“Masyarakat, jangankan grassroot di daerah, di pusat saja belum banyak yang sadar tata
ruang. Zaman Pak Harto (Soeharto), perencanaan pembangunan kerap mengabaikan spasial,
menekankan sektoral, walaupun banyak dokumen tata ruang,” ujarnya dalam rapat
dengar pendapat (RDP) Komite I DPD yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penataan Ruang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5). Acara dipimpin
Wakil Ketua Komite I DPD Paulus Sumino (senator asal Papua).
Sayangnya, proses perencanaan pembangunan di
daerah melalui rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat
kabupaten/kota dan provinsi atau musyawarah perencanaan pembangunan
(musrenbang) tidak menjadikan tata ruang sebagai acuan. Padahal, rakorbang atau
musrenbang menjadi forum tahunan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mematangkan rancangan rencana kerja (renja) pembangunan
daerah yang mengompilasi rancangan renja satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
“Dulu rakorbang, sekarang musrenbang, tidak membuka
peta tata ruang. Dokumennya disimpan di lemari; tidak disosialisasikan, diumpetin.
Padahal, rakorbang atau musrenbang yang dua tiga hari itu membahas rencana investasi
satu tahun berikutnya,” ujarnya. Celakanya, kekeliruan yang tidak menjadikan tata
ruang sebagai acuan perencanaan pembangunan itu tidak segera diperbaiki tetapi justru
melegalkan dan mengikuti tren penyimpangan pemanfaatan tata ruang.
Narasumber lain, pengajar planologi Universitas
Trisakti Yayat Supriatna menjelaskan beberapa fenomena “salah urus tata ruang” seperti
banjir dan longsor, ketidakharmonisan antara tata ruang dan jalur transportasi
sehingga menyebabkan kemacetan, abrasi dan rob di pantai, daerah aliran sungai terdegradasi,
perluasan kawasan kumuh, ritel besar dan kecil berdiri di sekitar pasar
tradisional dan permukiman penduduk, serta konflik izin usaha perkebunan,
pertambangan, dan kehutanan versus hak ulayat (adat) masyarakat.
“Fenomena akibat bencana alam dan degradasi
lingkungan itu terus-terusan terjadi, yang membuktikan bahwa penyelenggaraan
penataan ruang belum menjamin keselamatan warga. Pokok masalahnya ialah
bagaimana menyelenggarakan tata ruang yang bersinergi dengan perencanaan
pembangunan, sehingga penyelenggaraan penataan ruang menjamin keselamatan warga,”
ucapnya.
Menurutnya, akar masalahnya ialah berbagai
faktor yang saling terkait seperti disharmoni regulasi, disharmoni program,
disharmoni kepentingan pusat-daerah, penegakan hukum yang lemah,
ketidakefektifan koordinasi antarpemangku kepentingan, konflik kepentingan, dan
kondisi sosial budaya. Kerangka konseptual penyelesaiannya antara lain mempercepat
pengesahan peraturan daerah (perda) RTRW kabupaten/kota dan provinsi.
Persoalannya, per tanggal 11 Mei 2012 hanya 13
provinsi yang menetapkan RTRW-nya menjadi perda atau 39,4 persen dan 20 provinsi
yang substansi RTRW-nya disetujui Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Selanjutnya,
106 kabupaten yang menetapkan RTRW-nya menjadi perda atau 26,6 persen dan 249 kabupaten
yang substansi RTRW-nya disetujui Kementerian PU serta 34 kota yang menetapkan
RTRW-nya menjadi perda atau 36,6 persen dan 37 kota yang substansi RTRW-nya
disetujui Kementerian PU.
Kegagalan target penyusunan perda tata ruang itu
tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang menyebut
bahwa tiga tahun setelah pengesahkannya semua kabupaten/kota dan provinsi harus
memiliki RTRW dan menetapkan RTRW-nya menjadi perda. Kendalanya antara lain
konflik batas wilayah (hutan, daerah), konflik pengelolaan sumberdaya alam (hulu-hilir),
konflik kebijakan antara kabupaten/kota dan provinsi, serta kepala daerah tersangkut
kasus pidana.
Siaran pers ini dikeluarkan secara
resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat
Jenderal DPD
Penanggungjawab:
M Linda Wahyuningrum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar