SIARAN PERS
Diskusi Publik ke-1,
Paramadina-IPA
Kriminalisasi Kebijakan
Korporasi: Ancaman bagi Karyawan dan Hambatan Serius Investasi di
Indonesia
Jakarta, 8 Mei 2013 – Tindak kriminalisasi keputusan bisnis korporasi
semakin meningkat pada dua tahun terakhir. Beberapa kasus telah terjadi pada
beberapa perusahaan besar seperti
Merpati Nusantara, PT Telkomsel Tbk, dan yang terkini adalah PT lndosat
Tbk. Hal ini berakibat langsung pada tingkat kepercayaan para investor
internasional tentang kepastian hukum untuk kelangsungan berusaha di Indonesia.
Ketidakpastian tersebut juga
ditengarai sebagai salah satu penyebab penurunan outlook Indonesia oleh S&P
beberapa waktu yang lalu menjadi BB+ dengan outlook stabil. Dalam kesempatan
lain, Moodys juga menjelaskan kemungkinan untuk menurunkan rating Indonesia,
jika berbagai ketidakpastian tersebut tidak segera diatasi.
Di sisi lain, kriminalisasi
korporasi ini juga telah mengancam karyawan perusahaan yang hanya menjalankan
tugas mereka dengan membawa mereka ke ranah pidana, seperti yang terjadi pada
kasus Bioremediasi di Chevron. Tentunya ini menyentuh aspek human right mereka
sebagai professional.
Anies Baswedan, Rektor
Universitas Paramadina, dalam sambutan pembukaannya mengatakan bahwa Indonesia
memerlukan tegaknya Rule of Law.
Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. “Penegakan Rule of Law adalah masalah leadership,”
sambung Anies. Elemen masyarakat juga tidak boleh tinggal diam. “Orang-orang
yang baik, perusahaan-perusahaan yang baik, organisasi yang baik, harus berdiri
dan melawan tindakan sewenang-wenang dan segala upaya kriminalisasi,” tegas
Anies.
Lukman Mahfoedz, Presiden IPA, menggarisbawahi dengan
mengatakan bahwa dunia usaha sangat memerlukan 3 C, Clarity, Consistency, dan Certainty
dalam hal hukum dan peraturan perundangan. Kejelasan, konsistensi, dan
kepastian hukum. “Industri hulu migas adalah industri padat modal.
Investasi tinggi ini memerlukan sekali kepastian hukum,” kata Lukman. Lukman
juga menambahkan peran sentral industri migas sebagai penyumbang hampir 30%
APBN kita, sebesar US$35 milyar di tahun 2012.
Selain itu, IPA sangat mendorong dan mengutamakan pelaksanaan tata
kelola korporasi yang baik, yang menjunjung tinggi etika, integritas dan
kepatuhan.
Tampil sebagai pembicara pertama, Hotasi Nababan,
memaparkan betapa kriminalisasi mengintai pekerja korporasi, baik BUMN maupun
swasta. Akibat ketidakjelasan intrepertasi hukum dan tumpang tindih peraturan,
siapa pun sangat mungkin dipersalahkan dengan dakwaan korupsi. “Integritas
sebagian oknum di institusi peradilan kita, termasuk kejaksaan, membuat situasi
semakin parah. Saya dan beberapa teman bertekad ingin terus bergerak untuk
berupaya meluruskan keadaan.”ungkap Hotasi berapi-api. Hotasi menjabarkan bahwa
ada upaya pemerasan oleh oknum tertentu terhadap dirinya dalam kasus Merpati,
ia juga menduga hal yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus Chevron.
Erry Riyana menambahkan, bahwa reformasi birokrasi di
Kejaksaan dan MA perlu dipercepat. “Institusi perlu diperkuat dan pada saat
yang bersamaan oknum-oknum perusak institusi harus ditindak tegas.” terang
Erry. Ia juga menjelaskan bahwa para penegak hukum harus berhati-hati untuk
tidak begitu mudah memasukan kasus bisnis/perdata ke ranah korupsi.
Dalam pemaparannya, Johanes Widjanarko (Wakil Kepala SKK
Migas), yang juga merupakan saksi kasus Chevron mengatakan, bahwa sebenarnya
berbagai peraturan di sektor migas sudah sangat lengkap. Kasus yang muncul di
industri ini tidak harus selalu dibawa ke ranah hukum, tetapi bisa diatasi
dengan renegosiasi kontrak. Ia juga menambahkan bahwa kondisi yang kondusif di
industri migas perlu dijaga, apabila tidak akan terjadi penurunan investasi dan
kemunduran produksi minyak yang tentunya membahayakan sustainability perekonomian
kita. “Dengan konsumsi sebesar 1,5 juta barrel perhari dan produksi 840.000
barrel per-hari, saat ini tingkat ketergantungan kita terhadap minyak impor
sudah terlalu besar,” tandasnya.
Dalam konteks HAM, Otto Nur Abdullah, mantan ketua Komnas
HAM menyampaikan bahwa kasus HAM mengalami pergeseran yang cepat. “Dulu kasus
HAM selalu melibatkan pemerintah dan rakyat sebagai korban, tetapi saat ini
kasus yang menempatkan karyawan korporasi besar sebagai korban pelanggaran HAM
sudah mulai muncul, dan perkembangan ini perlu diantisipasi oleh para pegiat
HAM di Indonesia” kata Otto.
Di negara yang berdasar hukum, tidak ada seorangpun yang
kebal hukum, dan tidak boleh ada penegak hukum yang memaksakan tindakan yang
mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Diskusi
bertema “Kriminalisasi Kebijakan Korporasi, Ancaman bagi Pekerja dan Hambatan
serius Investasi di Indonesia” yang dilaksanakan di Kampus Pasca Sarjana
Universitas Paramadina merupakan kerjasama antara Indonesian Petroleum
Association (IPA) dan Paramadina Public
Policy Institute (PPPI), dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat serta
memberikan masukan konstruktif kepada para pengambil kebijakan. “Insya Allah, kita akan mengadakan diskusi dengan
berbagai topik secara periodik. Ini untuk kemajuan dan perbaikan negeri kita”
kata Wijayanto Samirin, Managing Director PPPI yang juga moderator diskusi
tersebut.
Untuk
informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Wijayanto Samirin
Co-founder
& Managing Director, PPPI
Dipnala Tamzil
IPA Executive Director
Tentang PPPI:
·
PPPI (Paramadina Public Policy Institute) adalah lembaga
think-tank independen dan
non-partisan berada di bawah Universitas Paramadina, bertujuan untuk mendorong
pelaksanaan kebijakan publik yang baik yang memungkinkan Indonesia menggali
potensinya yang luar biasa. PPPI
memiliki fokus memberikan berbagai rekomendasi kebijakan kepada pemerintah.
·
PPPI melakukan berbagai riset, penyusunan policy recommendation untuk mendorong
terwujudnya kebijakan publik yang tepat dan terarah. Melalui berbagai public discourse yang dilaksanakan, PPPI
ingin terlibat dalam upaya edukasi bagi publik, stakeholder utama kebijakan
publik.
·
Berbagai kegiatan dan program yang telah
dilaksanakan atas kerjasama dengan berbagai lembaga dari dalam dan luar negeri
dapat dilihat pada http://policy.paramadina.ac.id
Tentang IPA:
·
IPA (Indonesian Petroleum Association) adalah organisasi non-profit yang didirikan pada tahun
1971, yang bertujuan untuk menyatukan pelaku utama di industri hulu minyak dan
gas untuk bersama-sama menjunjung kemitraan dan komunikasi di industri yang
memainkan peran penting dalam pembangunan nasional Indonesia.
·
Melaui 52 anggota perusahaan minyak dan gas nasional dan multinasional, 119
anggota perusahaan penunjang industri migas dan sekitar 2.012 anggota individu,
IPA merepresentasikan sekitar 90% dari eksplorasi dan produksi minyak dan gas
di Indonesia.
·
Misi IPA adalah untuk merealisasikan potensi hidrokarbon Indonesia untuk
kepentingan pemerintah, investor dan masyarakat Indonesia.
·
IPA menyediakan forum bagi para anggotanya dan investor baru untuk saling
bertukar info, pandangan, kekhawatiran dan inisiatif tentang industri.
·
IPA merupakan mitra dari institusi pemerintah (ESDM, MIGAS dan SKMIGAS)
dengan memfasilitasi dialog dan komunikasi antara industri dan Pemerintah
Indonesia.
·
IPA juga menggalakkan pendidikan, alih teknologi dan pengetahuan dalam
industri maupun dengan masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar