Pendidikan tidak
pernah menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR. Berbagai masalah akibat
komersialisasi dan privatisasi pendidikan tak pernah henti ditimpakan kepada
rakyat, tidak terkecuali dalam pendidikan tinggi. Rendahnya angka
partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia yang hanya 18,4 persen dari
jumlah penduduk berusia 19-24 tahun―menurut data BPS, pada tahun 2010, Angka
Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi sebesar 16.35 dan Angka Partisipasi Murni
Perguruan Tinggi adalah 11.01. Pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang―merupakan
bukti dari berbagai masalah yang dihadapi rakyat akibat privatisasi dan komersialisasi
pendidikan, seperti mahalnya biaya sekolah/kuliah, kesejahteraan tenaga/pekerja
kependidikan, kurikulum pendidikan, mahalnya jalur masuk kuliah dan sebagainya.
Di bawah Orde Neoliberal, pengelolaan
pendidikan memang tak pernah diserahkan sepenuhnya kepada negara. Pengesahan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU PT) pada 13 Juli 2012 yang lalu pun menjadi bukti dari
hal tersebut. Pengesahan UU serupa UU PT oleh seluruh fraksi di DPR yang sungguh
mengecawakan ini bukan baru sekali ini saja terjadi. Masih segar dalam ingatan
kita bahwa UU serupa UU PT, yakni UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) telah
disahkan pada 17 Desember 2008 yang kemudian dibatalkan secara hukum oleh
Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 yang lalu setelah mendapatkan
perlawanan dari berbagai elemen masyarakat, karena
UU BHP tersebut inkonstitusional dan membenarkan diskriminasi dalam pendidikan.
Namun, DPR dan Pemerintah
tidak kehilangan cara. Pada tahun 2011, melalui DPR, mereka mengeluarkan
Rancangan UU PT yang isinya mengulang apa yang telah dibatalkan oleh MK, meski
dengan kemasan yang berbeda. Dalam naskah akademik UU PT, DPR memang berulang
kali mengutip amar putusan MK no. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 mengenai
pembatalan UU BHP. Namun, DPR hanya asal kutip tanpa meletakkan konteks amar
putusan tersebut. Terlebih, dalam UU PT pun kemudian tetap dicantumkan
ketentuan mengenai pembatasan minimal penerimaan mahasiswa miskin di perguruan
tinggi sebesar 20% (pasal 74 ayat 1), di mana hal itu telah dinyatakan
diskriminatif dalam amar putusan MK tersebut. Selain itu, dalam naskah akademik
UU PT pun dinyatakan dengan jelas bahwa kejelasan status kerja para pekerja
perguruan tinggi sebagai PNS hanya akan menghambat efisiensi pengelolaan
perguruan tinggi :
Dengan kata lain,
pendidikan tinggi memang diarahkan pada pengelolaan yang otonom, dalam artian
lepas sama sekali dari tanggung jawab negara. Atas nama otonomi, berbagai perubahan kalimat dalam berbagai draft RUU PT
pun tidak mengubah jiwa dan semangat komersialisasi dan liberalisasi pendidikan
di dalamnya. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat amanat dari Bank Dunia dalam Indonesia
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi:
”A new BHP must be passed to establish
the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public
and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP.”
Mereka
(DPR dan Pemerintah) memang sungguh taat pada amanah Bank Dunia dan lembaga
keuangan internasional lainnya. Hal tersebut secara eksplisit dinyatakan salah
seorang anggota Komisi X, Utut Adianto, dalam makalahnya: ”Sejak tahun 1955,
Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua
perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Dan tentunya Indonesia juga
harus menyepakati untuk meliberalkan sektor pendidikannya. Dalam peraturan WTO,
education services adalah salah satu dari 12 sektor yang dikenakan peraturan
WTO, yaitu bisnis, komunikasi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan,
kesehatan, turisme, rekreasi, transportasi, dan jasa lainnya.” Parahnya lagi,
dalam audiensi yang dilakukan oleh Komnas Pendidikan pada 5 Desember 2011 yang
lalu, DPR bahkan menyatakan tidak tahu mengenai UU No.11 tahun 2005 yang
meratifikasi Konvenan Hak-Hak EKOSOB, di mana di dalamnya tercantum dengan
jelas kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas
pendidikan warga negaranya.
Berbagai perlawanan
terhadap komersialisasi, priviatisasi, dan liberalisasi pendidikan pun telah
dan akan terus dilakukan oleh berbagai elemen gerakan sosial. Namun, yang harus
dipikirkan adalah bagaimana caranya agar perlawanan tersebut menjadi perlawanan
yang efektif, sehingga gerakan sosial tidak harus selalu disibukkan dengan
kegiatan mengkritik Undang-Undang yang merugikan rakyat pekerja tapi lalu
muncul Undang-Undang baru yang serupa. Terkait dengan itu, peran dari Komnas
HAM pun masih dipertanyakan, sejauh mana Komnas HAM mampu, setidaknya, menjadi
institusi negara yang benar-benar menaruh perhatian serius pada hak atas pendidikan.
Oleh karena itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) bekerjasama
dengan ELSAM bermaksud mengundang kawan-kawan sekalian untuk berpartisipasi
dalam diskusi yang hendak kami selenggarakan dengan tema ”UU Pendidikan Tinggi
& Perlindungan Hak Atas Pendidikan di Indonesia.” Diskusi akan
diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Jumat, 27 Juli 2012
Waktu : Pukul 18.30-20.30 WIB
Tempat : Kantor ELSAM
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten
Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Dengan narasumber:
1.
Andri Gunawan Wibisana, Ketua Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia
(PPUI)
Menjelaskan posisi
PPUI terkait pengesahan UU PT, dampak-dampak yang akan dirasakan para pekerja
universitas terkait disahkannya UU PT, serta rencana gerakan yang akan
dilakukan oleh PPUI dalam menyikapi pengesahan UU PT ini.
2.
Robie Kholilurahman, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM
UI)
Menjelaskan posisi
mahasiswa terkait pengesahan UU PT, dampak-dampak yang akan dirasakan para
mahasiswa dan calon mahasiswa terkait disahkannya UU PT, serta rencana gerakan
yang akan dilakukan oleh mahasiswa dalam menyikapi pengesahan UU PT ini.
3.
Ifdhal Kasim, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM)
Menjelaskan posisi
Komnas HAM terkait pengesahan UU PT dan peran Komnas HAM dalam kaitannya dengan
Hak Atas Pendidikan serta rencana Komnas HAM dalam menyikapi pengesahan UU PT
ini.
4.
Yura Pratama, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
Menjelaskan apa dampak
UU PT bagi akses masyarakat secara umum atas pendidikan dan langkah-langkah
legal dan non-legal seperti apa yang bisa dilakukan untuk menyikapi UU PT ini.
Moderator: Andre (PRP Jakarta
Pusat)
Contact Person:
Mohamad Zaki Hussein:
08128083247
Ari Yurino:
085882063262