Balas ke pengirim [R]
SIARAN PERS
BIDANG
PEMBERITAAN
DAN MEDIA
VISUAL
DEWAN
PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK
INDONESIA
Telp. (021)
5789 7346, Faks. (021) 5789 7323
Ketua DPD Sempat Menyurati Pimpinan DPR Menyikapi Perkembangan Pembahasan RUU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Rapat Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3)
sebagai RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Selasa (8/7/2014)
malam. RUU yang disetujui bersama DPR dengan Presiden tersebut disampaikan
pimpinan DPR kepada Presiden agar disahkan menjadi undang-undang (UU).
Sebelum persetujuan
bersama DPR dengan Presiden, Ketua DPD Irman Gusman sempat menyurati pimpinan
DPR menyikapi perkembangan pembahasannya. Pembahasan RUU versi DPR memang dijadwalkan
selesai sebelum pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 tanggal 1
Oktober 2014. Dalam pandangan dan usulannya, DPD menganggap materi ayat, pasal,
dan/atau bagian RUU itu mengganggu pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
serta merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional DPD yang nota bene lembaga
negara utama (main state organ), karena
tidak mengatur posisi DPR, DPD, dan Pemerintah yang setara dalam proses
legislasi model tripartit sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstistusi (MK)
tanggal 27 Maret 2013.
“Kami menyikapi
perkembangan pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD,” demikian surat Ketua DPD
kepada pimpinan DPR yang bernomor HM.310/358/DPD/VII/2014 dan bertanggal 8 Juli
2014, sebelum DPR dan Pemerintah memberi persetujuan bersama RUU menjadi UU. Belakangan,
pimpinan DPR tidak merespon surat Ketua DPD, sehingga tindak lanjut DPD ialah akan
mengajukan uji materi (judicial review)
ayat, pasal, dan/atau bagian RUU Perubahan UU MD3 terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke MK tanggal 15 Agustus 2014.
RUU MPR, DPR, DPD, dan
DPRD versi DPR merupakan rumusan Panitia Kerja (Panja) RUU Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Tanggal 24 September 2013, Rapat Pleno Badan
Legislasi (Baleg) DPR menerima laporan Panitia Kerja (Panja) RUU MD3 yang
diketuai Ana Muawanah (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa/F-PKB). Berikutnya
tanggal 28 Januari 2014, Rapat Paripurna DPR menyetujuinya sebagai usul
inisiatif dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU MD3 DPR yang diketuai Benny
Kabur Harman (Fraksi Partai Demokrat/F-PD) bersama dua wakilnya, Fahri Hamzah
(Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/F-PKS) dan Ahmad Yani (Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan/F-PPP).
Pimpinan DPR menyampaikan
RUU dimaksud kepada Presiden dan pimpinan DPD, dengan permintaan kepada
Presiden agar menunjuk menteri yang mewakili Presiden dalam pembahasan RUU
serta permintaan kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapannya yang membahas RUU
itu. Namun, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD tidak banyak terlibat dalam
pembahasan RUU Perubahan UU MD3 yang rampung jauh-jauh hari sebelum tenggat
waktunya (tanggal 1 Oktober 2014).
Argumentasi DPD terhadap RUU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD versi DPR menyangkut rumusan fungsi, tugas, dan
wewenang DPR-DPD yang menyinkronisasikan mekanisme kerja kedua lembaga
perwakilan; keikutsertaan fraksi membahas RUU tertentu, penyelenggaraan sidang bersama
(joint session) DPR-DPD, nomenklatur
alat kelengkapan DPD dan panitia kerja sebagai nomenklatur alat kelengkapan DPD,
tugas alat kelengkapan DPD yang bidangnya tertentu, serta pengembangan sistem
pendukung (supporting system) DPD.
Mengenai fungsi, tugas,
dan wewenang DPR, serta fungsi, tugas, dan wewenang DPD, DPD menyoroti materi
ayat, pasal, dan/atau bagian RUU yang menyebutkan wewenang DPR dalam membahas
RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah) yang diajukan Presiden
atau DPR, dengan mengikutsertakan DPD sebelum persetujuan bersama DPR dengan
Presiden.
“Rumusan tersebut tidak mengakomodasi
RUU dari DPD,” penegasan surat Ketua DPD kepada pimpinan DPR. Jika begitu
rumusannya, RUU dari DPD tidak akan dibahas DPR dan Presiden. Tentu saja
ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK ihwal konstitusionalitas hak
dan/atau wewenang legislasi DPD, bahwa DPD mengusulkan RUU tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 22D Ayat
(1) UUD 1945, sehingga RUU dari DPD setara RUU dari DPR dan RUU dari Presiden.
Tentang keikutsertaan
fraksi dalam pembahasan RUU tertentu, baik pembahasan tingkat I maupun
pembahasan tingkat II, DPD menilai, RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak sesuai
putusan MK yang menyatakan pembahasannya dilakukan tiga pihak, yaitu DPR, DPD,
dan Presiden. Bagi DPD, RUU Perubahan UU MD3 merugikan hak dan/atau wewenang konstitusionalnya
karena putusan MK menegaskan setiap RUU tertentu seharusnya dibahas DPR yang
diwakili alat kelengkapannya (bukan fraksi), Presiden yang diwakili menteri,
dan DPD yang diwakili alat kelengkapannya.
Ihwal Sidang Bersama
DPR-DPD untuk mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden menyambut hari ulang tahun
(HUT) kemerdekaan Republik Indonesia, Pasal 199 ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5)
UU MD3 mengatur penyelenggaraannya bergantian oleh DPR atau DPD. Kalau DPR
menjadi tuan rumah, Ketua DPR selaku ketua sidang; sedangkan kalau DPD menjadi
tuan rumah, Ketua DPD selaku ketua sidang. DPD berpendapat, “Sebaiknya sidang
bersama dihidupkan kembali karena sudah merupakan praktik ketatanegaraan.” Seusai
sidang bersama, dijadwalkan Rapat Paripurna DPR yang agendanya Pidato Presiden
tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota
Keuangan yang dihadiri pimpinan dan anggota DPD.
Dalam suratnya, DPD menyoal
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasannya dalam RUU MD3.
Sayangnya, RUU tidak merujuk putusan MK yang menegaskan konsitusionalitas ketiga
fungsi sesuai UUD 1945. Dalam fungsi legislasi, DPD berwenang untuk mengajukan
dan membahas RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya
alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah).
DPD juga berwenang untuk memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU pajak, pendidikan, dan agama. Keterlibatan
memberikan pertimbangan bertujuan supaya DPD berkesempatan untuk menyampaikan
pendapatnya atas RUU itu karena bidangnya terkait kepentingan masyarakat dan daerah.
Adapun kewenangan
pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu yang mengikutsertakan DPD dalam
pembahasan dan/atau pertimbangannya merupakan kesinambungan kewenangan pengawasan
DPD atas pelaksanaan RUU tertentu. Selain itu, DPD memiliki kewenangan memberikan
pertimbangan atas pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena
BPK mengawasi penggunaan anggaran sebagai pelaksanaan atas UU APBN, dan DPD menyampaikan
pertimbangannya.
Surat DPD menyinggung nomenklatur
alat kelengkapan DPD dan panitia kerja sebagai nomenklatur alat kelengkapan DPD
yang bidangnya tertentu, serta pengembangan sistem pendukunganya. DPD
menginginkan penyesuaian nomenklatur alat kelengkapannya seperti Panitia
Musyawarah (Panmus) menjadi Badan Musyawarah (Bamus), Panitia Perancang
Undang-Undang (PPUU) menjadi Badan Legislasi (Baleg), dan Panitia Urusan Rumah
Tangga (PURT) menjadi Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Selain nomenklatur, DPD
menginginkan penyesuaian pengaturan tugas alat kelengkapannya. Jika Badan
Kehormatan (BK) DPR berubah menjadi Mahkamah Kehormatan (MK) DPR beserta
rincian mekanisme dan tata beracaranya dalam RUU MD3, pengaturan tugas alat
kelengkapan DPD masih seperti rumusan UU MD3. Tugas Badan Legislasi (Baleg) DPR
juga berubah, yaitu menyusun, mengevaluasi, dan menyempurnakan peraturan DPR
tapi RUU MD3 mengatur BK DPD yang melakukannya.
DPD menginginkan
penyesuaian pengaturan tugas alat kelengkapan DPR-DPD guna menyinkronisasikan
mekanisme kerja kedua lembaga perwakilan, termasuk panitia kerja yang pimpinannya
terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota panitia kerja. Penyesuaian tersebut untuk kepastian hukum dan mekanisme
kerja DPD.
Surat DPD pun menyinggung
desain keparlemenan (lembaga perwakilan) dalam UU MD3 yang menyulitkan pengembangan
supporting system DPD, karena RUU
MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur Badan Fungsional/Keahlian sebagai sistem
pendukung DPR tapi tidak mengaturnya untuk DPD. DPD beralasan, RUU MD3 tidak semestinya
membedakan sistem pendukung DPR dengan DPD karena kedudukan dan peran keduanya sama-sama
lembaga perwakilan.
Kemandirian DPD menyusun
anggaran juga persoalan. RUU Perubahan UU MD3 mengatur kemandirian menyusun
anggaran yang terealisir dalam program/kegiatan untuk MPR dan DPR tapi RUU MD3
tidak mengaturnya untuk DPD. “Rumusan untuk DPD masih sama dengan ketentuan UU
MD3,” DPD berpendapat.
UU MPR, DPR, DPD, dan
DPRD adalah pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Selanjutnya, UU
disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara agar Presiden
mengesahkan (menandatangani) UU. UU pun berlaku pada saat disahkan di Jakarta
oleh Presiden dan diundang-undangkan di Jakarta pada saat yang sama oleh Menteri
Negara Sekretaris Negara. Agar setiap orang mengetahuinya, Presiden
memerintahkan pengundang-undangannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
sebagai undang-undang yang memiliki nomor dan tahun.
Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
DPD
RI
Penanggungjawab:
Mahyu
Darma
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar