Siaran Pers
Kamis,
7 Februari 2013
Konflik Agraria
Menggila, Akademisi Bikin Petisi ke Presiden
BEBERAPA
tahun terakhir, kasus konflik agraria terus meningkat. Badan
Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, ada sekitar 8.000 konflik pertanahan
belum terselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700
konflik agraria; Sawit Watch menyebutkan sekitar 660 kasus di perkebunan sawit.
Begitu juga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut konflik
agraria sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sekitar 60 ribu nelayan.
Kriminalisasi dan
kekerasan terhadap petani pun terjadi mengiringi konflik-konflik agraraia ini.
Tahun lalu, sekitar 156 petani ditahan tanpa proses hukum benar, 55 orang
mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tiga orang
tewas.
“Respon
pemerintah terhadap konflik dan kekerasan oleh aparat keamanan sangat lambat,
tidak memadai dan tidak memuaskan,” kata Myrna A.
Safitri, Direktur Epistema Institute juga salah seorang penggagas petisi, dalam
siaran pers, Kamis(7/2/13).
Menyikapi masalah
ini, kata Myrna, sejumlah 140-an pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria
di Indonesia menyampaikan keprihatinan terhadap masalah ini. Dalam Diskusi
Pakar bertema Membangun Indonesia dengan Keadilan Agraria, Kamis, 7
Februari 2013 di Hotel Bidakara Jakarta, mereka menyampaikan surat terbuka
kepada Presiden. Dalam diskusi ini dibentuk Forum Indonesia untuk Keadilan
Agraria yang diketuai oleh Dr. Soeryo Adiwibowo.
Prof. Maria
Sumardjono mengusulkan agar Presiden segera menyelesaikan konflik agraria.
Konflik-konflik agraria yang massif dan berdampak luas merupakan peristiwa luar
biasa. Untuk itu Presiden perlu membentuk sebuah lembaga independen untuk
penyelesaian konflik itu secara tuntas. Diperlukan kemauan politik yang nyata
untuk membentuk lembaga tersebut.
Para
akademisi berpendapat, konflik agraria selama ini karena beberapa faktor,
antara lain karena reformasi hukum dan kebijakan komprehensif belum
dilaksanakan. Setidaknya ada empat hal mengindikasikan situasi ini. Pertama,
ada beberapa ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, ketidakharmonisan
dan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang sumber daya
alam (SDA) dan lingkungan hidup. Ketiga, ketidaksinkronan antara
peraturan perundangan-undangan SDA dan lingkungan dengan peraturan yang
mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Keempat, banyak peraturan
daerah bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek.
Lalu
faktor kebijakan dan praktik penerbitan izin, khusus bagi usaha skala besar.
Selama ini, belum mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik, sarat
korupsi, tidak mengakui hak-hak masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal.
“Juga petani dan nelayan, terutama mereka yang tidak bertanah serta
membatasi akses mereka terhadap tanah dan SDA,” kata Prof. Endriatmo
Sutarto.
Faktor
lain, katanya, terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang atau
badan hukum yang mengakibatkan kesenjangan penguasaan dan pemilikan
tanah menjadi lebar, kata Dr. Soeryo Adiwibowo. Begitu pula ada sejumlah
perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral berseberangan
dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup.
Konflik agraria pun makin akut karena penyelesaian lebih mengedepankan legal formal. Konflik tidak terdeteksi
secara dini karena belum penanganan pengaduan oleh pemerintah daerah belum
optimal. Konflik sudah bereskalasi karena tindak kekerasan
aparat keamanan yang seharusnya berdiri diatas segala pihak justru melindungi
kepentingan pemodal. “Dengan cara yang patut diduga bekerja sama dengan
perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai tanah atau SDA masyarakat
“ kata Dr. Satyawan Sunito dari IPB.
Para pakar ini
sepakat sustainable economic growth atau pembangunan berprinsip pada
keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian fungsi
lingkungan tidak akan mencapai jika konflik agraria tidak diselesaikan atau
penyelesaian dengan cara-cara represif.
Forum
Indonesia untuk Keadilan Agraria terdiri dari pengajar, peneliti dan pemerhati
studi agraria. Mereka menyampaikan sejumlah usulan perbaikan kepada Presiden. Beberapa
di antaranya adalah melaksanakan seluruh amanah Ketetapan
MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam secara konsisten. Segera bentuk lembaga independen untuk penyelesaian
tuntas konflik agraria yang bersifat massif dan berdampak luas di masa lalu dan
masa kini.
Kelompok
ini juga meminta Presiden mengkaji ulang kebijakan perizinan (pemberian) hak
dan moratorium pemberian izin/hak selama pengkajian ulang. Meminta Presiden,
menugaskan Menkumham memimpin pengkajian ulang peraturan perundang-undangan, Kepala BPN meninjau ulang alas hak penguasaan
tanah dari perusahaan berkonflik. Juga menindak tegas semua pelanggaran terkait
pemberian hak atas tanah yang berindikasi tindak pidana. “Presiden
diminta menugaskan Menteri Kehutanan segera menyelesaikan konflik pada
desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan,” kata Myrna.
Para
anggota Forum meminta Presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengusut
tuntas tindak kekerasan oleh aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis
LSM. Juga menghentikan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat dan
membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat, petani dan nelayan
yang saat ini ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian.
Gerakan akademisi
ini bersifat independen, sukarela dan semata-mata didasarkan pada tanggung
jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejumlah guru
besar bergabung ke dalam gerakan ini seperti Prof. Sediono Tjondronegoro, Prof
Gunawan Wiradi, Prof Maria Sumardjono, Prof Hariadi Kartodihardjo. Demikian
pula mendukung aktif gerakan ini sejumlah dosen, peneliti dari LIPI dan lembaga
penelitian lain.
Informasi lebih
lanjut tentang kegiatan ini hubungi:
Myrna A.
Safitri, Ph.D (sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria)
HP: 0816861372,
e-mail: myrna_safiri@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar