i : Observe
Aditya Chandra H, Justian Jafin Roxc W,
Rosit Mulyadi, Ungki Prasetyo
14 Oktober – 14 November 2014
Jogja Contemporary
Kompleks Jogja National Museum, Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1,
Gampingan, Yogyakarta-55167
Essay oleh: Hendra Himawan, Pitra Hutomo
‘Seni berbasis riset’, ‘seniman sebagai
peneliti’, agaknya menjadi satu kanon utama dalam praktek seni rupa hari ini,
ketika kritik budaya menuntut kesenian lebih berperan dalam memproduksi
pengetahuan. Lantas bagaimanakah kecenderungan ini menemu bentuk praksisnya?
Apakah ‘seni yang berbasis riset’
mempunyai bentuk yang sama dengan penelitian ilmiah yang mempunyai
kerangka metodik yang ketat-terstruktur? Sementara melihat beragam praktik yang
telah dilakukan, legitimasi penelitian oleh seniman sering diukur dalam
kerangka akademik dan kebenaran-kebenaran teorik, bukan pada kerja seniman
sebagai peneliti. Membaca praktek kerja seni dalam project i:Observe yang digagas oleh Jogja Contemporary (JC) dengan
melibatkan empat seniman muda; Justian Jafin Rocx (Jafin), Ungki Prasetyo
(Ungki), Aditya Chandra (Adit) dan Rosit Mulyadi (Rosit), kita disodori sebuah
cara pandang melihat fenomena penelitian ‘dalam
dan melalui seni’, dari perspektif pemikiran para seniman dan melalui
prisma praktik artistiknya. Hendra
Himawan, kurator independen
Ketika seorang
seniman mencomot gagasan yang berserakan dan memutuskan apa yang akan dia
lakukan dengan hal tersebut; disadari maupun tidak, dia juga sedang menyusun
penuturan untuk dirinya sendiri. Dari banyak sekali aspek yang menentukan
kecenderungan visualisasi –pengalaman, keterpaparan, resonansi- selesainya
karya adalah selesainya penuturan yang menyertai pengembangan suatu gagasan
dalam diri seniman. Proses ini kerap disempitkan dengan kata subjektif,
sehingga beberapa seniman merasa perlu menyampaikan (lagi) pemikirannya dalam
ruang-ruang yang seolah-olah dibangun dalam kerangka objektif. Dari dugaan
inilah saya urung menanggapi kepenasaranan empat seniman “i: Observe” mengenai posisi mereka di peta seni kontemporer, baik
dalam hal kekaryaan maupun yang menjurus ke pemantapan karir. Bagi saya, yang
paling relevan dilakukan mereka saat ini adalah melakukan berbagai uji coba,
baik melalui artikulasi karya maupun representasi citraan. Pitra
Hutomo, Staf Pengembangan Arsip IVAA & salah satu
penggagas Hyphen
ADITYA
CHANDRA H
“Observasi adalah langkah awal saya membawa citra-citra lingkungan
sekitar, mengolah sumber daya yang mungkin terabaikan, melalui bahasa bentuk
personal yang bersifat imajinatif, baik citra yang berupa kebendaan atau makluk
di sekitarnya, bahkan ekosistem itu sendiri untuk di angkat menjadi sebuah
kerangka dalam saya berkarya. Saya menggunakan berbagai material, baik yang
siap pakai (ready made) atau material temuan (found object), sebagai usaha melakukan
pemaknaan ulang. Saya cenderung mengkombinasi satu material dengan yang lain, dalam
upaya mensinkronisasi berbagai hubungan yang pada dasarnya tidaklah jauh dari
kinerja seseorang dalam melakukan riset atau observasi”.
Aditya Chandra H, lahir
1986, angkatan 2005 dan lulus dari Jurusan Patung. Telah rajin berkarya dan
terlibat berbagai pameran bersama dari tahun 2006. Pameran yang pernah
diikutinya diantaranya: 2010, “Art for Our Life”, Raday Konyveshaz Gallery, Hungary;
“Bazaar Art Award”, The Ritz-Cartlon
Pacific Place dan Vanessa Artlink, Jakarta; “Art Toward Global Competition”,
Langgeng Gallery, Galeri ISI Yogyakarta. 2011,
“Speak Of”, Launching of Jogjanewsdotcom, Jogja National Museum/ JNM, Yogyakarta;
ARTJOG11, Taman Budaya Yogyakarta; “ Survey #3, For Whom the Bell Tolls”,
Edwin’s Gallery, Jakarta;“IMAJI IMAJI” ,Philo Art Space, Jakarta. 2012, “Bali
Villa Art Fair”, The Layar Villa, Seminyak, Bali; “Bazaar Art Jakarta”, The
Ritz-Cartlon Pacific Place, Jakarta; “Living Harmony With Art” Hotel Mulia
Senayan, Jakarta. 2013, ARTJOG 13
“Maritime Culture”, Taman Budaya, Yogyakarta; Indonesian ART AWARD 13, Galeri Nasional,
Jakarta; 2014 “Heavy Punch” Gallery
Watusaman Sculpture Space, Yogyakarta; API (Asociation of Indonesian Sculpture)
“Kecil-Kecil Patung”, Taman Budaya
Yogyakarta; “New Arrival Perspective” Rumahku Art Caffe, Magelang; “ Neo-iconoclast”
Langgeng Gallery, Magelang; “Art Island at Kustomfest 2014” Jogja Expo
Center/JEC, Jogjakarta.
JUSTIAN JAFIN ROCX W
“Aku menganalogikan karyaku seperti sebuah soft drink ataupun beer yang terasa “segar dan menggoda”. Minuman-minuman tersebut tertata rapi pada etalase-etalase kaca
bening. Ketika kau melihatnya dari kejauhan, di antara tandus dan gersangnya
hidup. Sekejap kau akan berlari dan berusaha meraihnya hanya untuk mengobati
dahagamu. Tapi kau lupa!! Kau bahkan tak sadar bahwa aku masih menggunakan
beberapa “isi” yang sama, yaitu ramuan “perangsang” yang akan mengantarkanmu
pada kepekaan terhadap realitas dan kondisi disekitarmu. Seharusnya kau tak
patut untuk melupakan terlebih meninggalkannya.”
Justian Jafin Rocx W, lahir 1987,
masuk ISI jurusan Seni Lukis tahun 2008. Sudah aktif berpameran bersama sejak
2007, diantaranya: 22011: “JAWA KOJA” Jogja Biennale Pararel Event, Katamsi Gallery, ISI
Yogyakarta; “SURVEY #3 : FROM WHOM THE BELL TOLLS” Edwin Gallery, Jakarta; “HOLIDAY
WITH MATA ANGIN”, Sudana Gallery Bali; “TRIBUTE
TO RAPRIKA ANGGA” Gedung Seni Grafis, ISI Yogyakarta; “INTUISI” Inagurasi Mahasiswa ISI Angkatan 2008, JNM
Yogyakarta; “FESTIVAL SENI ISLAMI
NASIONAL” Jogja National Museum, Yogyakarta; “SPEAK OFF”, JogjaNewsDotCom
Launching, Jogja National Museum, Yogyakarta. 2012, “AFFANDI PRIZE”, Museum Affandi,
Yogyakarta; “INGATAN SINTETIS”, Gedung Seni Murni, ISI Yogyakarta; “KAMPUS
TO KAMPUNG”, Ruang Kelas SD Yogyakarta. 2013, HUT Ulang Tahun Kota
Tuban Gedung Pahlawan Tuban Project Kolaborasi
“Suko Pari Suko” Heri Dono,Eddie Hara, Yunizar,Noor Ibrahim,Lindu
Prasekti,Justian Jafin Rocx Bentara Budaya Yogyakarta. 2014, “Cut & Re-Mix”, FKY26 Festival Kesenian Yogyakarta, Jogja
Gallery Yogyakarta; “Dies Natalis ISI” Gedung Serbaguna Aji Yasa FSR ISI
Yogyakarta.
ROSIT MULYADI
“Ada
tiga hal yang muncul dan menjadi pendar kearah
ini: pesantren, Islam, dan seni (rupa). Saya sebagai subjek/pelaku
menjadikan tiga hal ini sebagai kerangka/batasan. Lahir dan tumbuh dilingkungan
muslim yang taat, dari pesantren saya memulai pengenalan saya pada agama. Teks
agama diperkenalkan. Ada banyak tafsir atas agama yang beragam, karena
perbedaan sudut pandang yang ada. Lingkungan baru setelah pesantren cendrung
lepas, Peralihan dari lingkungan yang rapi teratur, ke lingkungan yang serba
terbuka, muncul benturan yang dinamis antara saya, lingkungan pesantren dan
Islam itu sendiri. Berkaitan profesi dan perhatian saya saat ini, beberapa hal
semisal soal hukum menggambar, isu sosial, radikalisme agama, poligami, menjadi pokok perhatian dalam kesempatan i:Observe ini.”
Rosit Mulyadi, lahir di Bantul 1988 dan belajar Seni
Lukis di ISI angkatan 2007. Selain
berbagai pameran bersama yang telah diikutinya sejak tahun 2009, Rosit telah
menjalani Residensi dengan Rumah Budaya Tembi ( di Yogyakarta dan di Jakarta )
pada tahun 2010 dan berpameran tunggal: 2010, “AROUND ME”, Tembi Rumah Budaya,
Jakarta; 2011 “AROUND ME”, Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta; dan 2012 (k)NOW,
Ministry of Coffee, Yogyakarta. Beberapa penghargaan yang pernah dimenangi: 2010,
Finalist International Painting Competition Jakarta Art Award; 2011, Group
Award with Kelompok Kandang Jaran for Paralel Event Event, Jogja Biennale XI; dan
2013, Nominee Basuki Abdullah Art Award.
UNGKI
PRASETYO
“Pada project pameran kali ini saya ingin mencoba
mengenal lebih dekat dengan para seniman yang cara bekerja atau berkaryanya
yang tidak lepas dari pengaruh musik.
Saya beranggapan bahwa sebagian besar seniman membutuhkan bunyi-bunyian, suara
atau lebih jelasnya yaitu lagu/musik untuk mendampingi mereka menciptakan
sebuah karya. Menurutku musik merupakan bahasa universal, berbagai macam genre
musik bisa mempengaruhi pendengarnya bahkan bisa memunculkan semangat untuk
membangkitkan mood yang turun. Saya sebagai seorang perupa sangat merasakan hal
itu, karena di sini saya juga pelaku seni rupa.”
Ungki Prasetyo,
lahir tahun 1989, belajar di ISI Seni Grafis, angkatan 2007. Telah aktif di
pameran seni rupa sejak 2007, diantaranya: 2013,
DGTMB Postcard Project, Dia lo Gue Art Space, Jakarta; “Round Stickers”, Racily
Café, Sewon, Yogyakarta; “ Jogja Internasional Mini Print “, UPT Galeri ISI
Yogyakarta; “Kopi Keliling”, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta; “Bukan Musik Bukan
Seni Rupa”, Gedung Ajiyasa ISI Yogyakarta; “Ruang Baru”, Ruang HMJ ISI
Yogyakarta; Bizzare, Gedung Pertunjukan ISI Yogyakarta. 2014, “Yang Maha Benda”, Studio Grafis Minggiran, Yogyakarta;
“Cetak Saring Atack #1”, Asmara Café, Yogyakarta; “In Focus + Indonesia”,
Muzeum Norodow Szczecine, Jerman; “Merayakan Agar-Agar”, Daging Tumbuh Shop,
Yogyakarta; “Partai Emblem Kukomikan”, Survive Garage, Yogyakarta; “Silaturahmi Peradaban”, Ilmu Giri, Selopamioro
Imogiri, Yogyakarta; “Sugeng Rawuh #3”, Survive
Garage, Yogyakarta; “ Neo Iconoclast”, Langgeng Gallery, Magelang; “ Sewon
Calling”, Gallery Soetopo, ISI Yogyakarta.
____________________
Mailing Address:
Kompleks Jogja National Museum
Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1, Gampingan
Yogyakarta 55167
Indonesia
Ketika Seniman (Hanya) Menjadi Arsip:
Pertanyaan yang Terserak dari Obrolan
dengan Peserta “i: Observe”
Halo
teman-teman pembaca. Semoga Anda semua sedang dalam keadaan baik; relatif
sehat, senang hati, dan tidak keberatan melanjutkan membaca tulisan pendek ini.
Pertama-tama,
selamat untuk empat orang yang ikut serta dalam proyek “i: Observe”, yakni
Adit, Jafin, Rosit, dan Ungki, terutama karena mereka telah mau menemani saya ngobrol saat proses Open Studio masih berlangsung, sehingga tulisan ini bisa saya
susun.
Kebetulan
mereka tidak sedang menggarap karya, karena sebagian besar telah rampung dan
siap dipajang. Pertemuan pertama kami cukup membuat saya merasa istimewa,
terutama karena keempat seniman yang akan berpameran telah siap menjelaskan
karya masing-masing – sesuatu yang biasanya hanya saya saksikan melalui layar
komputer sebagai rekaman video, dalam rombongan sebagai peserta tour pameran, atau hadirin dalam artists’ talk. Mungkin beginilah santainya
bekerja dengan seniman muda yang masih harus melamar pameran ke sana-sini, dan
konon agak kebingungan menempatkan dirinya di peta seni rupa kontemporer
sekarang.
Posisi yang tidak serta merta menentukan
prestasi
Perihal
posisi ini sulit ditelaah. Saya terbiasa mengamati berbagai kegiatan yang
dilakukan para pekerja seni Jogja secara pragmatis; siapa membuat karya
berjudul apa, di mana pameran berlangsung, siapa saja yang terlibat dalam
penyelenggaraan, kegiatan apa yang juga diselenggarakan menyertai pameran, dan
sebagainya. Ketika materi terkumpul, saya dan rekan-rekan di IVAA akan
menyimpannya sesuai prosedur yang dijadikan standard, sekaligus menyiapkan
akses pada rekaman dan catatan yang dibuat. Kebingungan para peserta proyek “i:
Observe” mungkin wajar diutarakan saat ini -meskipun lamat-lamat kedengaran
juga senandung imbas neo-liberalisme pada kalangan sekolahan di negara dunia ketiga.
Karena
saya tidak tahu rasanya menjadi seniman, arah pembicaraan saya putar ke apa
saja yang telah dilakukan mereka selama beberapa bulan belakangan. Mereka lalu bercerita
bahwa proyek ini diawali pengajuan proposal pameran, perancangan metodologi,
dan pelaksanaan kegiatan inti untuk publik. Metodologi dirancang berdasarkan pilihan
tema, yakni melihat ke dalam, kemudian diturunkan menjadi rangkaian kegiatan
yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan olah gagasan dan manajerial.
Mereka tidak hanya latihan mengolah gagasan di tataran ekspresi; tetapi juga di
atas kertas dan bertutur langsung dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Selanjutnya,
tercetus keraguan apakah karya-karya yang masih digarap bisa rampung sebelum
pameran resmi dibuka. Rupanya berlatih menuturkan karya, lalu ditanggapi
gagasannya - bahkan dirujukkan pada karya-karya orang lain yang lebih dulu
dimediasikan- cukup menguras waktu dan energi untuk berkarya. Jadi, mana yang
perlu digenjot? Kemampuan berpindah-pindah fokus dari kegiatan yang berbasis
studio ke kegiatan yang bertumpu pada kemampuan bersosialisasi, atau kemampuan
berstrategi untuk menuangkan gagasan dalam tempo relatif singkat?
Kembali
lagi ke bahasan identifikasi posisi, mungkin saya masih jauh dari mengenal para
seniman “i: Observe” sebagai individu, namun saya putuskan bahwa isu itu
mencerminkan kemunduran dari semangat yang selama berpuluh tahun menghidupi
identitas seniman di tataran filosofi berkarya. Seolah-olah seketika saya
dihadapkan pada ambiguitas penafsiran profesi seniman, yang sudah benar-benar
menjadi sektor mapan. Sebagaimana ISI mencantumkan tujuannya pendidikannya,
(kutipan) “Menghasilkan insan-insan akademik/profesional yang kreatif,
produktif, sebagai seniman Indonesia yang mendunia..”
Sebagian
dari Anda pembaca mungkin tidak setuju dengan pilihan saya mengangkat
keberadaan lembaga pendidikan formal di bidang seni. Ambiguitas ini tidak hanya
terjadi di Indonesia yang hampir setiap pergantian kabinet, penasaran banget membongkar pasang otoritas
pengelola soal kesenian dan pendidikan. Juga bukan hal baru jika Anda kenal
seorang lulusan sekolah seni yang akhirnya jadi seniman atau tidak, tetap
menganggap kontribusi utama sekolah seni terletak di medan sosialnya. Lantas,
apa yang berubah dari pemaknaan profesi seniman (atau pekerja seni)? Apakah
transaksi karya seni dan medan sosial yang semakin mendukung afirmasi nilai
ekonomi karya dan kegiatan seni, telah menggeser cara pandang terhadap profesi
terkait?
Melihat ke dalam, mendorong ke luar
Label
pekerja seni biasanya menjerumuskan asosiasi orang di luar medan sosial seni
dengan kata-kata sifat yang standard, sebut saja kreatif, nyentrik, bahkan kaya. Di tengah masyarakat plural, asosiasi
semacam itu masih relatif tidak berkembang karena secara fungsi, pendekatan
artistik dilihat sebagai upaya menghias. Boleh jadi Anda yang seniman, bangga
telah berkontribusi di masyarakat dalam perancangan panggung seni tahunan di
tingkat RT. Atau karena tulisan Anda tentang pentingnya museum seni di
Indonesia, dimuat di surat kabar nasional. Tapi saya kok cenderung menganggap hal-hal tersebut hanya mengalihkan seniman
dari persoalan sesungguhnya: kecanggungan memaknai resepsi orang yang melihat
(atau berinteraksi) dengan karya-karya yang dihasilkan.
Ketika
seorang seniman mencomot gagasan yang berserakan dan memutuskan apa yang akan
dia lakukan dengan hal tersebut; disadari maupun tidak, dia juga sedang
menyusun penuturan untuk dirinya sendiri. Dari banyak sekali aspek yang
menentukan kecenderungan visualisasi –pengalaman, keterpaparan, resonansi-
selesainya karya adalah selesainya penuturan yang menyertai pengembangan suatu
gagasan dalam diri seniman. Proses ini kerap disempitkan dengan kata subjektif,
sehingga beberapa seniman merasa perlu menyampaikan (lagi) pemikirannya dalam
ruang-ruang yang seolah-olah dibangun dalam kerangka objektif. Dari dugaan
inilah saya urung menanggapi kepenasaranan empat seniman “i: Observe” mengenai
posisi mereka di peta seni kontemporer, baik dalam hal kekaryaan maupun yang
menjurus ke pemantapan karir. Bagi saya, yang paling relevan dilakukan mereka saat
ini adalah melakukan berbagai uji coba, baik melalui artikulasi karya maupun
representasi citraan.
Apakah saya benar-benar
bisa mencerap makna menggambar burung mati oleh seorang Rosit yang lulusan
pesantren? Bagaimana saya bisa merasakan ironi dari keasyikan mengoleksi barang
mewah, jika sebelum melakukannya Jafin sudah meminta saya berpikir ulang
tentang pola konsumsi yang bijak? Bagaimana saya harus menyikapi Adit yang
bermaksud memanfaatkan sisa-sisa regenerasi alam, tapi karena keterbatasan
bahan jadi bersandar pada kemampuannya mereproduksi citraan, dan justru membuat
replika dari benda-benda sisa tersebut? Apa yang akan dilakukan Ungki jika ada
responden yang merasa gambaran pengalaman hidupnya terlampau disederhanakan?
Dalam
kerangka kerja dokumentasi ala IVAA, foto-foto karya, foto dan video suasana
pembukaan, rekaman audio dan video berlangsungnya diskusi, dan berbagai teks
yang terbit menyertai pameran ini pasti disimpan dan dibuka aksesnya. Sangat
kecil kemungkinan dokumen-dokumen ini segera menemukan manfaat, selain untuk
menulis liputan pameran di surat kabar. Meskipun setiap minggu ada ratusan
dokumen yang diproduksi, konsultasi dan referensi untuk bahan penelitian masih
didominasi pencarian berdasarkan nama seniman, tema karya, atau genre.
Tak
dapat dihindari, produksi karya atau kegiatan yang nantinya bisa relatif mudah
diasosiasikan dengan nama tertentu, bergantung pada intensitas dan mediasi yang
tepat. Sederhananya, kalau seorang seniman visual ingin karyanya diserap oleh
peneliti sosial, dia bisa mengkarbitnya dengan cara mengekspos diri ke
tema-tema yang diangkat dan diterbitkan sebagai penelitian sosial. Sulit
dibayangkan? Nggak juga, itu sama kok dengan apa yang seolah-olah menjadi
ambisi orang yang ingin kaya lalu memilih jadi seniman; buka-buka katalog
lelang atau pameran di galeri bergengsi, dan mereplikasi idiom visual serupa.
Untung
saya bukan seniman, karena kalau upaya mencurahkan jiwa dan raga demi
melemparkan gagasan yang mengakar dalam diri -boro-boro menimbulkan riak di samudra masyarakat madani Indonesia-
hanya menjadikan saya satu entri di sistem arsipnya IVAA, lebih baik cari
donatur untuk nyaleg.
Tambahan:
Jika Anda membutuhkan rujukan dari opini yang saya tuliskan di sini, dengan
senang hati akan saya berikan melalui surat elektronik, dengan alamat pitra.hutomo@gmail.com
i
:Observe
Praktik
Kerja Seniman Sebagai Peneliti, Sebuah Catatan
Hendra
Himawan*
‘Seni
berbasis riset’, ‘seniman sebagai peneliti’, agaknya menjadi satu kanon utama dalam
praktek seni rupa hari ini, ketika kritik budaya menuntut kesenian lebih berperan
dalam memproduksi pengetahuan. Lantas bagaimanakah kecenderungan ini menemu
bentuk praksisnya? Apakah ‘seni yang berbasis riset’ mempunyai bentuk yang sama dengan penelitian
ilmiah yang mempunyai kerangka metodik yang ketat-terstruktur? Sementara
melihat beragam praktik yang telah dilakukan, legitimasi penelitian oleh
seniman sering diukur dalam kerangka akademik dan kebenaran-kebenaran teorik,
bukan pada kerja seniman sebagai peneliti. Membaca praktek kerja seni dalam
project i:Observe yang digagas oleh
Jogja Contemporary (JC) dengan melibatkan empat seniman muda; Justian Jafin
Rocx (Jafin), Ungki Prasetyo (Ungki), Aditya Chandra (Adit) dan Rosit Mulyadi
(Rosit), kita disodori sebuah cara pandang melihat fenomena penelitian
‘dalam dan melalui seni’, dari
perspektif pemikiran para seniman dan melalui prisma praktik artistiknya.
Kerja Seni
Berbasis Riset
Hal yang luar biasa dari praktek
kerja ‘seni berbasis riset’ adalah bagaimana praktek penciptaan karya dan
refleksi teoretis ( pemikiran) berjalan beriringan, dimana yang satu tidak bisa
berjalan tanpa yang lainnya. Hal ini tentu lebih kompleks dari sekedar penelitian atau
pengkajian tentang seni seperti sejarah seni, sosiologi seni ataupun studi
budaya. ‘Seniman sebagai peneliti’ memulakan proses kreatifnya dalam kesadaran pada
pertanyaan-pertanyaan dialektis seperti :
Dimana posisi ‘konsep’ dan urgensi teori dalam proses penciptaan karya
seni? Teori hadir sebagai landasan pemikiran, rambu-rambu penciptaan, atau
evaluasi kritis? Apa fungsinya data? Bagaimana metode riset yang semestinya
dipakai untuk mengolah data? Apakah karya seni murni tidak bisa diakui sebagai
produk pengetahuan sehingga ia harus disandingkan dengan beragam teori? Apakah
keberadaan teori vis a vis dengan
ungkapan ekspresi?
Praktek seni sebagai kerja
penelitian sebetulnya bukan hal baru. Gagasan ini telah diusung oleh seni
konseptual pada tahun 1960-an yang kemudian berkembang pada gerakan-gerakan
seni setelahnya. Seni konseptual hadir dari pergulatan bahwa seni tidak bisa
dilihat terpisah dari persoalan sejarah dan sosial-politik, dan seni rupa hadir
dalam kerangka kognitif yang nyata. Refleksi gagasan ini menemu praksis nyata
dalam potret seni rupa di Indonesia seperti bagaimana gagasan-gagasan yang
mendasari lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) 1973-1978, Seni Rupa Penyadaran
Mulyono, lahirnya praktek performance art
(jeprut) di era awal 1990an, dan
banyak lagi.
Merentang pandangan dari
beragamnya kecenderungan praktek seni kontemporer hari ini, refleksi diri dan urgensi
riset terjalin erat dengan ‘praktek artistik’ seorang seniman. Fenomena sosial
masyarakat, praktek simbolik dalam kebudayaan menjadi instrumen dalam kerja penelitian
ini. Dengannya kita dapat memahami
bagaimana cara seniman berfikir. Tak disangkal, seniman kontemporer semakin
memposisikan diri sebagai peneliti dalam
dalam bidang sosial dan seni. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya karya-karya
yang ofensif, dimana seniman sangat artikulatif dalam membuat pernyataan tentang
produksi karya, dan terbuka dengan proses pemikirannya. Seniman memberi
kesempatan bagi orang lain untuk menjadi bagian dalam proses penciptaan karya,
bertukar pandangan, dan membuka diri untuk menerima kritik yang lebih luas.
Inisiasi Jogja Contemporary
dengan mengubah ruang galeri sebagai studio bersama keempat seniman, menjadi
potret bahwa konsepsi romantik tentang proses kreatif seniman yang
sublime-mitis, otonom, ‘pertapa’ dalam studio, menjadi runtuh. ‘Open studio’
menantang proses kerja mereka untuk dipresentasikan, diapresiasi, dan diperdebatkan
bersama. Setiap gagasan yang dilontarkan seniman dicari pembahasannya dalam
domain publik. Mekanisme ini memungkinkan munculnya wawasan-wawasan baru, bukan
saja bagi kerja kreatif keempat seniman namun juga bagi ‘seni’ dalam arti yang
lebih luas. Seniman, galeri dan publik bersama-sama mengevaluasi setiap model
kerja kesenian ke dalam wilayah artistik. Bagi seniman sendiri mereka dapat
berbagi pemikiran dengan orang lain, mengkonstruksi secara terus menerus ide
dan gagasannya, dan tentu saja kritik substansial tentang apa yang sedang
mereka kerjakan.
Keberadaan kritik sangatlah
penting. Dulu kritik seni berkembang dengan tolak ukur formalistik dan menemu
praksisnya secara diskursif dengan menyandingkan satu karya dengan karya seni
lainnya. Ketika seni berkembang dari reproduksi atas realitas ke arah dialog
yang lebih aktif antara seni dengan konteks sosio-kultural, seni modern tidak
lagi representasional, namun juga kritis terhadap diri sendiri. Seniman dituntut
tak hanya kritis membidik fenomena sosial masyarakat, namun juga kritis melihat
diri dan karyanya. Introspeksi dan refleksi diri dihadirkan dengan sengaja oleh
seniman untuk membaca posisi gagasannya dalam dinamika wacana seni yang lebih
luas. Atau dalam kata lainnya adalah identifikasi diri.
Melihat pada tajuk I:OBSERVE, keempat seniman menjadikan riset sebagai jalan untuk mengobservasi
pengalaman-pengalaman artistik mereka, dan menuangkannya dalam beragam praktek kekaryaan.
Pengalaman artistic selalu bersifat aktif dan konstruktif, berpijak pada nilai
estetika yang dimiliki masing-masing individu. Jika pengalaman artistik seniman
ini dilontarkan kepada publik, maka ia akan diresepsi sesuai dengan kadar
estetika masing-masing penonton, disinilah ruang dialog terbangun. Jika dalam
konteks penciptaan keempat seniman ini, ‘seni’ dimaknai sebagai modus persepsi,
maka ‘penelitian artistik’ yang mereka lakukan pada basis ide hingga
perwujudan harus dipahami sebagai modus
dari suatu proses berfikir.
Membaca Sebuah
Proses
1. Jafin dan
Memory Benda-Benda
Kecurigaan penulis, dekorasi
interior yang disusun Jafin merupakan respon dari infiltrasi budaya material
pada wilayah privat. Perayaan atas ketidaksadaran kita pada rayuan iklan dan
kenyataan tumpukan barang-barang tak berguna. Hari demi hari, tubuh kita dipaksa
untuk menerima pengalaman visual yang disodorkan secara bertubi-tubi. Karyanya
adalah instalasi dari benda-benda keseharian, ready-made, dan barang-barang antik
yang mewakili ingatan dan persepsi kita akan sesuatu yang lampau.
Hal yang menarik dari
gagasan Jafin, ia tidak menolak
keberhadiran benda-benda , atau situasi budaya material saat ini, sebaliknya ia
mengusulkan sebuah taktik pembacaan : 1. melihat secara kritis perkembangan
budaya material yang gencar dilontarkan oleh media massa (majalah, internet,
dan televisi), 2. membangun kesadaran atas keberadaan bentuk-bentuk baru ini, dan
3. mempertanyakan untuk apa benda-benda ini dibuat. Dengan merespon balik
setiap benda-benda yang menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari (dengan
membubuhkan gambar, mewarna ulang, dan menyusun menjadi bentuk baru), Jafin mengusulkan cara beroposisi.
Maka instalasi benda-benda dalam
karya Jafin tidak bisa sekedar dibaca secara harfiah sebagai apropriasi dari
sisa-sisa budaya massa menjadi karya seni. Ia mengajak publik untuk berfikir
kembali tentang keberadaan benda-benda ini dan bagaimana itu mewakili
pengalaman hidup kita sehari-hari dan ingatan-ingatan kita. Karya-karyanya
menawarkan satu bentuk nostalgia seketika. Apa yang dipertaruhkan Jafin kepada publik
adalah reklamasi persepsi, keterhubungan pemahaman atas benda-benda.
Karya Jafin juga bukan bentuk
fetisisme atas produk komoditas dan benda-benda temuan. Dalam prosesnya, metafora
adalah jalan yang digunakan oleh Jafin untuk memahami keberadaan benda-benda
tersebut ketika diolah menjadi karya. Bukan dalam konteks pemberhalaan
benda-benda tersebut pada nilai mitis,
magis, dan supranatural. Jika beberapa waktu lalu seni rupa kita di riuh dengan
karya-karya found objek, menjadikan
formalisme sebagai tawaran estetik, dan fetisisme yang menjadi konsep dan
orientasi keberhadiran karya. Apa yang
dilakukan Jafin melompat, sebuah upaya untuk memahami sistem nilai dan makna
simbolik yang ditawarkan benda-benda tersebut. Jika Jafin berkeinginan bermain
diranah persepsi tentang bagaimana tanggapan kita atas objek-objek yang
bertebaran dalam karyanya, maka agaknya kita tidak bisa membacanya dengan
asumsi : citra mengacu kembali ke objek yang dicitrakan. Jika ia melukis di atas piring, daun jendela
dan umpak, keberadaan material itu
bukan semata-mata bidang gambar. Pengalaman atas benda-benda itu menjadi latar
belakang hadirnya materi visual. Lukisan-lukisan itu juga yang
merepresentasikan objek-objek material tersebut.
Maka pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang bisa kita lontarkan ketika melihat karya Jafin seperti, bagaimana perkembangan
citra, produk, dan informasi teknologi yang diproduksi secara massal mampu
mengubah pengalaman hidup kita? Dimana posisi seni dalam menghadapi perubahan
ini? Bagaimana pengalaman hidup manusia di wakili dalam citra bentuk benda –
benda keseharian? Disinilah urgensi proses observasi yang disodorkan Jafin melalui
karya-karyanya. Sebuah proses dialektika kita dengan objek sehari-hari,
pengalaman visual, dan kesadaran atas budaya material.
2. Ungki dan
Pengalaman-Pengalaman Mendengar
Tertarik pada korelasi musik dan
seni rupa, Ungki mengajukan gagasan untuk melihat bagaimana pengaruh musik
dalam proses kreatif beberapa seniman muda di Yogyakarta. Mengambil beberapa
sampel rekan seniman, ia melakukan wawancara
random tentang genre musik yang mereka sukai dan apa pengaruh
mendengarkan musik dalam proses penciptaan karya. Hasilnya ia tuangkan dengan
media gambar melalui tehnik grafis silk
screen.
Seni rupa dinyatakan dalam ruang,
melalui bentuk yang kasat mata, sementara musik diekspresikan melalui waktu dan
dinikmati dengan telinga. Keduanya mampu membangkitkan emosi manusia. Dilihat
dari disiplin teoretis, keduanya mempunyai kriteria pembentuk yang sama, seperti komposisi, harmonisasi, bahkan
nilai-nilai simbolik. Musik telah menjadi stimulan dan inspirasi para seniman
yang ingin menghasilkan karya yang murni dan transenden. Ia banyak digunakan sebagai
analogi atau metafora dalam ekspresi artistik
perupa.
Ketika musik dan seni rupa di
gabungkan jadi satu, dalam video klip misalnya, kita disuguhi pengalaman visual
dan pengalaman mendengar sekaligus. Keduanya saling mempengaruhi, dan pada
kasus tertentu, satu bentuk seni mempu menginspirasi kemunculan seni lainnya. Hubungan musik dan seni rupa menemu
konsep yang menarik dengan gagasan
synestesia atau percampuran indera. Dimana persepsi sensorik yang diperoleh dari musik dapat
digunakan sebagai manifestasi untuk membangkitkan persepsi sensorik pada
praktek visual.
Dari perjalanan observasi
Ungki ia menemukan bahwa musik juga bekerja membangun ingatan-ingatan akan
pengalaman lampau yang dialami para perupa yang menjadi partisipan
obeservasinya. Maknanya, mendengarkan musik menjadi satu jalan untuk memanggil
kembali ingatan-ingatan lama, sekaligus menumbuhkan persepsi-persepsi baru, imajinasi-imajinasi
dari nada maupun lirik lagu. Hal ini pula yang dijadikan landasan bagi Ungki
dalam proses penciptaan karya-karyanya. Layaknya gambar ilustrasi, teks yang
muncul dalam gambar Ungki adalah judul-judul lagu yang didengarnya, lagu yang direferensikan
oleh para partisipan. Apakah ada kesinambungan antara mode visual yang dibuat
para partisipan (yang notabene adalah perupa) dengan gambar yang dibuat Ungki? Ternyata
Ungki bukan bekerja dalam wilayah itu.
Riset yang dilakukannya
pada para perupa lebih pada bagaimana ia menafsir pengaruh musik dalam praktek
penciptaan karya, dan bagaimana ia turut merasakan efek musik dengan
mengalaminya secara langsung. ‘Pengalaman mendengar’ musik dan bagaimana
pengaruh dalam kekaryaannya adalah orientasi dari observasi personal ini. Keberadaan
partisipan lebih pada memberi masukan referensi jenis musik dan Ungki yang
harus mengukur keterpengaruhannya sendiri. Bahwa pengaruh musik yang
didengarnya dalam karya visual, akan berbeda dengan karya yang diciptakan oleh
partisipan, disinilah kita menguji seberapa dalam musik memberikan pengalaman
mendengar dan dorongan imajinasi.
3. Aditya
dan Persepsi atas Material
Seni patung memang identik
dengan pengolahan media, hal yang sama mendasari penciptaan karya Aditya. Observasi
dimaknai sebagai riset atas objek material baik benda temuan (found object)
atau produk ready made. Benda-benda
itu disusun dan dirangkai hingga mewujud dalam bentuk dan pemaknaan baru.
Bicara proses, mode pembentukan karya Adit boleh dikatakan intuitif, sejalan
dengan refleksinya atas pengalaman estetik pada material itu sendiri. Bahwa benar,
menemu potensi dari masing-masing material adalah nilai tawar dari proses kreatifnya,
namun menurut penulis, bagaimana imajinasi yang mengendalikan perwujudan karya
menjadi inti dari pengalaman artistiknya.
Imajinasi memang sulit
untuk dirumuskan, karena ia paduan atas realitas bawah sadar, rangsangan dari
kenyataan, dan refleksi dari pengalaman-pengalaman. Namun membaca dialektika
proses kreatif Aditya, kita bisa merangkai-rangkai bahwa imajinasi itu masih
terikat pada konsep dasar tema karya-karyanya. Ketika berhadapan dengan
material, ia selalu berfikir pada karakter dan sifatnya. Sedang rancangan
kebentukan karya disesuaikan dengan fungsi awal dari bentuk yang akan dibuat. Imajinasi
dalam proses pembentukan karya tidak terlepas dari dua hal tersebut. Misal
dalam karya berwujud kaktus, ia menggabungkan gagasan tentang struktur anatomi
manusia dan struktur anatomi pohon. Keduanya adalah makhluk hayati yang tersusun
dari konstruksi anatomik. Bermain dalam wilayah persepsi, menggabungkan sifat
bentuk dan fungsi maka jadilah pohon kaktus dengan konstruksi tulang
manusia.
Intertekstualitas menjadi
jalan untuk memahami karya-karya Aditya. Ia membenturkan beragam sifat dan
fungsi material dan objek dalam satu
karya. Teks satu menjelaskan teks yang lain, persepsi atas sifat satu material
dibenturkan dengan sifat material yang lain menjadi satu objek visual. Objek
yang dibentuk ini melahirkan makna baru, bahkan termasuk pada material-material
yang menyusunnya. Kita bisa melihat pada objek jamur dalam karyanya yang dibuat
dari campuran material batu dan kayu. Dari segi sifat keduanya berlainan, dan
saling bertolak belakang. Setelah diolah persepsi kita pun diajak bermain-main,
batu yang keras seakan menjadi lembut, demikian sebaliknya.
Merentang pandang dari awal
risetnya tentang material hingga makna-makna baru yang ingin disodorkannya dengan
cara bermain persepsi atas objek, imajinasi berperan dalam setiap fase proses
kreatifnya. Hal ini bukan tanpa sebab, empati yang muncul ketika melihat
lingkungan keseharianlah yang menuntunnya berimajinasi. Baik atas material
ataupun konsep-konsep besar yang ingin dia tuju. Aspek sosio-kultural jelas
memberikan kontribusi. Namun sebelum merangkai pembacaan ke arah itu,
ulang-alik gagasan yang disodorkannya melalui permainan persepsi atas material
dan objek adalah nilai penting dari kenakalan imajinasinya.
4. Rosit
dan Tafsir Tekstual
Melalui karyanya, Rosit
mempertanyakan bagaimana mode tafsir atas ayat Muhammad SAW tentang larangan
menggambar makhluk yang bernyawa. Secara eksplisit, larangan ini diikuti dengan
ancaman bagi penggambarnya untuk menghidupkan obyek yang digambar di hadapan
Allah SWT nanti. Rosit memahami bahwa tafsir sebuah ayat harus disesuaikan
dengan konteks zaman. Bisa jadi larangan ini turun ketika ummat masih lemah
imannya. Kehadiran gambar-gambar ini nanti dikhawatirkan menjadi
berhala-berhala baru yang disembah sebagaimana fenomena umat-umat sebelumnya
(Kisah berhala Sapi Samiri, yang dikisahkan dalam Surah Al Baqarah misalnya).
Maka pertanyaan yang dia lontarkan kemudian melalui karyanya adalah, ‘bagaimana
jika saya menggambarkan makhluk yang sudah tidak bernyawa? Apa dan bagaimana hadits
itu berlaku dalam kasus ini?’
Banyak ayat-ayat Rosul dan
Alqur’an yang ditafsir secara tekstual oleh sebagian golongan umat muslim. Dan
hal ini menurut penulis kembali pada keyakinan tafsir masing-masing. Bahwa
Islam lahir di suatu tempat dan bernegosiasi dengan budaya setempat itu adalah
kenyataan. Sebagaimana sejarah perkembangan Islam di Jawa yang bernegosiasi
dengan sistem masyarakat yang kental dengan tradisi Hindu Jawa nya. Upaya Wali
Songo dengan pendekatan budaya lokal (termasuk kesenian, gending, wayang,
arsitektur dan banyak lagi) dalam penyebaran agama Islam adalah satu bukti atas
praktek negosiasi itu. Bahwa kemudian Wali Songo menjadikan syariat Islam
sebagai dasar negara Kasultanan Demak, adalah wujud bagaimana ajaran Islam
harus dilegitimasi oleh negara sebagai
bagian sistem perundang-undangan untuk mengatur masyarakatnya. Perlu
kita tahu bahwa Raden Patah adalah anak Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit. Dan
penggunaan nama Sultan (‘sulthon’) sebagai sebutan raja menggantikan kata
Prabu, diambil dari ayat Alqur’an (QS 55:33) “laa tanfudhunaa illa bi sulthon” yang ‘berarti kekuatan’ atau ‘ilmu
pengetahuan.’ Dalam perjalanannya Islam kemudian banyak melahirkan praktek-praktek
budaya baru.
Jadi dalam kacamata penulis apa
yang dilontarkan Rosit melalui gagasan-gagasan karyanya menyarankan bahwa kita harus jeli melihat praktek-praktek
dalam Islam, apakah ini benar risalah
agama yang berpijak pada Qur’an-Hadits, ataukah ini adalah bentuk praktek budaya? Dan bagaimana ayat dan
praktek-praktek ini kemudian ditafsirkan? Memang benar wilayah penafsiran ini
mempunyai cakrawala yang luas, namun hal ini harus dirujuk pada sekian banyak
referensi tafsir, teks, dan sejarah pemikiran para ulama. Dan penulis kira,
Rosit telah melakukan hal tersebut dalam observasinya saat ini, melihat ada dua
karya potret ulama Nahdhliyin, Cak
Nun dan Gus Dur dalam serangkaian karyanya.
Mereka
Membuat Koma
Melihat secara singkat proses I:OBSERVE, keempat seniman memilih tema
riset dan melakukan observasi secara personal. Format ‘Open Studio’ menjadikan
riset keempatnya menjadi ruang dialog yang menarik bagi publik. Pilihan praktek
kerja seni berbasis riset menjadikan mereka untuk berfikir lebih dalam atas
setiap tema yang dilontarkan. Mereka bekerja dalam dua lini pemikiran. Antara
‘menemu makna’ dan ‘mengkaji pengetahuan’. Sebagaimana yang kita tahu bahwa
makna berkait dengan pemikiran yang jauh tersimpan di dalam karya seni dan
pengetahuan berkait dengan pembuktian-pembuktian logis-kongkret, refleksi teori
dan segudang referensi, dimana kebenarannya vis
‘a vis dengan realitas. Setiap karya yang mereka presentasikan dalam
pameran adalah materialisasi dari cara mereka berfikir. Apa yang sebetulnya tidak
terlihat dibuat ‘hadir’. Melalui karya membangun makna atau memberikan arah
pada penonton untuk mencari makna itu.
Penulis percaya bahwa karya seni yang
dihasilkan keempat seniman bukanlah produk akhir dari pemikiran. Ia hanya
berhenti sebentar pada titik wujud yang dianggap terbaik, dari proses berfikir
yang tidak pernah berakhir. Layaknya sebuah catatan, mereka membuat koma, dan
kita sebagai penonton dipersilahkan mengambil inisiatif untuk merangkai kalimat
selanjutnya. Sebagai bagian dari riset, kita turut mengambil peran dalam
pekerjaan mereka, mengambil kereta pemikiran seniman yang mewujud dalam karya.
*kurator independen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar