Sabtu, 16 Agustus 2014

“Fenomena Jokowi pada Pilpres 2014”


 Institut Peradaban (IP) dengan hormat mengundang Anda untuk hadir dan berpartisipasi dalam diskusi bulanan  yang kali ini akan diadakan pada 

Hari  Rabu, 20 Agustus 2014 pukul 13.30
di Wisma Intra Asia
Jalan Prof. Dr. Soepomo 58. Tebet, Jakarta Selatan
(500 m dari Tugu Pancoran)
 
 Topik diskusi bulan ini:

“Fenomena Jokowi pada Pilpres 2014”

Pembicara :
- Dr. Peter Carey
(Ahli Sejarah Jawa dan Penulis Biografi Pangeran Diponegoro)
- Prof. Dr. Bambang Pranowo
(Antropolog dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
- Dr. Nurhadiantomo
(Sosiolog dan Pengajar di UMS Solo)
 Mengingat relevan dan pentingnya topik ini, kami sangat mengharapkan kedatangan dan partisipasi Anda.  Dan berhubung dengan terbatasnya tempat, kami berharap kesediaan Anda konfirmasi kedatangan  melalui email:

admin@institutperadaban.org
Atau SMS ke: 0877 2111 8855

Atas nama
Institut Peradaban (IP)

Prof. Dr. Salim Said, M.A., MAIA



============================================================================================================================================
TOR DISKUSI BULANAN INSTITUT PERADABAN Agustus 2014:
Fenomena Jokowi dalam Pilpres 2014:
Tafsir Sosial, Politik,  Budaya dan Sejarah.


Bila tidak ada aral melintang pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK),  pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) hampir bisa dipastikan akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Berdasarkan hasil resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasangan Jokowi-JK berhasil mengalahkan pesaingya, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dengan perolehan suara 70.997.833 (53.15%) berbanding 62.576.444 (46.85%) atau dengan selisih lebih dari delapan juta suara. Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon ini diakui banyak pihak sebagai pemilihan presiden yang penuh hiruk pikuk, berlangsung paling keras dan sangat kompetitif.  Banyak segi menarik yang bisa didiskusikan atau dikaji dari pengalaman pilpres  bulanJuli lalu.

Tetapi, agaknya diantara banyak fenomena yang perlu dan menarik untuk dikaji dan diskusikan adalah kemunculan sosok  Jokowi itu sendiri. Sosok yang hampir tidak seorangpun membayangkan pada dua   tahun yang lalu bahwa seorang  bernama Jokowi  akan menjadi figur penting dalam percaturan politik nasional.  Tidak ada yang menyangka bahwa kemudian ia tampil memenangi pemilukada DKI Jakarta 2012 dengan mengalahkan incumbent  Fauzi Bowo, untuk kemudian terpilih menjadi seorang Presiden setelah memenangi pilpres 2014.Jokowi menjadi sangat fenomenal, bukan karena ia “orang besar” atau keturunannya, tetapi justru karena ia adalah sebaliknya, ”wong cilik”.  Jokowi bahkan bukan pengurus apa lagi mengetuai partai.

Menengok pada sejarah politik negeri ini dari pasca kemerdekaan hingga saat ini, kursi kepemimpinan nasional seolah hanya menjadi previlleges bagi “orang-orang besar” atau keturunan mereka. Lihatlah, presiden pertama Republik ini, Soekarno, ia adalah seorang proklamator dan tokoh terpenting pergerakan kemerdekaan. Lalu, Soeharto, seorang Jenderal yang memiliki reputasi penting lewat partisipasinya dalam perang kemerdekaan, sebagai Panglima pembebasan Irian Barat, dan Pangkostrad dan Pangkopkamtib yang menumpas Gestapu.

Lalu, pada masa reformasi demokrasi berturut-turut empat kepala negara Indonesia, mulai dari  B.J. Habibie,  Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keempatnya dilihat masyarakat sebagai sosok “di atas rakyat” atau bukan orang kebanyakan. Pada diri Abdurrahman Wahid yang dikenal juga sebagai Gus Dur,  melekat  kebesaran dan ketokohan kakeknya Hasyim As’ari, pendiri organisasi muslim terbesar Nahdlatul Ulama (NU), serta ayahnya, Wahid Hasyim, seorang tokoh Islam yang terbilang  founding father Indonesia. Yang menggantikannya, Megawati Soekarnoputri, adalah ketua umum partai politik PDI-P pemenang pemilu 1999 yang juga tidak bisa dilepaskan dari aura kebesaran bapaknya, Soekarno.  Susilo Bambang Yudhoyono, adalah seorang Jenderal yang  menantu jenderal legendaris Sarwo Edi Wibowo.

Lalu, siapakah sebenarnya Jokowi yang memenangi pilpres 2014? Ia bukan siapa-siapa bila dibanding dengan tokoh-tokoh nasional yang pernah menjabat presiden Republik Indonesia. Ia yang lahir pada 1961 itu bukanlah jenderal dengan reputasi legendaries, bukan pula anak atau menantu dari tokoh besar republik ini. Siapa orang tua dan saudaranyapun, tidak dikenal. Jokowi hanyalah seorang manusia biasa yang beroleh peluang dari demokrasi yang berlangsung di negeri ini. Ia merangkak dari bawah sebagai seorang pengusaha meubel di Solo. Sebagai insinyur kehutanan lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), ia beroleh kesempatan menjajal pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Solo. Berhasil memenangi pilkada Solo dengan 36.62%, Jokowi menjadi walikota Solo pada 2005-2010. Jokowi mulai terlihat sebagai sosok  fenomenal pada saat Ia memenangi pemilukada Solo tahun 2010 dengan perolehan  suara tertinggi secara nasional. Dia menjadi Wali Kota Solo dengan dukungan 90.09 % suara warga kota Surakarta.

Pada 2012, PDI-P melepas dan mendukungf Jokowi k bertarung dalam Pemilukada DKI Jakarta. Ia sama sekali tidak diunggulkan dan hampir semua lembaga survey memprediksi Jokowi yang berpasangan dengan Ahok, akan kalah telak. Tetapi, hasil akhir pemilukada 2012 DKI Jakarta menegaskan sosoknya yang fenomenal. Orang Solo ini mengalahkan incumbent Fauzi Bowo. Mantan Walikota Solo itu  kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017.

Pada 2014, Jokowi yang bukan apa-apa  di PDIP -- atas desakan dan dukungan orang banyak -- dipercaya Ketua Umum PDI-P Megawati untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla yang diusung koalisi kecil (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura) menghadapi Prabowo – Hatta Rajasa yang diusung koalisi besar (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan Demokrat).Jokowi menang.

Berbeda dengan Jokowi yang pendatang baru dalam politik tataran nasional, Prabowo  adalah putera Begawan ekonomi Prof.Dr. Soemitro, cucu Margono Djojohadikusumo (ketua DPA pertama), mantan Komandan Jenderal Kopassus, mantan Panglima Kostrad dan mantan menantu Presiden Soeharto. Prabowo telah aktif berusaha meraih kursi kepresidenan sejak belasan tahun silam. Bahkan ia sengaja membuat partai politik, Gerindra, untuk mengantarkannya ke kursi kepresidenen. Tetapi pada pencoblosan sembilan Juli 2014 Prabowo kalah oleh  Jokowi.

Masyarakat lebih memilih Jokowi dengan alasan yang beragam. Kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 penting untuk didiskusikan terutama menyangkut bagaimana kita memberikan penafsiran terhadap segi-segi unik dalam proses politik setelah lebih satu dasawarsa reformasi dan demokratisasi. Mengapa masyarakat memilih sosok Jokowi yang  “bukan siapa-siapa”? Apakah fenomena Jokowi mengambarkan terjadinya perubahan atau pergeseran dalam budaya, nilai-nilai dan perilaku politik masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa? Juga tidak kalah menarik untuk mempertanyakan apa sesungguhnya makna  keterpilihan Jokowi bagi keberlangsungan dan hari depan demokrasi  di negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar