|
Wilda
Inayah
Wonosobo, Jawa Tengah
Kreasi Gizi di Lumbung Padi
Gizi
buruk tak melulu terjadi di daerah gersang kekurangan air, atau terjadi pada
masyarakat dengan perekonomian yang dilemahkan. Gizi buruk juga terjadi di
lumbung-lumbung padi dan limpahan sayuran.
Gizi
buruk pada wilayah subur di antara masyarakat yang relatif mampu secara ekonomi
sungguh terjadi di Desa Kayugiyang, Wonosobo. Areal pertanian subur di lereng
Gunung Sindoro ini setidaknya menyimpan 23 balita bergizi kurang dan satu balita
lain yang status gizinya tercatat buruk.
Bidan
Wilda Inayah menemukan persoalan tersebut tidaklah berakar pada faktor
ketidakmampuan secara ekonomi, melainkan pada kurangnya pengetahuan masyarakat
sehingga berujung pada pola asupan yang salah.
Dalam
perjalanannya, bidan 37 tahun ini kerap kali menemukan balita penderita gizi
buruk justru datang dari keluarga mampu karena pemberian makanan tambahan yang
tidak tepat. Sebaliknya keluarga yang tampak tidak mampu secara ekonomi justru
memiliki balita dengan status gizi baik karena pola makan yang tepat meski
sederhana.
Maka
sasaran utama dari program yang dirancangnya adalah perubahan pola perilaku
dari keluarga, terutama ibu yang memiliki anak balita.
Bersama
delapan kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Bidan Wilda berhasil
mengumpulkan 45 ibu hingga 60 ibu untuk berbagi pengetahuan mengenai gizi,
asupan yang benar, hingga resep makanan.
Adapun
fokus asupan yang disosialisasikan ibu yang telah 17 tahun menjadi bidan ini
adalah penggunaan tepung siap saji sarat gizi, antara lain tepung kedelai dan
tepung kacang hijau. Selain sarat gizi tepung juga dinilai praktis dan dapat
diolah dengan lebih bervariasi sehingga menggugah selera makan anak.
Berkat
program tersebut 21 balita gizi kurang sudah mencatatkan status gizi baik.
Sementara satu balita dengan gizi buruk sudah mengalami kemajuan meski masih
berstatus gizi buruk.
Program
tersebut pada akhirnya juga memberi manfaat pada Posyandu lain di sekitar
wilayah kerja Bidan Wilda. Beberapa Posyandu juga mulai memberikan program
makanan tambahan kepada balita di wilayahnya serta mendapat bantuan resep
masakan.
Sunarti
Kokap, Kulonprogo, D.I Yogyakarta
Sumber Gizi Dari Tanah Kami
Kokap
adalah salah satu wilayah kantong kemiskinan di DI Yogyakarta. Dalam pemeriksaan
setatus kesehatan balita di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), banyak yang
hasilnya berada di bawah garis merah. Indikasi yang buruk bagi kesehatan bayi.
Per Juni 2011 saja ditemukan setidaknya lima balita menderita gizi buruk dari
total 25 balita.
Hal ini
mendorong Bidan Sunarti untuk mencari solusi makanan bergizi yang alami dan
terjangkau secara ekonomi. Dengan kriteria tersebut dia menilai jamur adalah
solusi, murah dan berprotein tinggi.
Jadilah
bidan yang telah bertugas selama 22 tahun ini mulai mensosialisasikan mengenai
pentingnya gizi seimbang, serta bagaimana memenuhi kebutuhan gizi tersebut.
Sosialisasi juga mencakup cara pengolahan makanan bergizi dengan berbagai
variasi.
Tidak
hanya konsumsi, Bidan kelahiran 1971 ini juga mengerahkan ibu rumah tangga di
sekitar Posyandu untuk menanam jamur serta sayur mayur lain di pekarangan rumah
masing-masing. Dengan demikian kebutuhan konsumsi dapat dipenuhi dari
pekarangan sendiri.
Dia
mengungkapkan kelas sosialisasi pengolahan variasi makanan bergizi relatif
berhasil. Begitu juga dengan penanaman sayuran organik, antara lain kacang
panjang dan caisim. Namun budi daya jamur sendiri justru kurang berhasil
lantaran kendala teknis perawatan.
Akan
tetapi bukan berarti program tersebut tidak berhasil, hingga akhir tahun lalu
jumlah balita penderita gizi kurang tela berkurang menjadi tiga orang, dan saat
ini menurut hasil pemantauan Bidan Sunarti, tak ada lagi balita dengan gizi
buruk yang terdeteksi.
Suhatmi
Puji Lestari
Sragen,
Jawa Tengah
Modal Menthok Bekal Mandiri
Awal
tahun lalu Suhatmi Puji Lestari menemukan 30 balita dengan gizi kurang dan gizi
buruk di Desa Kedawung. Persoalan klasik, kemiskinan dan alam yang gersang
membuat penduduk sulit memenuhi kecukupan gizi anak-anak mereka.
Setelah
18 tahun bekerja di wilayah tersebut pada tahun lalu bidan berusia 43 tahun
tersebut berinisiatif untuk memberikan makanan tambahan kepada 30 balita dengan
gizi buruk dan gizi kurang tersebut.
Setelah
beberapa kali melakukan penyuluhan, pemberian makanan tambahan, dan edukasi
pengelolaan makanan bergizi, perlahan jumlah balita dengan gizi kurang dan gizi
buruk berkurang hingga menjadi 10. Bahkan pada akhir program hanya tersisa 3
balita dengan gizi kurang dan gizi buruk.
Program
dari bidan yang telah bertugas sejak 1994 tidak hanya sampai di situ. Dia
berfikir masyarakat harus diajarkan mandiri, agar tidak hanya mengandalkan dana
dari Sarihusada. Dia merasa tak baik jika hanya memberi ikan setiap hari, tanpa
memberikan alat pancing dan cara menangkap ikan.
Oleh
karena itu dia mulai membeli bibit sayuran dan bibit mentok untuk
dikembangbiakan oleh masing-masing rumah tangga. Dengan demikian meski program
bersama Sarihusada selesai, masyarakat tetap bisa menjaga asupan gizinya
melalui pengelolaan bibit tersebut.
Adapun
bibit sayuran yang digunakan adalah bibit pepaya, bayam, dan kangkung. Dia
mengakui program bibit sayuran tersebut kurang berhasil lantaran tanah yang
gersang sehingga tidak optimal meski telah berkoordinasi dengan dinas pertanian.
Sementara
untuk penggunaan bibit mentok relatif berhasil. Beberapa mentok telah
beranak-pinak sehingga pemilik bisa mulai menjual telurnya, atau bahkan menjual
daging mentok. Tak jarang daging dan telur mentok juga menjadi konsumsi pribadi
untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
Dengan
demikian dua persoalan teratasi dalam sekali dayung, gizi buruk teratasi, dan
masyarakat juga menjadi lebih produktif dari sisi perekonomian.
|
Syafrianti
Kuantan Singigi, Riau
Pondok Gizi Untuk Buah Hati
Desa
Jake, Kuala Singingi, didominasi oleh wilayah perkebunan, umumnya sawit dan
karet. Penduduknya pun didominasi oleh buruh kebun, yang berasal dari berbagai
wilayah, sebut saja, Jambi, Palembang, penduduk lokal, hingga perantauan dari
Pulau Jawa.
Sebagian
besar masyarakatnya berasal dari kelompok ekonomi yang kurang mampu sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarganya. Sebagian lain cukup
mampu tetapi tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kebutuhan gizi.
Kedua
persoalan tadi berujung pada persoalan yang sama, masalah gizi kurang hingga
gizi buruk, terutama pada balita. Tercatat 18 balita dari 300 balita di wilayah
tersebut mengalami gizi kurang.
Persoalan
tersebut membuat Syafrianti berinisiatif mendirikan pondok gizi. Pondok di
tengah perkebunan ini menyasar para pekerja perkebunan yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan gizi balita mereka. Tidak hanya memberikan asupan gizi
gratis, pondok gizi juga mengajarkan para ibu untuk mengolah makanan sehat
dengan biaya terjangkau.
Persoalan
tidak selesai hanya dengan pembentukan pondok gizi. Luasnya lahan perkebunan
menjadikan jarak sebagai kendala, selain itu kesibukan para ibu diperkebunan
menjadikan pondok gizi sepi pengunjung. Sementara beberapa lain terlalu malas
atau terlalu sungkan untuk mengunjungi pondok gizi.
Jalan
pintas yang diambil bidan berusia 46 tahun ini adalah dengan menitipkan makanan
kepada mereka yang tinggal berdekatan. Dengan demikian kerap terlihat dalam
suatu wilayah hanya ada 1 orang--2 orang ibu yang datang dengan membawa banyak
kotak makanan kosong titipan ibu-ibu yang tidak datang.
Tidak
membutuhkan waktu cukup lama untuk membuat ibu-ibu yang tadinya hanya menitip
kotak kosong untuk ikut aktif mendatangi pondok gizi. Kegigihan ini membuahkan
hasil, jumlah balita dengan gizi kurang menruun hingga empat orang saja saat
program berakhir.
Selain
memberikan informasi mengenai gizi dan memberi asupan bergizi, pondok gizi juga
mengajari cara memproduksi sendiri sayuran sehat. Salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan memberi bibit sayur untuk ditanam di pekarangan.
Syafrianti
yang telah bertugas di wilayah tersebut sejak 1987 menyadari tanah perkebunan
tua yang mulai tandus membuat proses penanaman menjadi sulit. Sebab itu dia
berinisiatif membagikan polybag sebagai media tanam. Dengan demikian masyarakat
sekitar dapat memproduksi sendiri asupan gizi mereka tanpa harus berjalan 2 km
menuju pondok gizi.
Rahmi
Muna,
Sulawesi Tenggara
ASI Bukti Cinta Ibu
Masyarakat
Muna, Sulawesi Tenggara, hidup dengan mitos, bahwa tangisan bayi adalah
indikasi lapar. Jadilah bayi berusia 2 hari saja sudah mengenal rasa pisang dan
madu. Bayi dianggap tidak akan cukup kenyang dengan air susu ibu (ASI).
Seluruh
sistem masyarakat mengamini hal tersebt, alhasil kesalahan diwariskan
turun-temurun. Jika ada satu ibu saja yang tidak memberi pisang pada bayinya
yang sedang menangis, maka norma masyarakat akan menegurnya.
Sebab
itu Bidan Rahmi menyadari bahwa sosialisasi pentingnya ASI eksklusif tidak bisa
hanya diberikan kepada ibu. Payudara yang dapat mengeluarkan air susu memang
hanya dimiliki perempuan, tapi bukan berarti menyusui hanya menjadi beban
perempuan.
Bidan
37 tahun ini meyakini jika sosialisasi yang dilakukan hanya kepada ibu dan
calon ibu, akan menjadi beban baru. Bayangkan, jika para ibu telah mengerti
pentingnya ASI eksklusif, tetapi suami dan masyarakat merasa hal tersebut
adalah ketersesatan, berapa banyak dan berapa lama hujatan harus diterima?
Rahmi
yang telah bergelut di Muna sejak 1995 paham betul bahwa yang pertama-tama
harus menjadi sasaran sosialisasi adalah pada Kepala Desa, aparat desa, tokoh
masyarakat, dan para suami. Tak lupa tentu sosialisasi juga diberikan kepada
ibu dan calon ibu.
Dengan
adanya pengertian dalam sistem masyarakat maka ibu akan lebih leluasa
memberikan ASI, bahkan sistem pengawasan masyarakat akan efektif menegur ibu
yang tidak memberikan ASI eksklusif.
Lagi
pula anak yang sehat bukan saja manfaat bagi ibu semata, melainkan bagi
masyarakat sekitar dan negara dalam lingkup yang lebih luas. Seperti yang ia
percaya, semua hal berkelindan, sistemik, dan tak bisa dilihat berdiri
sendiri-sendiri.
Hingga
kini tercatat 125 penerima manfaat yang terdiri atas ibu hamil dan menyusui,
kader posyandu, dukun, unsur pemerintahan, dan pada suami serta tokoh
masyarakat telah menerapkan ASI eksklusif, dan terus bertambah seiring dengan
sosialisasi yang terus dilakukan, termasuk kampanye dari mulut ke mulut antar
sesama masyarakat sekitar.
"Karena
menyusui adalah tanggung jawab masyarakat," tegas Rahmi.
Patima
Ohorella
Tulehu,
Maluku Tengah
Delivery Rantang Gizi
Tidak
hanya kumuh, daerah Tulehu, Maluku Tengah juga kesulitan akses air bersih.
Keadaan yang sangat tepat untuk menghasilkan balita-balita dengan masalah gizi.
Pada
awalnya Patima Ohorella berfikir masalah tersebut dapat diatasi dengan
membagikan makanan tambahan di Pos Pelayan Terpadu (Posyandu). Makanan tambahan
tersebut disediakan bagi 20 balita di lingkungan sekitar yang mengalami
gangguan gizi.
Persoalannya,
masyarakat Tulehu tidak hanya miskin, tetapi juga malas dan tidak termotivasi,
menyebabkan Posyandu sepi pengunjung. Posyandu menjadi semakin sepi lantaran
masyarakat Tulehu kebanyakan bekerja sebagai pedagang kecil.
Dengan
demikian tak banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk menghadiri
Posyandu. Terlebih masyarakat sekitar juga tidak menganggap gizi sebagai
persoalan penting.
Hingga
akhirnya Bidan 36 tahun tersebut berkesimpulan asupan gizi yang telah disiapkan
tidak akan mencapai balita yang disasar kalau tidak diantarkan hingga ke pintu
rumah masing-masing rumah tangga.
Jadilah
per 14 Juni 2012 Patima yang telah menjadi bidang di wilayah tersebut sejak
2006 mulai mengantarkan tambahan asupan gizi bagi para balita. Gizi di dalam
rantang tersebut dibagikan setiap pagi kepada masing-masing rumah tangga setiap
pagi, sebelum pada ibu menjadi terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
|
Nurifah
Siregar
Ketapang,
Kalimantan Barat
Edukasi Dini Menyambut Buah
Hati
Angka
kematian ibu dalam persalinan sangat tinggi di Indonesia, sebab itu ibu hamil
memerlukan bekal khusus mengenai kehamilan melalui kelas ibu hamil.
Kelas
dengan metode belajar orang dewasa (BOD) tersebut berfokus pada upaya
peningkatan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil melalui model ceramah, tanya
jawab, demonstrasi, praktek, curah pendapat dan penegasan.
Dalam
kelas tersebut ibu hamil belajar mengenai kehamilan, persalinan, perawatan
nifas, perawatan bayi, hingga meluruskan mitos yang selama ini ada di
masyarakat.
Tidak hanya
itu, dalam kelas ibu hamil yang dilaksanakan Bidan Nurifah Siregar, calon ayah
dan anggota keluarga lain juga dilibatkan dalam kelas tersebut minimal dalam
satu kali pertemuan. Dengan demikian pengetahuan menyeluruh juga dimiliki
anggota keluarga agar lebih tanggap jika terjadi sesuatu pada ibu hamil.
Adapun
program bidan Nurifah tersebut telah terselenggara sejam 16 September 2012
dengan diikuti 12 ibu hamil. Dalam kelas tersebut juga dilaksanakan pemantauan
kondisi ibu hamil setiap pertemuan agar diketahui kemajuan masing-masing orang.
Selain
itu kelas ibu hamil juga memiliki program makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil
sehingga ibu hamil paham betul asupan yang diperlukan dan yang sebaiknya tidak
dikonsumsi.
Dalam
setiap kelas ibu hamil juga mendapatkan tes sebelum dan sesudah kelas. Dengan
demikian diketahui kemajuan pengetahuan masing-masing orang.
Siti Kholifah
Pacitan, Jawa Timur
Hamil Sehat Ibu
belia
Kasus kehamilan tidak
diinginkan (KTD) pada remaja bukanlah hal yang cukup mengejutkan bagi
masyarakat di Desa Ploso. Kurangnya edukasi seks membuat anak muda berperilaku
seksual membahayakan yang salaha satunya berujung pada kehamilan.
Siti Kholifah yang telah 20
tahun menjadi Bidan yang bertanggung jawab di wilayah tersebut menyaksikan
banyak kehamilan pada remaja SMP, atau dalam rentang usia 12 tahun--15 tahun.
Padahal organ reproduksi perempuan baru benar-benar siap menerima janin pada
usia 20 tahun ke atas.
Hal tersebut merupakan salah
satu, dan bukan satu-satunya, alasan bidan berusia 40 tahun ini mengadakan
kelas ibu hamil di wilayah Ploso.
Dia mengungkapkan ada bahaya
laten kekurangan gizi pada ibu hamil di wilayah tersebut. Selain itu penanganan
kehamilan juga sering kali tidak tepat lantaran beberapa masyarakat masih
percaya pada dukun. Kondisi tersebut semakin parah untuk kasus kehamilan remaja
yang sering kali tidak menjadi perhatian pada usia kehamilan awal.
Begitu banyaknya kasus
kehamilan pada remaja Ploso bahkan terlihat dari komposisi peserta kelas ibu
hamil yang setengahnya adalah remaja.
Tentu bukan hal yang mudah
untuk mengajarkan pentingnya gizi bagi ibu hamil kepada calon ibu yang masih
terlalu muda itu. Hal tersebut membuat Siti harus menggunakan pendekatan yang
lebih personal: mendatangi rumah para remaja hamil tersebut, satu-persatu.
Meski para remaja tersebut mau
datang ke kelas ibu hamil, persoalan belum selesai. Remaja yang merasa malu
menjadi sangat tertutup dan tidak aktif di dalam kelas. Sehingga dibutuhkan
lebih banyak pendekatan personal di kelas agar remaja ini mau terbuka.
Sebab itu pada kelas ibu hamil
tidak hanya diajarkan persoalan gizi ibu hamil dan perawatan bayi, tetapi juga
mencakup kampanye kesehatan reproduksi dan seksualitas yang lebih luas seperti
proses pembuahan dan penggunaan alat kontrasepsi.
Dalam kelas-kelas ini Siti
mengaku fokus pada usaha untuk menjaga kesehatan ibu dan janin. Sehingga saat
melahirkan diharapkan keduanya selamat.
Pendekatan juga dilakukan
kepada keluarga dan para calon ayah. Artinya keluarga dan calon ayah juga harus
mengikuti sesi khusus yang telah disiapkan dalam kelas ibu hamil. Dengan
demikian diharapkan proses menjaga kehamilan dan kesehatan ibu dan janin dapat
dilaksanakan intens.
Meski Siti dan pemerintah desa
telah berusaha melakukan kampanye mengenai hubungan seks di luar pernikahan
tetapi hingga saat ini kasus KTD pada remaja masih terjadi di Ploso.
Kabar baiknya, jika hal
tersebut terjadi, setidaknya bidan Siti Kholifah siap sedia mendampingi dan
memastikan calon ibu dan bayi selamat. Bahkan dia juga memastikan agar remaja
tersebut siap menjadi ibu, memiliki informasi yang memadai dan dapat
mempraktekan pada anaknya kelak.
Kasriyatun
Pati,
Jawa Tengah
Menepis Ironi di Ladang Garam
Salah
satu wilayah dengan ladang garam di Indonesia adalah Desa Bangsalrejo, Pati.
Bangsalrejo juga memiliki banyak pabrik pengolah garam.
Sementara
garam menjadi salah satu mineral yang penting untuk dikonsumsi untuk memenuhi
kebutuhan yodium, masyarakat bangsalrejo justru kerap kali mengalami gangguan
kesehatan akibat kekurangan yodium.
Hal
tersebut terungkap saat siswa SD di wilayah tersebut diminta membawa garam
konsumsi di rumahnya, terbukti hanya 30% dari total murid yang membawa garam
dengan kandungan yodium cukup. Sementara sisanya banyak menggunakan garam rosok
dan garam briket yang tidak memiliki cukup kandungan yodium.
Melihat
kenyataan tersebut Bidan Kasriutan mencoba mendeteksi konsumsi yodium pada ibu
hamil yang kerap mengikuti penyuluhan. Dari proses deteksi tersebut terbukti
hanya 16% atau 4 orang dari 25 ibu hamil yang mengonsumsi garam dengan kadar
yodium cukup. Padahal kekurangan yodium tidak hanya dapat mengakibatkan gondok
tetapi juga keguguran, hingga tumbuhnya sel kanker.
Usai
indikator-indikator tersebut jelas, bidan berusia 37 tahun ini mulai melakukan
sosialisasi mengenai pentingnya yodium bagi kesehatan, juga secara khusus pada
ibu hamil.
Sosialisasi
diawali dengan pelatihan kader, baru kemudian diberikan kepada masyarakat luas
agar lebih optimal.
Dalam
masa sosialisasi tersebut kader juga melakukan penyaringan melalui palpasi
gondok. Dalam proses palpasi tersbeut ditemukan tiga ibu hamil yang menderita
gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
Tidak
hanya sampai di situ, Bidang yang sejak masa jabatannya pada 1998 telah bekerja
di wilayah Bangsalrejo ini juga mengajak warga untuk mengolah sendiri garam
dengan kadar yodium mencukupi.
Dengan
bantuan dari pabrikan garam yang ada di sekitar, serta beberapa kali
penyuluhan, kini masyarakat sudah bisa memproduksi garam yodium mereka. Sehingga
diharapkan tak lagi ada Gaky di lumbung garam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar