Kepada Yth.Rekan-rekan Media
Di
Tempat.
Perihal: Undangan Talkshow
Dengan Hormat,
Kemitraan bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) , Transparency International Indonesia (TII), Turuntangan.org dan
Obrolan Langsat bermaksud
menyelenggarakan talkshow dengan topik sebagai
berikut:
“Modal Sosial Melawan Korupsi”
Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapakuntuk hadir dalam
acara Talkshow tersebut yang akan diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 25 September 2014
Waktu : 19.00 WIB - Selesai
Tempat : Rumah Langsat, Jalan Langsat 1, No. 3A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Talkshow ini selain diikuti oleh peserta yang hadir di tempat penyelenggaraan
kegiatan, juga dapat diikuti secara interaktif melalui online (Live tweet
bersama)
Follow@kemitraan_pgr,
@obsat , @kpk_ri, @turuntangan, @TIIndonesia dengan #socmedmelawan
Adapun Narasumber yang
dihadirkan adalah Bapak Bambang Widjojanto (Komisi Pemberantasan Korupsi-RI) ,
Bapak Dadang Trisasongko (Sekjen Transparency International Indonesia)
dan Lenny Hidayat (IGI
– Kemitraan) dengan Moderator Bapak Iman D. Nugroho – Obrolan Langsat
(Obsat)
Besar harapan kami atas kesediaan Bapak untuk hadir dalam Lecture Talkshow ini.
Untuk konfirmasi kehadiran mohon mereply email ini ke riana.ekawati@kemitraan.or,id atau amalia.fubani@kemitraan.or.id
Demikian undangan ini
kami sampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Wicaksono Sarosa,
Ph.D.
Direktur
Eksekutif
Modal Sosial Melawan Korupsi
Kamis, 25 September 2014, Rumah Langsat, Jakarta Selatan
====================================================================================
Secanggih apapun tindakan korupsi, KPK dan penegak
hukum lain mampu mendeteksi dan menangkap para koruptor. Hal ini terbukti
dengan semakin banyaknya pejabat baik di pusat maupun daerah tertangkap.
Menurut data KPK tahun 2004 hingga Juli
2014, terdapat 75 anggota DPR/DPRD, 18 kepala lembaga/kementerian, 4 duta
besar, 7 komisioner negara, 15 gubernur, 41 wali kota/bupati dan wakil, 115
pejabat eselon I/II/III, 10 hakim, 102 pihak swasta, dan 43 profesi lain. Sementara
data Kemendagri mencatat hingga Januari 2014, sebanyak 318 orang dari total 524
orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut korupsi.
Di sisi lain, keterbukaan informasi dan
perkembangan teknologi (salah satunya melalui media sosial) memungkinkan publik
dapat berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk juga
melaporkan dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat di daerah. Sejarah mencatat bagaimana media sosial telah terbukti
ampuh dalam mendorong perubahan. Contohnya adalah ketika publik di sosial media
menolak disahkannya RUU KUHP dan KUHAP, juga besarnya gelombang dukungan kepada
Walikota Surabaya untuk tidak mengundurkan diri dari jabatannya, serta masih
banyak lagi contoh lainnya.
Di sisi lain, sejarah telah mencatat bagaimana KPK beberapa kali
“diselamatkan” oleh gerakan yang diusung melalui media sosial, misalnya
dukungan publik melalui media sosial pada kasus Cicak vs Buaya jilid I dan II
yang terjadi tahun 2009 dan 2012. Di mana jilid I ditandai dengan dukungan
lebih dari 10 ribu pengguna facebook mendukung gerakan menolak kriminalisasi
Bibit-Chandra, sementara jilid II ditandai dengan banyaknya pengguna twitter
menulis bertemakan presiden dengan menggunakan hashtag atau tagar
#PresidenKeMana, tercatat tagar dikumandangkan 3.654 kali dan #saveKPK yang
lebih dulu ada terpancar lebih dari 27.000.
Menurut Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, aktivisme sosial dari kalangan
”Gen-Z”—generasi digital, generasi multimedia—yang sangat familiar dengan dunia
virtual, media sosial, dan gadget mengindikasikan bahwa mereka memiliki smart
power untuk mengonsolidasikan keberpihakan terhadap nilai serta sistem yang
anti korupsi dan kolusi. Ini merupakan modal sosial yang otentik serta
seyogianya bisa dikonsolidasikan dan dikapitalisasi agar dapat menjadi energi
sosial yang kelak diintegrasikan dan disinergikan sebagai bagian dari
partisipasi publik dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Selain modal sosial berupa media sosial, gerakan
anti korupsi di republik ini juga memiliki modal sosial yang tidak kalah
penting, yakni hasil penelitian dan survei yang telah dilakukan oleh
lembaga-lembaga independen dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis.
Indonesia Governance Index (IGI) menjadi salah
satu dari sekian banyak hasil penelitian yang telah dilakukan. IGI mengukur
secara kualitas maupun kuantitas kinerja pemerintah, birokrasi, masyarakat
sipil, maupun masyarakat ekonomi di daerah, dan tidak hanya menggunakan metode
survei persepsi namun juga menganalisa dokumen-dokumen publik.
Dua modal sosial tersebut (baik media sosial
maupun hasil penelitian IGI) dapat digunakan oleh KPK dan lembaga penegak hukum
lain untuk memperkuat tuntutan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas
tata kelola daerah. Selama ini fakta menunjukkan bahwa pemerintah daerah
cenderung belum mau menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
menjalankan pemerintahan.
Ini ditunjukkan oleh hasil penelitian IGI tahun
2008, 2012, dan 2014[1] yang
menunjukkan bahwa skor transparansi dan akuntabilitas di arena pejabat politik
dan birokrasi rendah, sehingga pejabatnya rawan korupsi. Penelitian IGI 2008,
2012 dan 2014 juga menunjukkan bahwa ketika sebuah daerah tidak transparan dan
akuntabel, maka publik tidak dapat berpartisipasi dalam mendukung, memberi
masukan dan mengawasi jalannya pemeritahan, ini berakibat pada besarnya peluang
terjadinya korupsi di daerah.
Misalnya Kabupaten Seluma di Bengukulu yang
merupakan salah satu wilayah penelitian, IGI 2014 tidak dapat mengeluarkan
hasil ukuran kinerja pemerintahan sama sekali, karena data-data yang seharusnya
dapat diakses publik ditutup rapat. Padahal sudah dilakukan bermacam cara untuk
mendapatkan data-data publik seperti APBD, RPJMD, LKPJ dan-lain-lain yang
aksesnya dilindungi UU Keterbukaan Informasi Publik, tetapi ditolak. Setelah
diteliti, ternyata dari mulai Bupati,
Kepala Dinas PU, dua wakil DPRD kabupaten Seluma menjadi tersangka korupsi di
KPK.
Berdasarkan hasil IGI, salah satu tren yang
terjadi di daerah-daerah dimana pejabatnya terindikasi korupsi adalah rendahnya
komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Maka penting bagi publik
menuntut kepada pemerintah di daerahnya untuk lebih terbuka dan akuntabel, sebagai bagian dari upaya melakukan pencegahan korupsi, karena faktanya
menunjukkan bahwa rezim pemerintahan yang tertutup cenderung koruptif.
Salah
satu langkah awal yang dapat dilakukan oleh publik untuk membuat pemerintah lebih terbuka adalah mengkampanyekan pentingnya keterbukaan
dalam menjalankan pemerintahan melalui media sosial.
Maka,
akan menjadi kolaborasi yang sangat kuat jika KPKdan penegak hukum lainnya di
negeri ini, sertaaktivis media sosial sama-sama melawan korupsi
melalui jalurnya masing-masing dengan dilengkapi dengan data hasil penelitian yang valid
dan konkrit. Dengan demikian dorongan akan
semakin kuat bagi pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk lebih transparan
dan akuntabel.
Di
Tempat.
Perihal: Undangan Talkshow
Dengan Hormat,
Kemitraan bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) , Transparency International Indonesia (TII), Turuntangan.org dan
Obrolan Langsat bermaksud
menyelenggarakan talkshow dengan topik sebagai
berikut:
“Modal Sosial Melawan Korupsi”
Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapakuntuk hadir dalam
acara Talkshow tersebut yang akan diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 25 September 2014
Waktu : 19.00 WIB - Selesai
Tempat : Rumah Langsat, Jalan Langsat 1, No. 3A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Talkshow ini selain diikuti oleh peserta yang hadir di tempat penyelenggaraan
kegiatan, juga dapat diikuti secara interaktif melalui online (Live tweet
bersama)
Follow@kemitraan_pgr,
@obsat , @kpk_ri, @turuntangan, @TIIndonesia dengan #socmedmelawan
Adapun Narasumber yang
dihadirkan adalah Bapak Bambang Widjojanto (Komisi Pemberantasan Korupsi-RI) ,
Bapak Dadang Trisasongko (Sekjen Transparency International Indonesia)
dan Lenny Hidayat (IGI
– Kemitraan) dengan Moderator Bapak Iman D. Nugroho – Obrolan Langsat
(Obsat)
Besar harapan kami atas kesediaan Bapak untuk hadir dalam Lecture Talkshow ini.
Untuk konfirmasi kehadiran mohon mereply email ini ke riana.ekawati@kemitraan.or,id atau amalia.fubani@kemitraan.or.id
Demikian undangan ini
kami sampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Wicaksono Sarosa,
Ph.D.
Direktur
Eksekutif
Modal Sosial Melawan Korupsi
Kamis, 25 September 2014, Rumah Langsat, Jakarta Selatan
====================================================================================
Secanggih apapun tindakan korupsi, KPK dan penegak
hukum lain mampu mendeteksi dan menangkap para koruptor. Hal ini terbukti
dengan semakin banyaknya pejabat baik di pusat maupun daerah tertangkap.
Menurut data KPK tahun 2004 hingga Juli
2014, terdapat 75 anggota DPR/DPRD, 18 kepala lembaga/kementerian, 4 duta
besar, 7 komisioner negara, 15 gubernur, 41 wali kota/bupati dan wakil, 115
pejabat eselon I/II/III, 10 hakim, 102 pihak swasta, dan 43 profesi lain. Sementara
data Kemendagri mencatat hingga Januari 2014, sebanyak 318 orang dari total 524
orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut korupsi.
Di sisi lain, keterbukaan informasi dan
perkembangan teknologi (salah satunya melalui media sosial) memungkinkan publik
dapat berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk juga
melaporkan dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat di daerah. Sejarah mencatat bagaimana media sosial telah terbukti
ampuh dalam mendorong perubahan. Contohnya adalah ketika publik di sosial media
menolak disahkannya RUU KUHP dan KUHAP, juga besarnya gelombang dukungan kepada
Walikota Surabaya untuk tidak mengundurkan diri dari jabatannya, serta masih
banyak lagi contoh lainnya.
Di sisi lain, sejarah telah mencatat bagaimana KPK beberapa kali
“diselamatkan” oleh gerakan yang diusung melalui media sosial, misalnya
dukungan publik melalui media sosial pada kasus Cicak vs Buaya jilid I dan II
yang terjadi tahun 2009 dan 2012. Di mana jilid I ditandai dengan dukungan
lebih dari 10 ribu pengguna facebook mendukung gerakan menolak kriminalisasi
Bibit-Chandra, sementara jilid II ditandai dengan banyaknya pengguna twitter
menulis bertemakan presiden dengan menggunakan hashtag atau tagar
#PresidenKeMana, tercatat tagar dikumandangkan 3.654 kali dan #saveKPK yang
lebih dulu ada terpancar lebih dari 27.000.
Menurut Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, aktivisme sosial dari kalangan
”Gen-Z”—generasi digital, generasi multimedia—yang sangat familiar dengan dunia
virtual, media sosial, dan gadget mengindikasikan bahwa mereka memiliki smart
power untuk mengonsolidasikan keberpihakan terhadap nilai serta sistem yang
anti korupsi dan kolusi. Ini merupakan modal sosial yang otentik serta
seyogianya bisa dikonsolidasikan dan dikapitalisasi agar dapat menjadi energi
sosial yang kelak diintegrasikan dan disinergikan sebagai bagian dari
partisipasi publik dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Selain modal sosial berupa media sosial, gerakan
anti korupsi di republik ini juga memiliki modal sosial yang tidak kalah
penting, yakni hasil penelitian dan survei yang telah dilakukan oleh
lembaga-lembaga independen dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis.
Indonesia Governance Index (IGI) menjadi salah
satu dari sekian banyak hasil penelitian yang telah dilakukan. IGI mengukur
secara kualitas maupun kuantitas kinerja pemerintah, birokrasi, masyarakat
sipil, maupun masyarakat ekonomi di daerah, dan tidak hanya menggunakan metode
survei persepsi namun juga menganalisa dokumen-dokumen publik.
Dua modal sosial tersebut (baik media sosial
maupun hasil penelitian IGI) dapat digunakan oleh KPK dan lembaga penegak hukum
lain untuk memperkuat tuntutan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas
tata kelola daerah. Selama ini fakta menunjukkan bahwa pemerintah daerah
cenderung belum mau menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
menjalankan pemerintahan.
Ini ditunjukkan oleh hasil penelitian IGI tahun
2008, 2012, dan 2014[1] yang
menunjukkan bahwa skor transparansi dan akuntabilitas di arena pejabat politik
dan birokrasi rendah, sehingga pejabatnya rawan korupsi. Penelitian IGI 2008,
2012 dan 2014 juga menunjukkan bahwa ketika sebuah daerah tidak transparan dan
akuntabel, maka publik tidak dapat berpartisipasi dalam mendukung, memberi
masukan dan mengawasi jalannya pemeritahan, ini berakibat pada besarnya peluang
terjadinya korupsi di daerah.
Misalnya Kabupaten Seluma di Bengukulu yang
merupakan salah satu wilayah penelitian, IGI 2014 tidak dapat mengeluarkan
hasil ukuran kinerja pemerintahan sama sekali, karena data-data yang seharusnya
dapat diakses publik ditutup rapat. Padahal sudah dilakukan bermacam cara untuk
mendapatkan data-data publik seperti APBD, RPJMD, LKPJ dan-lain-lain yang
aksesnya dilindungi UU Keterbukaan Informasi Publik, tetapi ditolak. Setelah
diteliti, ternyata dari mulai Bupati,
Kepala Dinas PU, dua wakil DPRD kabupaten Seluma menjadi tersangka korupsi di
KPK.
Berdasarkan hasil IGI, salah satu tren yang
terjadi di daerah-daerah dimana pejabatnya terindikasi korupsi adalah rendahnya
komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Maka penting bagi publik
menuntut kepada pemerintah di daerahnya untuk lebih terbuka dan akuntabel, sebagai bagian dari upaya melakukan pencegahan korupsi, karena faktanya
menunjukkan bahwa rezim pemerintahan yang tertutup cenderung koruptif.
Salah
satu langkah awal yang dapat dilakukan oleh publik untuk membuat pemerintah lebih terbuka adalah mengkampanyekan pentingnya keterbukaan
dalam menjalankan pemerintahan melalui media sosial.
Maka,
akan menjadi kolaborasi yang sangat kuat jika KPKdan penegak hukum lainnya di
negeri ini, sertaaktivis media sosial sama-sama melawan korupsi
melalui jalurnya masing-masing dengan dilengkapi dengan data hasil penelitian yang valid
dan konkrit. Dengan demikian dorongan akan
semakin kuat bagi pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk lebih transparan
dan akuntabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar