Belum semua pemerintah
daerah, utamanya kabupaten/kota, membentuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD)
sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Padahal, pemerintah dan pemerintah daerah
menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam
rangka review politik kebencanaan, DPD
RI ingin meningkatkan kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk bahaya bencana,
selain menghasilkan pokok-pokok pikiran yang berskala nasional, dan alokasi
dana tahun 2016 untuk daerah rawan bencana sebagai masukan kepada eksekutif.
Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Prof Dr Irjen Pol (Purn) Farouk
Muhammad Syechbubakar menyatakan antara DPD RI dan BNPB memiliki kepentingan
yang beririsan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti penetapan
kebijakan pembangunan yang selaras dengan kebijakan pembangunan nasional. Penanggulangan
bencana bertujuan antara lain untuk memberikan pelindungan kepada masyarakat, menyelaraskan
peraturan perundang-undangan, serta menjamin penanggulangan bencana yang terencana,
terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
“DPD RI dan BNPB
memiliki kepentingan yang sama, dan DPD RI makin menyadari kepentingannya untuk
mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah-daerah melalui
politik kebencanaan,” senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskannya
dalam executive brief yang membahas
sosialisasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bersama
Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ir Dody Ruswandi
MSCE, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja, dan Deputi
Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Bambang Sulistianto di ruangan rapat
pimpinan DPD RI lantai 8 Gedung Nusantara III di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Senin (16/2).
Dalam kesempatan
tersebut, Farouk menyinggung tanggung jawab negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang bertujuan untuk
memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk pelindungan
atas bencana alam. Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
memuat penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana yang arah kebijakan
dan strategi pembangunannya menyangkut mitigasi, yaitu serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
“Kita harus review politik kebencanaan selama ini menuju
Indonesia yang tangguh bencana,” dia menyambung. Dalam rangka review politik kebencanaan itu, DPD RI ingin
menghasilkan masukan kepada eksekutif, yaitu pokok-pokok pikiran yang berskala
nasional, alokasi dana tahun 2016 untuk daerah rawan bencana, serta
meningkatkan kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk bahaya bencana.
Khusus untuk menuju Indonesia
yang tangguh bencana, khususnya kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk
bahaya bencana, sumber masalahnya ternyata di level pemerintah daerah seperti
alokasi dana bencana yang minim dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),
serta pemerintah daerah yang kurang memberdayakan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD).
“Mengenai kelembagaan dalam
penanggulangan bencana, pemerintah daerah kurang memberdayakan BPBD.
Pemberdayaannya tidak optimal. Akibatnya, makin fatal dampak buruk bencana di
daerah tergolong rawan bencana yang meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.”
Padahal, suatu wilayah tergolong rawan bencana jika kondisi geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi mengurangi kemampuan daerah bersangkutan dalam mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuannya menanggapi dampak buruk bahaya bencana.
Menurutnya, sekitar 80
persen kabupaten/kota termasuk kawasan risiko tinggi terhadap berbagai ancaman
bencana. Kejadian bencana selalu menimbulkan risiko korban jiwa dan kerugian
ekonomi, dan akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pembangunan apabila
risiko bencana tidak terkelola. Menghadapi peningkatan potensi ancaman dan
kompleksitas ancaman bencana di masa nanti, maka sasaran penanggulangan bencana
dan pengurangan risiko bencana adalah meningkatnya ketangguhan masyarakat dalam
menghadapinya.
Dalam masa reses
nanti, para senator akan mendorong pemerintah daerah untuk memperhatikan kelembagaan
dalam penanggulangan bencana, yaitu membentuk BPBD yang bertugas untuk melaksanakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya. “Kita akan
menyelenggarakan rapat bersama gubernur dan jajarannya serta dewan perwakilan rakyat
daerah. Kita tidak sekadar turun ke lapangan memberikan santunan lewat DPD RI
Peduli, yang sifatnya taktis, tapi juga strategis.”
Dalam kesempatan tersebut,
Dody Ruswandi menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi
penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Wewenang pemerintah
meliputi antara lain penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah,
sedangkan wewenang pemerintah daerah meliputi antara lain penetapan kebijakan
penanggulangan bencana pada wilayahnya.
Persoalannya, belum
semua pemerintah daerah membentuk BPBD. Pada tingkat provinsi, badan dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan pada
tingkat kabupaten/kota, badan dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.
Mengutip UU Penanggulangan
Bencana, dia menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung
jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah daerah provinsi merapat
ke daerah bencana untuk memberikan dukungan dengan mengerahkan seluruh
sumberdaya di wilayahnya jika diperlukan. Sementara pemerintah memberikan
bantuan sumberdaya jika tidak tertangani daerah. “Pemerintah daerah
kabupaten/kota menjadi penanggung jawab utama di wilayahnya.”
“Setelah berumur 6
tahun, sejak diundang-undangkan tanggal 26 April 2007, BNPB mencatat beberapa
pembelajaran. Kami ingin salurkan pembelajaran ini ke pemerintah daerah. Kami
menyadari, penanggulangan bencana di daerah belum sempurna karena menyangkut kelembagaan
dalam penanggulangan bencana. Faktanya, beberapa pemerintah kabupaten/kota
belum membentuk badan penanggulangan bencana daerah. Padahal, wilayahnya terletak
di daerah rawan bencana.”
Dody memaparkan tren
bencana yang meningkat. Misalnya tahun 2014, terjadi 1.475 kejadian bencana
yang menyebabkan 561 korban meninggal dan hilang, 2,65 juta jiwa menderita dan
mengungsi, 50.883 unit rumah rusak, 430 ribu rumah terendam banjir, dan ratusan
fasilitas umum rusak. “Kalau kita menghitung akibat tanggungannya, sungguh
besar. Jadi, sungguh pantas kalau kita fokus memperhatikan dampak bahaya bencana,
khususnya oleh pemerintah daerah,” dia menyatakan.
Dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, dia menandaskan, pelaksananya meliputi prabencana (pencegahan
dan kesiapsiagaan), saat bencana (tanggap darurat), dan pascabencana (rehabilitasi
dan rekonstruksi). Untuk tahap saat bencana (siaga darurat, tanggap darurat,
dan transisi darurat ke pemulihan), setiap rencana operasi harus memberikan kemudahan
akses komando, dana siap pakai, penyelamatan, pengerahan sumberdaya, perizinan,
dan pengadaan barang jasa.
Rapat tersebut tindak
lanjut atas perhatian khusus DPD RI kepada daerah-daerah yang geografisnya tergolong
rawan bencana alam seperti longsor dan banjir. Perhatian khusus, karena peristiwa karena faktor alam mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, yang semuanya
berdampak psikologis.
Sebelumnya di lokasi
yang sama, Wakil Ketua DPD RI rapat bersama Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif , Sekretaris Utama Badan Search
and Rescue (SAR) Nasional (Basarnas) Max Ruland Baseke, serta pelaksana tugas (plt) Kepala Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Widada Sulistya. DPD RI bersama
BNPB, Basarnas, dan BMKG menyadari wilayah negara Republik Indonesia yang
situasi dan kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografisnya
memungkinkan terjadinya bencana alam, utamanya karena faktor alam, yang
menyebabkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan berdampak psikologis sehingga untuk keadaannya tertentu justru menghambat
pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar