Suratan Nasib Membawa Seorang Pemuda Indonesia ke NZ
Ketika Achmad Fadhiel keluar dari pesawat di Auckland pada tahun 1983, pemuda berusia 18 tahun tersebut telah menyiapkan diri untuk studi di luar negeri selama bertahun-tahun dengan mempelajari, bukan bahasa Inggris, tetapi bahasa Jerman. Setelah rencana awalnya untuk belajar di Jerman gagal, Fadhiel berakhir di Selandia Baru melalui suratan nasib. “Saya telah mendengar tentang negeri ini, tetapi sedang berencana untuk mendaftar ke Kedutaan Besar Austria. Kedutaan Besar Austria tutup hari itu dan Kedutaan Besar Selandia Baru ketika itu terletak di jalan yang sama, Jalan Diponegoro, sehingga saya memutuskan untuk masuk kesana, ‘ ujar Fadhiel.
Untungnya, dia bercerita bahwa keluarga di mana ia tinggal di Auckland, para teman sekelas dan guru di Northcote College di Pantai Utara Auckland sangatlah suportif dalam membantunya belajar bahasa Inggris. Fadhiel melanjutkan dua tahun SMAnya di Selandia Baru dengan studi empat tahun menuju gelar sarjana S1 dalam bidang Niaga dan Administrasi di Victoria University of Wellington (VUW). Dalam kurun waktu tersebut, Fadhiel tinggal di Weir House, salah satu penginapan mahasiswa VUW di mana dia menjadi wakil pengelola penginapan yang bertanggung jawab untuk mengawasi para mahasiswa dari seluruh Selandia Baru dan dunia.
Fadhiel berkata bahwa berbagai pengalaman kepemimpinan seperti ini, dan juga sebuah gelar dari dari sebuah universitas luar negeri dan kemampuan bahasa Inggris, telah memberikannya sebuah daya saing dalam karirnya dalam bidang keuangan dan sektor riil di Indonesia. Sejak dia kembali ke Indonesia pada tahun 1989, ia telah bekerja dan memegang berbagai posisi manajemen senior dalam bidang perbankan, termasuk ABNAMRO Bank, Citigroup Indonesia, Bank Bumiputera dan Bank Dunia. Ia sekarang adalah Direktur Keuangan dari Grup BUMN Pupuk Indonesia dan menjadi komisaris dari berbagai perusahaan di Malaysia dan Iran.
Fadhiel dan keluarganya masih mengunjungi Selandia Baru secara rutin dan tahun lalu mereka memutuskan untuk mengirim anak laki-laki berusia 17 tahun mereka untuk belajar di Auckland Boys’ Grammar. “Saya katakana ke anak saya bahwa kawasan ini sedang menyatu – Selandia Baru, Australia, ASEAN dan Asia lainnya. Selandia Baru memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan sebuah peran penting di ASEAN dalam hal perdagangan, teknologi pertanian, energi panas bumi, teknologi informasi, pendidikan dan pariwisata dan oleh karenanya sangatlah penting bahwa kita mempelajari keunggulan masing-masing untuk memupuk sebuah pemahaman dan hubungan yang lebih baik.
When Achmad Fadhiel stepped off a plane in Auckland in 1983, the eighteen year old had been preparing to study abroad for years by learning, not English, but German. After his original plan to study in Germany fell through, Fadhiel ended up in New Zealand through a twist of fate. “I had heard of the country, but was planning to apply to the Austrian Embassy. It was closed that day and the New Zealand Embassy was then on the same street Jalan Diponegoro so I decided to go in,” Fadhiel says.
Luckily, he says his host family, classmates and teachers at Northcote College on Auckland’s North Shore were extremely supportive in helping him learn English. Fadhiel followed up his two years of high school in New Zealand with four years studying towards a Bachelor of Commerce and Administration (BCA) at Victoria University of Wellington. During this time, Fadhiel lived in Weir House, one of VUW’s student hostels where he became a deputy warden responsible for looking out for students from around New Zealand and the world.
Fadhiel says leadership experiences such as this, as well a degree from an overseas university and his command of the English language, have given him an edge in his career in finance and real sector in Indonesia. Since he moved back in 1989 he has worked and held senior management positions in banking, including at ABNAMRO Bank, Citigroup Indonesia, Bank Bumiputera and the World Bank. He is currently the Group Financial Director of state owned fertilizer company Pupuk Indonesia Holding Company and sits on the board of companies in Malaysia and Iran.
Fadhiel and his family still visit New Zealand regularly and last year they made the decision to send their seventeen-year-old son Irfan to study at Auckland Boys’ Grammar. “I tell my son the region is becoming one – New Zealand, Australia, ASEAN and the rest of Asia. New Zealand has huge potential for playing a major role in ASEAN in terms of trade, agriculture technology, geothermal energy, information technology, education and tourism and so it is very important that we learn each other competitiveness to foster a better understanding and good relationship.”
Photo credit: the Pupuk Iskandar Muda website
Ketika Achmad Fadhiel keluar dari pesawat di Auckland pada tahun 1983, pemuda berusia 18 tahun tersebut telah menyiapkan diri untuk studi di luar negeri selama bertahun-tahun dengan mempelajari, bukan bahasa Inggris, tetapi bahasa Jerman. Setelah rencana awalnya untuk belajar di Jerman gagal, Fadhiel berakhir di Selandia Baru melalui suratan nasib. “Saya telah mendengar tentang negeri ini, tetapi sedang berencana untuk mendaftar ke Kedutaan Besar Austria. Kedutaan Besar Austria tutup hari itu dan Kedutaan Besar Selandia Baru ketika itu terletak di jalan yang sama, Jalan Diponegoro, sehingga saya memutuskan untuk masuk kesana, ‘ ujar Fadhiel.
Untungnya, dia bercerita bahwa keluarga di mana ia tinggal di Auckland, para teman sekelas dan guru di Northcote College di Pantai Utara Auckland sangatlah suportif dalam membantunya belajar bahasa Inggris. Fadhiel melanjutkan dua tahun SMAnya di Selandia Baru dengan studi empat tahun menuju gelar sarjana S1 dalam bidang Niaga dan Administrasi di Victoria University of Wellington (VUW). Dalam kurun waktu tersebut, Fadhiel tinggal di Weir House, salah satu penginapan mahasiswa VUW di mana dia menjadi wakil pengelola penginapan yang bertanggung jawab untuk mengawasi para mahasiswa dari seluruh Selandia Baru dan dunia.
Fadhiel berkata bahwa berbagai pengalaman kepemimpinan seperti ini, dan juga sebuah gelar dari dari sebuah universitas luar negeri dan kemampuan bahasa Inggris, telah memberikannya sebuah daya saing dalam karirnya dalam bidang keuangan dan sektor riil di Indonesia. Sejak dia kembali ke Indonesia pada tahun 1989, ia telah bekerja dan memegang berbagai posisi manajemen senior dalam bidang perbankan, termasuk ABNAMRO Bank, Citigroup Indonesia, Bank Bumiputera dan Bank Dunia. Ia sekarang adalah Direktur Keuangan dari Grup BUMN Pupuk Indonesia dan menjadi komisaris dari berbagai perusahaan di Malaysia dan Iran.
Fadhiel dan keluarganya masih mengunjungi Selandia Baru secara rutin dan tahun lalu mereka memutuskan untuk mengirim anak laki-laki berusia 17 tahun mereka untuk belajar di Auckland Boys’ Grammar. “Saya katakana ke anak saya bahwa kawasan ini sedang menyatu – Selandia Baru, Australia, ASEAN dan Asia lainnya. Selandia Baru memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan sebuah peran penting di ASEAN dalam hal perdagangan, teknologi pertanian, energi panas bumi, teknologi informasi, pendidikan dan pariwisata dan oleh karenanya sangatlah penting bahwa kita mempelajari keunggulan masing-masing untuk memupuk sebuah pemahaman dan hubungan yang lebih baik.
When Achmad Fadhiel stepped off a plane in Auckland in 1983, the eighteen year old had been preparing to study abroad for years by learning, not English, but German. After his original plan to study in Germany fell through, Fadhiel ended up in New Zealand through a twist of fate. “I had heard of the country, but was planning to apply to the Austrian Embassy. It was closed that day and the New Zealand Embassy was then on the same street Jalan Diponegoro so I decided to go in,” Fadhiel says.
Luckily, he says his host family, classmates and teachers at Northcote College on Auckland’s North Shore were extremely supportive in helping him learn English. Fadhiel followed up his two years of high school in New Zealand with four years studying towards a Bachelor of Commerce and Administration (BCA) at Victoria University of Wellington. During this time, Fadhiel lived in Weir House, one of VUW’s student hostels where he became a deputy warden responsible for looking out for students from around New Zealand and the world.
Fadhiel says leadership experiences such as this, as well a degree from an overseas university and his command of the English language, have given him an edge in his career in finance and real sector in Indonesia. Since he moved back in 1989 he has worked and held senior management positions in banking, including at ABNAMRO Bank, Citigroup Indonesia, Bank Bumiputera and the World Bank. He is currently the Group Financial Director of state owned fertilizer company Pupuk Indonesia Holding Company and sits on the board of companies in Malaysia and Iran.
Fadhiel and his family still visit New Zealand regularly and last year they made the decision to send their seventeen-year-old son Irfan to study at Auckland Boys’ Grammar. “I tell my son the region is becoming one – New Zealand, Australia, ASEAN and the rest of Asia. New Zealand has huge potential for playing a major role in ASEAN in terms of trade, agriculture technology, geothermal energy, information technology, education and tourism and so it is very important that we learn each other competitiveness to foster a better understanding and good relationship.”
Photo credit: the Pupuk Iskandar Muda website
https://www.facebook.com/nzembassyindonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar