Oleh Dahlan Iskan
Menteri
BUMN
Hampir
saja saya merasa bahagia yang berkepanjangan. Yakni ketika mengetahui
bahwa
laba PT Pertamina (Persero) berhasil mencapai Rp 25 triliun. Itulah
laba
terbesar dalam sejarah Pertamina. Juga laba terbesar di lingkungan
BUMN. Bahkan
laba terbesar yang bisa dicapai oleh sebuah perusahaan apa pun di
Indonesia
sepanjang tahun 2012.
Saya pun
minta agar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengumumkannya.
Agar
capaian yang hebat itu bisa membuat masyarakat bangga pada Pertamina.
Setidaknya bisa mengurangi ejekan sinis masyarakat kepada Pertamina.
Maka pada
laporan keuangan kepada publik bulan lalu, disertakanlah judul ini:
Pertamina
berhasil memperoleh laba terbesar dalam sejarahnya.
Melalui
twitter (@iskan_dahlan) saya pun ikut membagi kebahagiaan itu. Tentu
saya ingin
memberikan penghargaan pada jajaran Pertamina. Berita gembira itu juga
saya
manfaatkan untuk kampanye menumbuhkan harapan umum. Manufacturing hope. Yakni bahwa perbaikan
dan kerja keras yang dilakukan jajaran Pertamina sudah mulai memberikan
hasil
yang nyata. Berarti kalau perbaikan, efisiensi, dan kerja teras terus
dilakukan, hasilnya akan lebih hebat lagi.
Saya
ingin ada satu harapan untuk dunia twitter, khususnya yang terkait
dengan
politik, yang terlalu didominasi oleh pesimisme dan putus harapan.
Pesimisme
perorangan adalah hak, tapi pesimisme massal bisa membawa kehancuran.
Saya pun
segera membayangkan bahwa masyarakat akan ikut bahagia mengikuti twit perkembangan terbaru di
Pertamina itu. Dan saya akan menggunakan kebahagiaan masyarakat
tersebut untuk
terus memacu kinerja manajemen Pertamina. Misalnya lifting minyak yang harus naik
untuk menjadikan Pertamina perusahaan minyak kelas regional.
Sekarang
ini Pertamina baru bisa menghasilkan minyak 500 ribu barel per hari.
Jauh dari
kelas perusahaan minyak tingkat Asean sekali pun. Karena itu tahun ini
Pertamina membentuk Brigade 300K. Terdiri dari anak-anak muda Pertamina
yang
umurnya maksimum 29 tahun. Brigade ini bertugas menambah produksi
minyak
Pertamina 300 ribu barel lagi per hari. Inilah brigade yang akan
membuat
produksi total Pertamina menjadi 800 ribu barel. Dan target itu harus
tercpai
akhir tahun depan. Di dalamnya dihitung produksi energi geothermal yang
disetarakan dengan minyak.
Tiap
bulan saya mengikuti perkembangan Brigade 300K ini. Termasuk ikut
mencarikan
jalan keluar kalau terjadi hambatan di luar Pertamina. Misalnya
bagaimana
Pertamina bisa menjual geothermalnya ke PLN dengan cepat. Kesepakatan
pun
segera dicapai: sembilan lokasi geothermal milik Pertamina yang
skalanya
besar-besar itu bisa segera dikerjakan.
Tapi
semua itu belum cukup. Harapan masyarakat terhadap Pertamina memang
sangat
besar. Pengumuman mengenai besarnya laba yang berhasil dicapai
Pertamina itu,
misalnya, ternyata belum bisa membahagiakan masyarakat. Mereka
menginginkan
Pertamina yang jauh lebih hebat. Mereka tidak mempersoalkan laba,
omset, dan
sebangsanya. Masyarakat menginginkan Pertamina yang membanggakan.
Masyarakat
ternyata langsung membandingkannya dengan Petronas, Malaysia.
“Laba
Petronas Rp 160 triliun!" ujar follower twitter
saya.
Saya pun
tersadar dari lamunan kebahagiaan. Terbangun. Kebahagiaan saya akan
prestasi
Pertamina itu ternyata hanya berlangsung kurang dari lima menit.
Padahal semula
saya mengira kebahagiaan itu akan berlangsung selama setahun penuh.
Lalu
disambung dengan kebahagiaan berikutnya manakala melihat hasil kerja
jajaran
Pertamina tahun 2013.
Ternyata
hukum kebahagiaan tidak seperti itu. Bahagia itu bisa naik dan
tiba-tiba bisa
anjlok. Kebahagiaan saya itu langsung lenyap saat membaca twit pembandingan antara laba
Pertamina dan laba Petronas.
Itu
persis seperti kebahagiaan seorang pembina sepakbola di Indonesia.
Setidaknya
seperti yang saya alami selama memimpin Persebaya dulu. Begitu peluit
panjang
berbunyi dan Persebaya menang, bahagianya bukan main. Tapi kebahagiaan
itu
hanya berlangsung sekitar lima menit. Begitu keluar dari garis
lapangan, para
wartawan langsung mengerubung dengan pertanyaan yang mengakhiri
kebahagiaan
itu: berapa juta bonus yang akan diberikan kepada setiap pemain. Maka
kebahagiaan pun langsung beralih ke bagaimana cara mendapatkan uang
untuk
membayar bonus saat itu juga.
Begitulah
pula soal kebahagiaan Pertamina ini. Begitu kicauan mengenai laba
Petronas
tersebut saya baca hati saya langsung terbakar. Saya benar-benar
gelisah.
Pikiran saya dipenuhi pertanyaan ini: bagaimana cara mengejar Petronas.
Sudah
lama masyarakat tidak bisa menerima kalau Pertamina sampai kalah dari
Petronas.
Apalagi kalahnya telak.
Ketika
berada di Rumah Sakit Tianjin untuk check-up rutin
tahunan pekan lalu,
saya memiliki waktu merenung lebih panjang. Saya utak-atik berbagai
kemungkinan
untuk bisa mengejar Petronas. Saya browsing di
internet. Saya pelajari
angka-angka. Kekalahan Pertamina atas Petronas itu ternyata sudah
sangat lama.
Sudah lebih 30 tahun. Grafiknya pun kian memburuk.
Tapi apa
yang bisa diperbuat? Sungguh tidak mudah menemukan jalannya. Padahal
soal
kekalahan Pertamina ini sudah bukan lagi soal kekalahan sebuah
perusahaan
biasa. Ini sudah menyangkut harga diri negara dan bangsa. Ini sudah
soal merah
putih. Pertamina sudah menjadi lambang negara. Di bidang sawit kita
sudah bisa
mengejar Malaysia. Garuda Indonesia sudah mengalahkan Malaysia
Airlines. Semen
dan pupuk kita sudah jauh di depannya. Di bidang pelabuhan kita sedang
mengejarnya dengan proyek PT Indonesia Port Corporation (Pelindo II)
yang insyaallah pasti bisa.
Tapi
kita masih belum bisa menemukan jalan untuk Pertamina. Program-program
Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru akan bisa
membuat
Pertamina masuk ke jajaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh
dari
prestasi Petronas.
Memang
ada jalan pintas. Bahkan sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman.
Maksudnya,
jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa
mengalahkan
Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya sudah bisa
membuatnya
sejajar dengan Petronas. Tapi saat saya menulis naskah ini, di sebuah
ruang check-up Rumah Sakit Tianjin,
saya terpikir kesulitan-kesulitannya: “jalan tol” itu bukan milik
Pertamina.
“Jalan tol” itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya
tahun 2017
nanti: Blok Mahakam.
Saya pun
minta Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, untuk membuat kalkulasi ini:
seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara
menyerahkannya
ke Pertamina, berapa laba Pertamina di tahun 2018? Dan tahun-tahun
berikutnya?
Dengan
cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun.
Saya tidak
tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa
bangganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek
sepanjang
masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar