Senin, 14 Mei 2012

“Negara Wajib Mengatur Kepemilikan Tanah dan Memimpin Penggunaannya”


Guru besar manajemen pertanahan Universitas Indonesia (UI) SB Silalahi mengatakan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) mewajibkan negara untuk mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewajiban negara itu penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat.
“Kendati UU PA  berusia 48 tahun, tujuan UUPA belum terwujud, yaitu tanah dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ujarnya saat rapat Tim Kerja (Timja) Rancangan Undang-Undang Hak-Hak Atas Tanah Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang terjadi ialah ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, penggunaan, dan pemanfaatannya serta maraknya sengketa tanah dan luasnya kerusakan tanah, tata air, dan lingkungan.
Dalam acara yang membahas draft RUU Hak-Hak Atas Tanah berikut naskah akademiknya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/5), dan dipimpin Wakil Ketua Komite I DPD Alirman Sori itu, Silalahi mencontohkan beberapa materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU PA yang belum terlaksana karena belum berkait dengan ketentuan yang termaktub dalam beberapa materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU PA itu sendiri.
Misalnya, rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 14) tidak terlaksana karena belum berkait dengan ketentuan yang menyebut pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan agar tidak merugikan kepentingan umum (Pasal 7) serta ketentuan yang menyebut setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10).
Kemudian, Pasal 14 belum terlaksana karena belum berkait dengan ketentuan yang menyebut hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu diatur agar tercapai tujuan kemakmuran rakyat dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas (Pasal 11) serta ketentuan yang menyebut pemerintah berupaya agar usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin derajat hidup setiap warga negara Indonesia yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 13).
Rencana umum juga belum terlaksana karena belum berkait dengan ketentuan land reform bahwa mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil pemerintah dengan ganti kerugian, selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah. Tercapainya batas minimum ditetapkan dengan peraturan perundangan dan dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 16 menyebut hak-hak atas tanah antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan hak-hak atas air dan ruang angkasa antara lain hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan hak guna ruang angkasa.
Silalahi mengakui, hukum agraria yang masih berlaku sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. “Akibat fatalnya, di Sumatera Utara contohnya berkembang terus, bahkan sampai ke Riau, hak guna usaha. Tapi hak guna usaha yang diberikan kepada pemodal besar itu adalah tanah-tanah yang kualitasnya terbaik. Politik pertanahan kolonial ini kita lanjutkan setelah merdeka. Saya menyatakan, negara wajib mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaannya,” sambung mantan tenaga ahli Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mantan Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) ini.
Mantan tenaga ahli Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) ini juga menyatakan, peranan tanah sebagai sumberdaya strategis tidak terlaksana karena Pasal 14 yang seharusnya diatur dengan undang-undang hanya diatur dengan peraturan pemerintah tanpa sanksi; perpanjangan hak atas tanah mempertimbangkan seluruh aspek pertanahan (siklus agraria) dan faktor sejarah sehingga tidak menimbulkan masalah setelah terbitnya sertifikat tanah; serta sistem informasi pertanahan dapat mempercepat pelayanan pertanahan, perpajakan, pengadaan tanah untuk pembangunan, dan landasan penyelesaian sengketa tanah.
Menurutnya, pendataan seluruh aspek pertanahan dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, ke provinsi yang akurat dan mutakhir menjadi titik tolak pelaksanaan UU PA dan mengatasi konflik pertanahan. Kegiatan tersebut segera dilakukan agar penanganan konflik pertanahan memiliki landasan seperti konflik pemanfaatan sumberdaya alam (kehutanan, perkebunan, pertambangan, pertanian, dan sebagainya) dalam bentuk sistem informasi pertanahan yang dimotori pemerintah daerah.


Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat Jenderal DPD
                           
Penanggungjawab:
M Linda Wahyuningrum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar