***
Penipuan
Online
Oleh MUCH. KHOIRI
Penipuan online, sebagai fenomena
budaya, semakin hari semakin menggemaskan.
Ada yang menawarkan hadiah atau hasil undian. Ada yang minta transfer
uang ke rekening tertentu. Ada yang iming-iming seminar atau wisata ke luar
negeri. Ada pula bisnis online alias investasi (bodong) online.
Membonceng kecanggihan teknologi
(terutama toko online profesional), penipuan online berkedok investasi manis
seolah tiada putus. Sejak terkuaknya Qurnia Sanur Alam Raya (QSAR, 2002), investasi
keuangan dengan kerugian Rp 800 miliar, telah menyusul terbongkarnya jaringan
Adess Sumber Hidup Dinamika (2003), Medical (2003), Merlian Artha Sejahtera
(2005), Interbanking Bisnis Terencana (2006), dan sejumlah MLM.
Yang mencengangkan, Wahana Bersama
Globalindo (WBG) (valas, Rp 3,5 triliun, 2007), Gama Smart Karya Utama (valas,
Rp 12 triliun, 2007), Sarana Perdana IndoGlobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007),
PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis
daging, Rp 6 triliun, 2012), dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar
rupiah, 2012) (Kompas, 25/7/2012).
Baru-baru ini meledak kasus penipuan
investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Lalu penipuan
online investasi valas di website www.pandawainvesta.com.
Modusnya, menjanjikan keuntungan 50%, 70%, 100%, 300% kepada korbannya--bergantung
nilai investasi trading. Pelaku yang ternyata mahasiswa itu telah menjaring 338
nasabah dan meraup Rp 40 miliar.
Setahun terakhir, polisi banyak
menangani kasus penipuan yang terjadi melalui belanja online di internet.
Modusnya beragaam mulai berkedok penjual gadget, elektronik, sampai penjual
jersey pemain sepakbola. Terungkap 300 lebih toko online palsu, dengan kerugian
hingga miliaran.
Konsumerisme/Hedonisme
Dalam penipuan online, ada empat
unsur terlibat di dalamnya: penipu, yang tertipu, barang-jasa sasaran penipuan,
dan modus. Penipu bisa menjalankan modusnya untuk mengeruk barang-jasa orang
tertipu, karena si penipu “hebat” dalam memahami dunia ide si tertipu.
Si tertipu adalah bagian dari publik
pemimpi akibat konsumerisme dan hedonisme berkat hasratnya meraih keinginan. Boleh
jadi mereka hendak lari (escape) dari
keruwetan dan kejenuhan, dan mencari zona nyaman.
Terlebih, dunia media (dengan kuasa
kulturalnya yang hegemonik) telah menguatkan hasrat publik atas “mimpi” mereka:
acara quiz, bedah rumah, rezeki nomplok, dan lain-lain. Diam-diam mereka
menjadi iri dan/atau dengki.
Ketika ada outlet merebut zona
nyaman, mereka tak segan “membarter” apapun dan berapapun untuk meraup “rezeki”
dengan cara instan. Mereka bisa tergiur untuk investasikan modal guna mengeruk
keuntungan secepatnya.
Hasrat konsumerisme/hedonisme publik
inilah peluang besar yang dibidik oleh penipu. Jadi, penipu itu jeli membaca
“mimpi” publik meski hanya dalam dunia ide. Apa yang diinginkan publik adalah
simbol konsumerisme dan hedonisme—dan itu harus dibeli lewat modus yang
melenakan.
Karena itu, modus penipu pastilah
canggih dan cerdas. Jika tak canggih dan cerdas, ia tak lihai menawarkan
hadiah/hasil undian, minta transfer uang, pelesir luar negeri, atau membuka investasi
online. Meyakinkan orang butuh kecerdasan kognitif, emosional, dan talenta
sosial-psikologis yang hebat.
Pada kasus GTIS, ada tawaran amat
menawan dan memabukkan calon investor dengan imbal hasil (yield) minimal 2% per bulan atau 24% per tahun. Imbal balik ini
jauh lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank yang saat ini hanya sekitar
4-5% per tahun. Bahkan, investasi abal-abal itu terkadang berkedok koperasi.
Pada kasus valas di atas, 338
nasabah bukan orang bodoh, tapi orang terlena oleh mimpi untuk meraup uang
dengan cara instan. Begitu juga para pembeli di 300 lebih toko online palsu. Saking
terlenanya—seperti dibuai mimpi—mereka tak sadar sedang dibius dengan modus
canggih dan cerdas yang dilancarkan oleh si penipu yang masih mahasiswa itu.
Si penipu menjual mimpi, dan para
nasabah membelinya. Sebagai kriminal, penipu
itu pasti berpikir dan bertindak selangkah lebih maju daripada manusia biasa
atau polisi. Modus kriminal dipraktikkan sebelum dipelajari polisi. Kriminal
sering tak terduga, dan selalu
menggemaskan.
Kesadaran
Kritis
Konsumerisme dan hedonisme adalah
ideologi gaya hidup. Maka, penipuan online sejatinya juga bersumber dari gaya
hidup publik. Selagi gaya hidup tetap mengibarkan keserakahannya, penipuan
online akan muncul dengan berbagai modusnya. Selalu ada peluang untuk dimasuki
oleh para penipu.
Kesadaran kritis-lah yang dapat
mengerem lajunya penipuan online. Ia akan mendekonstruksi pemikiran dan hasrat
konsumtif dan hedonis, dari keinginan (want)
ke kebutuhan (need). Setidaknya, ia
akan memberikan penafsiran cerdas dan hati-hati terhadap modus penipuan yang
mengancamnya.
Dengan kesadaran kritis, publik
sebagai calon nasabah atau investor akan membekali diri pengetahuan praktis
mengenai seluk-beluk investasi dalam aneka bidang seperti koperasi, simpan
pinjam, emas, syariah, perdagangan saham, atau arisan berantai.
Publik sebelum berinvestasi sudah
lebih dulu memahami potensi risiko yang bakal dihadapi. Publik tidak hanya menimbang
manfaat manis investasi, melainkan juga risikonya. Investasi bagaikan koin
bermuka dua, madu dan racun. Nasabah atau investor harus menguasai dua muka sekaligus.
Terlebih jika kesadaran kritis
bekerja secara komulatif dalam relasi sosial-kultural publik, sehingga menjadi
sebuah bangunan kesadaran kolektif (collective
conscience) untuk melawan penipuan online. Jika tidak habis, kastil dan jaringan
penipuan online akan rontok secara sporadis dan perlahan.
Meski demikian, kesadaran kritis tak
akan berdaya apa-apa tatkala hasrat konsumerisme dan hedonisme tetap bercokol
dan mengendon lebih dalam di dasar akal budi. Kesadaran kritis akan mandul jika
eskapisme diri malah men-sah-kan berkuasanya konsumerisme dan hedonisme.
Maka, sekali lagi, publik sepatutnya
segera membangun kesadaran kritisnya sebagai kurasi dan terapi bagi hasrat
busuk konsumerisme dan hedonisme semu, dan sebagai filter dan tameng atas gempuran
berbagai modus penipuan online yang kian merajalela.
Selama publik masih memuja konsumerisme
dan hedonisme semu, penipuan online akan terus bertumbuh-berkembang, tak peduli
seberapa maju suatu publik. Kini, terserah publik, apakah mau memberantas ataukah
mempeluangi penipuan online?*** (much_choiri@yahoo.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar