulkan upaya grasi yang tengah diajukan, khususnya oleh MU, agar seluruh upaya hukum dapat diberikan pada terpidana mati serta agar negara tidak melakukan kelalaian yang menghilangkan nyawa orang yang seharusnya dilindungi negara;
4. Negara harus mereformasi akses keadilan terutama perempuan korban melalui:
a. Memperbaiki sistem investigasi dan penanganan perempuan korban perdagangan orang yang dijebak dan ditipu untuk menjadi kurir narkoba;
b. Menguatkan sistem bantuan hukum dan memberi kesempatan kepada para terpidana mati, terutama perempuan korban kekerasan dan perdagangan orang untuk mendapatkan akses keadilan dan proses hukum yang adil dan komprehensif;
c. Menyerukan kepada seluruh Aparat Penegak Hukum (APH), untuk cermat memproses hukum para perempuan yang terjebak menjadi kurir narkoba dan menghindari putusan hukuman mati untuk menghindari penistaan keadilan bagi perempuan korban;
5. Menyerukan kepada semua pihak terutama media, untuk tidak membuat pemberitaan yang mereviktimisasi terpidana maupun keluarganya, karena terdakwa dan terpidana sudah cukup lama hidup dalam stigma dan trauma panjang.
Kontak Narasumber:
Azriana, Ketua (0811672441)
Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua (081311130330)
Sri Nurherwati, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan (082210434703)
Adriana Venny, Komisioner Advokasi Internasional (0856 1090 619)
Imam Nahei, Komisioner (082335346591)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar