Pengajar di Filsafat UI
Sebuah kelompok arisan di Jakarta, patungan membeli Hermes, tas
tangan Perancis berharga seratusan juta. Lalu, setiap anggota bergilir
memakainya. Seorang politisi muda mondar-mandir di lounge sebuah hotel, berbalut Hugo Boss, jas mahal Jerman. Tapi, dengan merek yang masih menempel di lengannya.
Citra, status dan konsumsi, adalah produk kebudayaan massa. Ia menggoda selera, lalu memicu hasrat conspicuous consumption.
Tapi suatu godaan aristokratik yang hendak dipuaskan secara instan,
sering hanya menghasilkan kegagapan sosial, plus kelucuan budaya.
Kelas Menengah? Inilah ‘kelas’ yang sangat menjengkelkan para pembaca
Marx. Yaitu kelas yang sekedar tumbuh menempel pada tubuh kapitalisme,
tetapi tanpa kehendak “investasi”, juga tanpa keinginan “revolusi”.
Rasa aman adalah ideologi resmi kelas ini. Revolusi terlalu berbahaya,
investasi terlalu berisiko. Itulah sebabnya, bagi para penggiat politik
radikal, kelas menengah adalah penghalang perubahan. Ia berada di
tengah, dan persis dalam posisi itu ia meredam kemestian antagonisme
kelas atas vs kelas pekerja
Tentu, determinisme sosiologi ini tidak
lagi cukup untuk menerangkan pluralisasi bentuk-bentuk kapital
pasca-moderen, terutama karena sifat kapital yang makin finansial, yang
bahkan menghasilkan produk-produk derivatif yang menumbuhkan pasar
spekulasi. Praktek kapitalisme finansial itulah yang kini mengguncang
ekonomi dunia. Perubahan watak kapitalisme itu memudarkan sinyal
kontradiksi kelas, dan mengalihkan enersi kontradiksi ke dalam
ruang-ruang negosiasi bisnis dan politik.
Hari-hari ini, pertemuan pikiran dunia sedang berupaya memahami
hakekat krisis ekonomi global dan akibat-akibatnya bagi stabilitas
politik dunia. Kajian akademis dan pengalaman politik satu dasawarsa
ini mulai mengakui kesalahan-kesalahan sistemik ekonomi global. Bahwa
model kapitalisme yang dioperasikan secara spekulatif itu telah
mengabaikan hal yang paling mendasar: ekonomi adalah pertukaran nyata,
bukan transaksi tanpa jejak. Kehendak untuk mengaitkan ulang ekonomi dan
kesosialan manusia, memperoleh momentum dalam krisis keuangan dunia
sekarang ini. Kesadaran itulah yang kini mempertemukan “negara” dan
“bisnis” di Davos dan Wall Street, dalam upaya mencari revisi political-economy, dengan tema etika keadilan yang menonjol.
Dalam suasana civilizing capitalism itu, pertanyaan tentang
peran kelas menengah dapat dilanjutkan. Memang, konsep ‘kelas’ hanya
dimaksudkan untuk menganalisis peluang antagonisme antara kelas-atas
dan kelas-bawah. Di dalam sosiologi itulah perubahan politik
dibayangkan. Tentu, karakter ini tidak dimiliki oleh “kelas” yang
memilih berada di tengah, di posisi yang aman, dan menikmati kemapanan
sebagai “kepuasan konsumen”. Dalam konteks negeri ini hari-hari ini
misalnya, rasa aman itu adalah rasa nikmat menerima limpahan kredit
konsumsi dari kondisi overlikuiditas perbankan -yang juga merasa lebih
aman menyalurkan kredit kepada kalangan ini, ketimbang memberi utang
kepada “pengusaha papan atas” yang mudah ‘ngemplang’ karena dilindungi
kekuasaan.
Nikmat ekonomi membawa kelas menengah pada “kemapanan semu”: Consumo
Ergo Sum! Belanja, tanda Hidup! Psikologi inilah yang menghidupkan
ruang konsumsi nasional, memutar roda perekonomian, sekaligus
menumbuhkan usaha bisnis penagih hutang. Itulah sesungguhnya “sektor
ril” kita. Investasi asing tiba di sini karena undangan kelas menengah.
Tetapi sebetulnya yang kurang diterangkan adalah bahwa pertumbuhan
ekonomi kita hari-hari ini bukan akibat langsung dari produktivitas
kelas menengah nasional, tetapi karena permintaan konsumsi kelas
menengah Cina dan India yang juga sedang tumbuh cepat dan sangat
memerlukan energi dan bahan mentah kita. Di situlah letak “kemapanan
semu” kelas menengah kita. Artinya, gangguan dalam sistem produksi China
karena penurunan permintaan Eropa dan Amerika Serikat, akan segera
melambatkan perekonomian kita, lalu menumpuklah kredit macet kelas
menengah.
Tetapi sialnya, stabilitas demokrasi justeru diasuransikan kepada
kelas ini. Perut yang cukup kenyang, jarang menuntut perubahan -apalagi
yang radikal. Karena itu politik bukan isu pokok kelas menengah. Politik
dalam arti kerja memproduksi keadilan, atau dalam maksud perjuangan
ideologis, bukanlah minat kelas menengah. Kelas ini hanya bereaksi bila
kepentingannya terhalang oleh politik. Urusan memproduksi perubahan,
bukan kepentingannya.
Kuriositas kita hari-hari ini: kemana gerangan arah politik kelas
ini? Bila jumlah mereka mendekati 50 juta jiwa, berpenghasilan 50 juta
setahun di 2014, cukup mandirikah kelas ini dalam Pilpres nanti?
Artinya, seandainya sihir “politik uang” masih akan merajalela,
sanggupkah kelas ini menatap jauh ke depan, pada harapan sistem
kebijakan publik yang bersih, dan karena itu mau melakukan pilihan
politik baru? Juga, terhadap sihir “politik ayat”, dapatkah kelas ini
mengucapkan argumen-argumen konstitusi, melampaui sentimen-sentimen
komunal?
Tahap kematangan politik kita hari-hari ini memperlihatkan bahwa
kondisi kejiwaan kelas menengah masih kuat diarahkan oleh lingkungan
komunalnya. Dalam hegemoni kultural itulah pendapat politik kelas
menengah tersandera. Di situ, pilihan politik individu lebih ditentukan
oleh sistem pemaknaan primordial ketimbang kalkulasi rasional seorang
konsumen. Inilah sifat ajaib kelas menengah kita: dalam segi konsumsi ia
berinduk pada kapitalisme, dalam segi mental, ia masih menyusu pada
komunalisme. Keterlambatan kultural inilah yang menerangkan “politik
rasa-aman” kelas menengah itu. Ia tidak mencari rasa aman pada sistem
institusi modern, melainkan pada nilai-nilai transendental.
Kuatnya orientasi primordial ini menghalangi kalkulasi rasional
dalam penentuan pilihan politik individu. Kondisi ini cenderung
menghasilkan etos “menolak tanggung jawab”, karena individu memang tidak
dilatih mengambil keputusan secara bebas.
Sinisme terhadap karakter dan peran politik kelas menengah tidak
merubah fakta bahwa ekonomi Indonesia memang bertumbuh. Bertambahnya
kelas menengah berarti bertambahnya penduduk yang berpenghasilan
menengah. Ini berarti potensi pasar, sekaligus potensi politik. Tekanan
pada pemerintah memang lebih menyangkut tuntutan kebijakan, bukan
tuntutan politik ideologi. Imajinasi politik kelas ini tidak akan
melampaui kenikmatan ekonominya hari ini. Karena itu, pemerintah
diuntungkan dari segi jaminan stabilitas politik dan berkurangnya beban
anggaran sosial yang harus disubsidikan.
Masalah bagi demokrasi kita sekarang ini adalah: mana suara kelas
pembayar pajak ini terhadap soal pluralisme, toleransi dan keadilan?
Seandainya terjadi krisis politik, apakah kelas ini akan mencari rasa
aman pada demokrasi, atau pergi lagi pada doktrin-doktrin komunal?
Keperluan demokrasi adalah menumbuhkan kelas warganegara yang mandiri
secara ekonomi dan rasional dalam kehidupan publik. Peluang global untuk
memanfaatkan keunggulan demografis kelas menengah kita, dalam
antisipasi perubahan pasar tenaga kerja dunia satu dekade ke depan,
tentu memerlukan persiapan infrastruktur rasionalitas untuk memastikan
bahwa sentimen komunal tidak akan melampaui rasionalitas kehidupan
publik.
Terlibat dalam proyek intensifikasi demokrasi demi menghidupkan
etika kompetisi jujur di lapangan ekonomi dan politik, adalah tugas
sejarah kelas menengah. Keterlibatan itu hanya mungkin dijelaskan dalam
kerangka terbukanya sistem kebudayaan. Yaitu kebudayaan yang
mengutamakan tanggung - jawab individu terhadap kehidupan bernegara. Itu
berarti prinsip keutamaan keanggotaan dalam forum publik, solidaritas
dalam ide keadilan sosial, dan keaktifan dalam percakapan politik, harus
mendahului sentimen-sentimen primordial, komunal dan metafisik.
Kurikulum inilah yang kurang diaktifkan negara, parlemen dan partai
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar