Rabu, 03 Agustus 2016

Pemerintah Harus Tegas Merawat Kebhinnekaan Negara Bangsa: “Memastikan Pemenuhan HAM dan Hak Konstitusional bagi Perempuan Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual”




 LiputanSatu.Com - Meski sudah 71 tahun Indonesia merdeka, banyak kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya menikmati hak-hak konstitutionalnya. Hal tersebut digambarkan dalam hasil laporan pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang melibatkan perempuan dari 10 komunitas berasal dari 9 Provinsi, perempuan penghayat kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat.

Laporan ini menggambarkan kekerasan dan diskriminasi atas dasar keyakinan/kepercayaan, terhadap perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat yang  menyebabkan kesengsaraan fisik, psikis, dan juga gangguan reproduksi pada korban, serta dampak ekonomi, sosial dan hukum yang ditanggung oleh korban dalam waktu yang panjang. Seluruh pengalaman itu menyebabkan mereka mengalami penderitaan yang hebat akibat merasa digerus rasa kemanusiaannya, menderita karena kehilangan perlindungan atas kehormatan dan martabatnya.

Gambaran persoalan ini didasarkan pada pengungkapan 115 kasus dari 87 peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh 57 perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan pelaksana ritual adat dari 11 komunitas yang tersebar di 9 Provinsi. Dari 115 kasus tersebut, 50 diantaranya adalah kasus kekerasan dan 65 lainnya kasus diskriminasi. Setidaknya ada enam jenis kasus yang dapat dikategorikan ke dalam 3 bentuk kekerasan, yaitu: (a) Kekerasan psikis dalam 14 kasus stigmatisasi/pelabelan dan 24 kasus intimidasi; (b) Kekerasan seksual dalam 7 kasus pemaksaan busana dan 3 kasus pelecehan seksual, serta; (c) Kekerasan fisik dalam 3 kasus penganiayaan dan 2 kasus pembunuhan. Sementara itu, lebih dari setengah dari 65 kasus diskriminasi adalah kasus pengabaian diabaikan dalam administrasi kependudukan. Selebihnya terdapat 9 kasus pembedaan dalam mengakses hak atas pekerjaan dan memperoleh manfaat dari pekerjaan tersebut, 8 kasus pembedaan dalam mengakses pendidikan, 3 kasus dihambat dalam mengakses bantuan pemerintah, 3 kasus dihalangi akses pemakaman, 2 kasus  dihalangi dalam mendirikan rumah ibadah, 5 kasus dihambat dalam beribadah, dan 1 kasus pelarangan berorganisasi keyakinan.

Tindak kekerasan dan diskriminasi tersebut dilakukan oleh sekurangnya 87 pelaku, 44 diantaranya adalah pelaku individual sementara 10 lainnya dilakukan berkelompok. Sebanyak 52 diantaranya adalah aparat pemerintahan dan 2 aparat hukum. Hal ini berkorelasi dengan temuan bahwa sebagian besar dari peristiwa kekerasan dan/atau diskriminasi yang dialami terjadi di ranah negara, yaitu sebanyak 62% atau 54 peristiwa. Sementara itu, di ranah publik tercatat 27 peristiwa. Juga terdapat 2 peristiwa kekerasan di dalam rumah tangga yang berkait dengan hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan; salah satunya bahkan menyebabkan penghilangan nyawa. (Catatan lebih lengkap dalam Laporan)

Ada 9 faktor yang menyebabkan tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan dan gender ini dapat terus berlangsung, yaitu: (a) Adanya produk hukum dan kebijakan yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan, a.l. UU No. 1 PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama dan UU Administrasi Kependudukan dan kebijakan diskriminatif di tingkat daerah; b) Tata kelola insitusi pemerintahan yang membedakan penanggungjawab pemeluk agama dari penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur; c) Mekanisme pengawasan pelayanan publik yang tidak dilengkapi dengan perangkat pemeriksa operasionalisasi prinsip non diskriminasi; d) Kapasitas penyelenggara negara yang terbatas sehingga belum mampu mengoperasionalisasikan prinsip non diskriminasi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraaan pemerintahan pada umumnya; e) Sikap penyelenggara negara yang menyepelekan konsekuensi yang dihadapi oleh penghayat kepercayaan dan pemeluk agama leluhur akibat diskriminasi itu; f) Penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku diskriminasi dan kekerasan; g) Pemahaman agama yang memposisikan penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur sebagai pihak lian yang tidak beragama; h) Proses politik yang tidak dilengkapi dengan mekanisme pengaman pelaksanaan prinsip non diskriminasi sehingga memungkinkan hegemoni kepentingan kelompok tertentu, termasuk kelompok (pemeluk) agama, dalam penyusunan kebijakan publik dan; i) Sikap masyarakat yang masih menolerir kekerasan dan diskriminasi, termasuk yang berbasis agama/kepercayaan.

Hari ini Rabu, 03 Agustus 2016 laporan ini diluncurkan, untuk mendapatkan tanggapan dari Kementerian/Lembaga. Hadir wakil Menteri Dalam Negeri, wakil Menteri Hukum dan HAM, wakil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, wakil Menteri Agama, dan 4 perwakilan kepala daerah (NTT, Aceh, Jawa Barat, Sulawesi Tengah). Serta dihadiri oleh sekitar 80 perwakilan organisasi dari masyarakat sipil dan organisasi keagamaan, serta 15 perwakilan dari masyarakat penganut penghayat kepercayaan/ Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat.

Peluncuran ini ditujukan terutama kepada para penyelenggara negara, para penegak hukum, lembaga-lembaga agama, tokoh agama dan masyarakat luas, agar dapat menyimak berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan penghayat kepercayaan/Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat.

Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi terhadap sejumlah perwakilan dari kementerian/lembaga yang hadir untuk membuka dialog atas persoalan yang dihadapi, dan berkomitmen untuk menindaklanjutinya. Oleh karena itu Komnas Perempuan meminta bahwa Negara perlu untuk terus melakukan sosialisasi atas terobosan yang telah dilakukan melakukan langkah-langkah tindak lanjut antara lain:

a.      Perbaikan produk hukum dan kebijakan agar dapat secara sungguh-sungguh menegakkan hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi;
b.      Pengembangan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan prinsip non diskriminasi, termasuk atas dasar keyakinan dan gender, dalam mencegah, menangani dan memastikan ketidakberulangan kekerasan dan diskriminasi,  termasuk atas dasar keyakinan dan gender, dalam setiap aspek dan lembaga penyelenggara pemerintahan dan penegakan hukum;
c.      Menggagas dan melaksanakan mekanisme dan perangkat pengawasan pada sikap aparatur pemerintah, pejabat publik dan penegak hukum untuk memastikan dilaksanakannya prinsip non diskriminasi;
d.      Menghentikan impunitas pelaku tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan, termasuk terhadap pelaku non negara;
e.      Mereformasi birokrasi, termasuk Kementerian Agama, guna memutus pelembagaan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur;
f.      Mengintegrasikan penghormatan pada keragaman agama/keyakinan dalam kurikulum pendidikan nasional dan pendidikan publik untuk mengembangkan kecintaan pada kebhinnekaan Indonesia;
g.      Kerjasama dengan komunitas korban dan masyarakat sipil yang selama ini telah teguh berjuang untuk pemenuhan hak konstitusional warga negara anggota komunitas minoritas keyakinan.


Kontak Narasumber:

Azriana, Ketua Komnas Perempuan  (08116762441)
Khariroh Ali, Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional/ GK PKHN   (081284659570)
Indraswari, Anggota GK PKHN (081572158806)
Nina Nurmila, Anggota GK PKHN (085814479624)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar