Minggu, 09 September 2012

Diskusi Institut Peradaban

Undangan Diskusi Institut Peradaban


Pada  Rabu tanggal 19 September 2012 pukul 13.00
bertempat di Lantai III Gedung I BPPT, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat

Insitut Peradaban akan mengadakan diskusi dengan tema

Faktor Jawa dalam Politik Indonesia

Pembicara dalam diskusi tsb:


Romo Prof. Dr. Frans Von Magnis Suseno,
Brigjen TNI (Purn) Dr Saafroedin Bahar,
Harry Tjan Silalahi (CSIS).

Institut  Peradaban sangat mengharapkan kedatangan dan partisipasi Anda pada diskusi tersebut.

Atas nama Institut Peradaban:

Prof. Dr. Jimly Asshidiqie,SH
Prof Dr. Salim Said,MA MAIA.



Mengingat terbatasnya ruangan, kami berharap Anda meluangkan waktu sedikit untuk mengkonfirmasi rencana kedatangan Anda lewat Email

 Admin@institutperadaban.org atau HP: 0821 2314 7969


Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, dua tokoh utama perjuangan nasional, Sukarno dan Mohammad Hatta, dipilih menduduki kursi kepemimpinan negara. Sukarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai wakil. Kepemimpinan Dwitunggal yang berasal dari Jawa (Sukarno) dan Sumatra (Hatta) waktu itu dan untuk waktu lama dipandang oleh banyak orang sebagai sekali gus mewakili Jawa (Sukarno) dan luar Jawa (Hatta).

Keretakan Dwitunggal yang diikuti dengan pengunduran diri  Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1956 kebetulan diikuti dengan pemberontakan daerah (PRRi) pada tahun 1958. Waktu itu dan mungkin hingga kini banyak yang menafsirakn perkembangan tragis demikian sebagai salah satu akibat dari sudah tidak diwakilinya suara-suara luar Jawa dalam pusat kekuasaan Republik Indonesia. Pemerintah di Jakarta dianggap memusatkan perhatian dalam membangun pulau Jawa dan menterlantarkan daerah luar Jawa yang merupakan penghasil devisa utama Indonesia.

Setelah Gestapu, Sukarno digantikan oleh Soeharto. Kalau Presiden pertama Indonesia mendapatkan pendidikan tinggi dan mengembangkan pikiran berdasarkan pemikiran dan konsep politik Barat, Soeharto berlatar pendidikan domestik seadanya. Maka tidaklah mengherankan jika referensi Soeharto terbatas dan bersumber hanya pada  ajaran-ajaran etika dan dan politik Jawa yang diperolehnya dalam perjalanan hidupnya selama tumbuh di Jawa Tengah. Maka masa kepemimpinan Soeharto yang otoriter  adalah juga masa ketika secara budaya Indonesia mengalami ”Jawanisasi.” Klau pada masa Sukarno kosa kata  wacana politik Indonesia banyak berasal dari literature Barat yang menjadi acuan Sukarno dan generasinya, maka pada masa Soeharto politik Indonesia dipenuhi dengan jargon-jargon  yang bersumber padai khasanah pemikiran  dan gagasan kekuasaan  Jawa. Fenomona terakhir inilah barangkali yang mendorong Ben Anderson dari Cornell University untuk menulis esei yang berjudul The idea of Power in Javanese Culture.

Pada masa pasca Orde Baru, dalam pemilihan Presiden secara langsung, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden dengan Mohammad Jusuf Kalla (JK) sebagai wakilnya. Pada masa itu orang teringat pada Dwitunggal Sukarno- Hatta yang masing-masing mewakili dua bagian Indonesia, Jawa dan Luar Jawa. Tapi pada periode kedua kepemimpinan SBY beliau memilih Dr. Budiono sebagai wakilnya. Karena soliditas Indonesia sudah jauh lebih maju dibanding kondisi pertengahan tahun limapuluhan, maka tidak terjadi hal yang dramatis sebagai akibat tampilnya dua orang dari etnis Jawa sebagai pemimpin tertinggi Indonesia.

Menarik untuk diingat bahwa di masa kepresidenan Sukarno tidak pernah ada wacana mengenai Presiden Indonesia berikutnya adalah orang Jawa. Ini berbeda denga masa Soeharto. Pada masa Orde Baru , meski tidak secara terbuka, komunitas politik Indonesia berbicara mengenai Presiden Indonesia berikutnya adalah orang Jawa, seorang Jenderal dan Islam Jawa (Maksudnya Abangan). Adalah JK sebagai Wakil Presiden yang kemudian secara terbuka menyebut Presiden Indonesia haruslah orang Jawa, dan orang luar Jawa hanya akan jadi Wakil Presiden. Dan wacana politik Indonesia sejak itu seperti telah dipatok oleh pernyataan JK tersebut.

Pertanyaan menarik yang timbul dari fenomena ini adalah:

Selain faktor jumlah (etnis Jawa adalah penduduk mayoritas Indonesia) apakah budaya Jawa memang merupakan satu-satunya budaya di antara berbagai budaya lokal Indonesia  yang sempat mengembangkan konsep kekuasaan dan tata pengelolaan pemerintahan  sehingga mereka yang berlatarkan etnis dan budaya Jawa secara konsepsional dan tradisional  memang lebih siap memimpin Indonesia?

Setelah kemerdekaan Indonesia hampir mencapai usia 70 tahun, apakah memang soal pasangan Jawa dan non Jawa sebagai pemimpin Indonesia sudah tidak menjadi soal lagi dan karena itu tidak relevan lagi dibicarakan?

Apakah orang Jawa yang mayoritas sudah siap secara budaya menerima Presiden yang berasal dari etnis  luar Jawa? Jika belum siap, apa kira-kira penyebab ketidaksiapan tersebut?

Selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh Soeharto yang menguasai Indonesia terutama berdasarkan konsep kekuasan Jawa. Pelajaran apa yang kita dapatkan dari pengalaman tersebut? Karkono Kamajaya, seorang Javanolog dari Jakarta, dalam sebuah ceramahnya di Taman Ismail Marzuki lebih 10 tahun silam, mengatakan demokrasi tidak dikenal dalam budaya politik Jawa. Konsekuensinya tidak usah heran kalau Soeharto memimpin Indonesia layaknya seorang Raja Jawa.

Bagaimana orang di luar Jawa melihat konsep kekuasaan Jawa serta pengelolaan politik Indonesia yang sangat dipengaruhi budaya politik dan kekuasaan Jawa tersebut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar