Undangan Diskusi
Institut Peradaban
Pada
Rabu tanggal 19 September 2012 pukul 13.00
bertempat di Lantai
III Gedung I BPPT, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat
Insitut Peradaban
akan mengadakan diskusi dengan tema
Faktor Jawa dalam Politik Indonesia
Pembicara dalam
diskusi tsb:
Romo Prof. Dr.
Frans Von Magnis Suseno,
Brigjen TNI (Purn)
Dr Saafroedin Bahar,
Harry Tjan Silalahi
(CSIS).
Institut
Peradaban sangat mengharapkan kedatangan dan partisipasi Anda pada diskusi
tersebut.
Atas nama Institut
Peradaban:
Prof. Dr. Jimly
Asshidiqie,SH
Prof Dr. Salim
Said,MA MAIA.
Mengingat
terbatasnya ruangan, kami berharap Anda meluangkan waktu sedikit untuk
mengkonfirmasi rencana kedatangan Anda lewat Email
Admin@institutperadaban.org atau HP: 0821 2314
7969
Pada awal kemerdekaan Republik
Indonesia, dua tokoh utama perjuangan nasional, Sukarno dan Mohammad Hatta,
dipilih menduduki kursi kepemimpinan negara. Sukarno sebagai Presiden dan Hatta
sebagai wakil. Kepemimpinan Dwitunggal yang berasal dari Jawa (Sukarno) dan
Sumatra (Hatta) waktu itu dan untuk waktu lama dipandang oleh banyak orang
sebagai sekali gus mewakili Jawa (Sukarno) dan luar Jawa (Hatta).
Keretakan Dwitunggal yang diikuti
dengan pengunduran diri Hatta dari jabatan Wakil Presiden
1956 kebetulan diikuti dengan pemberontakan daerah (PRRi) pada tahun 1958. Waktu
itu dan mungkin hingga kini banyak yang menafsirakn perkembangan tragis demikian
sebagai salah satu akibat dari sudah tidak diwakilinya suara-suara luar Jawa
dalam pusat kekuasaan Republik Indonesia. Pemerintah di Jakarta dianggap
memusatkan perhatian dalam membangun pulau Jawa dan menterlantarkan daerah luar
Jawa yang merupakan penghasil devisa utama Indonesia.
Setelah Gestapu, Sukarno
digantikan oleh Soeharto. Kalau Presiden pertama Indonesia mendapatkan
pendidikan tinggi dan mengembangkan pikiran berdasarkan pemikiran dan konsep
politik Barat, Soeharto berlatar pendidikan domestik seadanya. Maka tidaklah
mengherankan jika referensi Soeharto terbatas dan bersumber hanya pada
ajaran-ajaran etika dan dan politik Jawa yang diperolehnya
dalam perjalanan hidupnya selama tumbuh di Jawa Tengah. Maka masa kepemimpinan
Soeharto yang otoriter adalah juga masa ketika secara budaya
Indonesia mengalami ”Jawanisasi.” Klau pada masa Sukarno kosa kata
wacana politik Indonesia banyak berasal dari literature Barat yang
menjadi acuan Sukarno dan generasinya, maka pada masa Soeharto politik Indonesia
dipenuhi dengan jargon-jargon yang bersumber padai khasanah
pemikiran dan gagasan kekuasaan Jawa.
Fenomona terakhir inilah barangkali yang mendorong Ben Anderson dari Cornell
University untuk menulis esei yang berjudul The idea of Power in Javanese
Culture.
Pada masa pasca Orde Baru, dalam
pemilihan Presiden secara langsung, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
sebagai Presiden dengan Mohammad Jusuf Kalla (JK) sebagai wakilnya. Pada masa
itu orang teringat pada Dwitunggal Sukarno- Hatta yang masing-masing mewakili
dua bagian Indonesia, Jawa dan Luar Jawa. Tapi pada periode kedua kepemimpinan
SBY beliau memilih Dr. Budiono sebagai wakilnya. Karena soliditas Indonesia
sudah jauh lebih maju dibanding kondisi pertengahan tahun limapuluhan, maka
tidak terjadi hal yang dramatis sebagai akibat tampilnya dua orang dari etnis
Jawa sebagai pemimpin tertinggi Indonesia.
Menarik untuk diingat bahwa di
masa kepresidenan Sukarno tidak pernah ada wacana mengenai Presiden Indonesia
berikutnya adalah orang Jawa. Ini berbeda denga masa Soeharto. Pada masa Orde
Baru , meski tidak secara terbuka, komunitas politik Indonesia berbicara
mengenai Presiden Indonesia berikutnya adalah orang Jawa, seorang Jenderal dan
Islam Jawa (Maksudnya Abangan). Adalah JK sebagai Wakil Presiden yang kemudian
secara terbuka menyebut Presiden Indonesia haruslah orang Jawa, dan orang luar
Jawa hanya akan jadi Wakil Presiden. Dan wacana politik Indonesia sejak itu
seperti telah dipatok oleh pernyataan JK tersebut.
Pertanyaan menarik yang timbul
dari fenomena ini adalah:
Selain faktor jumlah (etnis Jawa
adalah penduduk mayoritas Indonesia) apakah budaya Jawa memang merupakan
satu-satunya budaya di antara berbagai budaya lokal Indonesia
yang sempat mengembangkan konsep kekuasaan dan tata pengelolaan
pemerintahan sehingga mereka yang berlatarkan etnis dan
budaya Jawa secara konsepsional dan tradisional memang lebih
siap memimpin Indonesia?
Setelah kemerdekaan Indonesia
hampir mencapai usia 70 tahun, apakah memang soal pasangan Jawa dan non Jawa
sebagai pemimpin Indonesia sudah tidak menjadi soal lagi dan karena itu tidak
relevan lagi dibicarakan?
Apakah orang Jawa yang mayoritas
sudah siap secara budaya menerima Presiden yang berasal dari etnis
luar Jawa? Jika belum siap, apa kira-kira penyebab ketidaksiapan
tersebut?
Selama 32 tahun Indonesia
dipimpin oleh Soeharto yang menguasai Indonesia terutama berdasarkan konsep
kekuasan Jawa. Pelajaran apa yang kita dapatkan dari pengalaman tersebut?
Karkono Kamajaya, seorang Javanolog dari Jakarta, dalam sebuah ceramahnya di
Taman Ismail Marzuki lebih 10 tahun silam, mengatakan demokrasi tidak dikenal
dalam budaya politik Jawa. Konsekuensinya tidak usah heran kalau Soeharto
memimpin Indonesia layaknya seorang Raja Jawa.
Bagaimana orang di luar Jawa
melihat konsep kekuasaan Jawa serta pengelolaan politik Indonesia yang sangat
dipengaruhi budaya politik dan kekuasaan Jawa tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar