Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal
penegasan konstitusionalitas hak dan/atau kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI), selanjutnya ditulis DPD, eksistensinya diyakini
akan semakin diakui oleh masyarakat. Terlebih jika para senator atau anggota
DPD mati-matian berjuang untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah.
I Wayan Sudirta, Ketua Panitia Perancang
Undang-Undang (PPUU) DPD, menyatakan keyakinannya dalam rapat dengar pendapat
PPUU DPD yang menghadirkan Sulastio, Direktur Indonesian Parliamentary Center
(IPC); Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi); dan Mike Verawati Tangka, Kordinator Pokja Reformasi Kebijakan
Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
Demokrasi (Seknas KPI) di lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Rabu (22/5). Acara tersebut membahas model tripartit yang ideal dalam
proses legislasi.
Wayan meyakini, perwujudan hak dan/atau
kewenangan DPD yang seimbang DPR hanya masalah waktu. Lambat laun itu akan
terjadi. “Kenapa saya mau kembali maju (calon anggota DPD), lembaga perwakilan
ini suatu saat akan sampai ke muara, mencapai tujuan, yang kewenangannya
seimbang DPR. Mungkin tidak sama; seimbang, iya. Ini hanya soal waktu, sejarah
akan mencatat bahwa saya di DPD bisa terpilih berkali-kali, juga anggota yang
lain, pasti tidak akan sia-sia asalkan bekerja sungguh-sungguh. Saya yakin.”
Apa yang menyebabkan situasi DPD seperti ini?
Menurutnya, “Kalau jawabannya karena kewenangan nggak ada, pasti tidak seksi di
mata media. Kalau dilihat kualitas anggota, sulit mengukur. Mengapa? Orang
seperti Pak Fatwa (Andi Mapetahang Fatwa alias AM Fatwa) hebat sekali waktu di
DPR. Begitu masuk DPD, silakan dinilai. Jadi, bukan karena kualitas anggotanya
DPD begini. Jawabannya adalah karena kewenangannya nggak ada, nggak ada jawaban
lain.”
Karena hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya di bidang legislasi dikebiri oleh dua undang-undang, yaitu
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3), maka segala kegiatan DPD pra-putusan MK menjadi
tidak menarik.
“Kekurangan kami adalah merangkul media,
merangkul LSM (lembaga swadaya masyarakat), merangkut potensi-potensi
masyarakat. Tapi ke depan, kami harapkan bisa merangkul semuanya.” Menyinggung
produk legislasi DPD, ia mencontohkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. “Kami punya
RUU versi sendiri, materinya ditentang oleh Pemerintah. Setelah melalui proses
legislasi, RUU yang disahkan itu betul-betul buatan kami. Tapi masyarakat tidak
mengetahui RUU itu buatan kami. Sehingga, sepertinya kami tidak bekerja. Ini
bukan pembelaan.”
Senator asal Bali yang juga Koordinator Tim
Litigasi DPD ini menegaskan, di beberapa daerah eksistensi anggota DPD justru
lebih diakui masyarakat ketimbang anggota DPR, karena kesungguhan
perjuangannya. Selain meneken kontrak politik, ada anggota DPD yang menolak
perjalanan ke luar negeri dan menyerahkan gajinya untuk konstituen. “Ada
anggota DPD asal Bali yang berani teken kontrak politik dengan masyarakat.
Mungkin kontrak politik termasuk langka. Maka, anggota DPD itu bisa mati-matian
melaksanakan isi kontrak politik. Tapi itu pun tidak banyak diliput media.”
Paulus Yohanes Sumino, senator asal Papua,
menambahkan bahwa status sebagai senator merupakan jabatan yang istimewa karena
posisinya lebih bebas dalam menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah. “Di sini (DPD), saya lebih
bebas bicara atas nama rakyat. Tak seorang pun bisa menghambat.”
Oleh karena itu, ketika melaksanakan hak dan
kewajiban sebagai anggota DPD ihwal mengajukan dan membahas RUU maka setiap
anggota DPD sebenarnya bisa mengawal proses legislasinya dari tahapan awal ke
tahapan akhir. Hanya saja, keseimbangan kewenangan antara DPR dan DPD menjadi
kendala karena DPD tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi
undang-undang (UU). “Andaikan DPD bisa mengawalnya hingga ke tahapan akhir,
tetapi apirasi daerah ternyata bisa dikalahkan oleh aspirasi politik, berarti
belum tercapai keseimbangan antara DPR dan DPD.
Ia juga mencontohkan keterlibatan DPD ketika
mengajukan dan membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta yang materi ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undangnya diakui Komisi II DPR mengakomodasi aspirasi masyarakat
dan daerah DI Yogyakarta. “DPD kurang apa? Produk RUU versi DPD sangat baik,
diakui Komisi II DPR. RUU versi Pemerintah nggak laku, ditinggalkan. Tetapi ada
pasal yang tersandera. Jadi, kami tidak bisa mengawal aspirasi seterusnya.”
Siaran pers ini dikeluarkan secara
resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat
Jenderal DPD
Penanggungjawab:
Mahyu Darma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar