Oleh : Moenir Ari Soenanda
I. PENDAHULUAN
Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tegaknya NKRI yang memiliki wilayah yurisdiksi nasional dari Sabang sampai Merauke sangat perlu untuk dipelihara. Namun
mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, dimana terdiri lebih dari
17.500 pulau, memiliki posisi yang sangat strategis di antara benua
Asia dan Australia, serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dengan posisi strategis tersebut, maka berbagai negara khususnya negara-negara besar memiliki kepentingan terhadap kondisi stabilitas keamanan di Indonesia. Implikasi
dari kepentingan negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur
tangan atau kepedulian yang tinggi dari negara-negara tersebut terhadap
kemungkinan gangguan stabilitas keamanan Indonesia.
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Kepentingan nasional tersebut
diaktualisasikan salah satunya dengan pelaksanaan politik luar negeri
bebas dan aktif. Polugri ini dituangkan kedalam program kerja cabinet,
dan pada saat ini, kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun 2005
merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia bersatu
(2004-2009), yang konsisten diabdikan bagi kepentingan nasional.
Pencapaian
kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional tidak terlepas
dari perubahan lingkungan strategis balik dalam tataran global maupun
regional yang memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi proses
pencapaian kepentingan tersebut. Dan dalam rangka menghadapi tatanan
dunia yang semakin berubah dengan cepatnya, semakin disadari perlunya
untuk mengembangkan kelenturan dan keluwesan dalam pelaksanaan kebijakan
luar negeri agar dapat memanfaatkan berbagai tantangan dan peluang yang
muncul dari perubahan lingkungan strategis secara optimal. Sehubungan
dengan hal tersebut, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato
kuncinya pada bulan Mei 2005 telah memperkenalkan suatu konsep baru
yaitu kebijakan luar negeri “konstruktivis”, yang pada intinya
dimaksudkan untuk mengembangkan tiga macam kondisi dalam pelaksanaan
kebijakan luar negeri Indonesia yaitu: (1) pola pikir positif dalam
mengelola kerumitan permasalahan luar negeri; (2) konektivitas yang
sehat dalam urusan-urusan internasional; dan (3) identitas internasional
yang solid bagi Indonesia yang didasarkan pada pencapaian-pencapaian
domestik dan diplomatiknya. Diplomasi Indonesia
yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) turut
mengaktualisasikan program dan prioritas Kabinet Indonesia Bersatu yang
pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan
Indonesia yang bersatu, lebih aman damai, adil, demokratis dan
sejahtera.
Untuk
memastikan tercapainya tujuan nasional, Departemen Luar Negeri
menekankan pada kerja sama diplomatik dengan negara-negara di dunia
internasional dalam seri lingkaran konsentris (concentric circles) yang
terdiri dari: Lingkaran pertama adalah Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam
menjalankan politik luar negerinya. Kemudian yang berada pada lingkaran
konsentris kedua adalah ASEAN + 3 (Jepang, China, Korea Selatan). Di
luar hal tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang
intensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan partner
utama ekonomi Indonesia. Dalam lingkaran konsentris yang ketiga,
Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded
developing countries. Itulah yang menyebabkan
Indonesia secara aktif ikut serta dalam keanggotaan Non-Aligned Movement
(NAM), the Organization of the Islamic Conference (OIC), the Group of
77 (G-77) dan the Group of 15 (G-15). Dengan forum-forum tersebut
Indonesia dapat menerapkan diplomasinya untuk memperkuat usaha bersama
dalam rangka menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang
dengan negara maju. Sementara itu, pada level global, Indonesia
mengharapkan dan menekankan secara konsisten penguatan multilateralisme
melalui PBB, khususnya dalam menyelesaikan segala permasalahan
perdamaian dan keamanan dunia. Indonesia juga menolak segala keputusan
unilateral yang diambil di luar kerangka kerja PBB.
Penerapan
politik luar negeri bebas - aktif tersebut juga harus disesuaikan
dengan perubahan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun
regional yang sangat mempengaruhi penekanan kebijakan luar negeri
Indonesia. Polugri Indonesia didesain untuk mampu mempertemukan
kepentingan nasional Indonesia dengan lingkungan internasional yang
selalu berubah. Tidak dapat dipungkiri perlunya
polugri yang luwes dan flexible untuk menghadapi segala tantangan
dimaksud. Perubahan lingkungan internasional tersebut tidak hanya
disebabkan oleh dinamika hubungan antar negara tetapi juga perubahan
isu, dan munculnya aktor baru dalam hubungan internasional yang berupa
non-state actors.
II. LINGKUNGAN STRATEGIS INTERNASIONAL
Fenomena
saling ketergantungan antar negara dan saling keterkaitan antar masalah
memang telah terlihat dalam interaksi hubungan internasional. Hal ini
tercermin dari pembentukan kelompok kerja sama regional baik
berlandaskan kedekatan geografis maupun fungsional yang semakin meluas.
Demikian pula, saling keterkaitan antar masalah juga terlihat dari
pembahasan topik-topik global pada agenda internasional yang cenderung
membahas isu-isu yang menyangkut hak asasi manusia (HAM), intervensi
humaniter, demokrasi dan demokratisasi, “good governance” dan
anti-korupsi, lingkungan hidup, masalah tenaga kerja, kejahatan
transnasional seperti terorisme dll. Fenomena tersebut di atas diikuti
pula oleh fenomena globalisasi yang semakin meluas, dimana globalisasi
merupakan arus kekuatan yang dampaknya tidak dapat dielakkan oleh negara
manapun di dunia. Globalisasi telah membawa berbagai peluang besar bagi
kemajuan perekonomian negara-negara yang dapat memanfaatkannya, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi pada kenyataannya juga memiliki
dampak yang merugikan, khususnya bagi negara-negara yang belum atau
kurang mampu memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
Situasi
politik dan keamanan dunia pasca perang dingin relatif stabil dalam
pengertian tidak ada perang besar yang terjadi, namun terjadi proxy war
dibeberapa kawasan. Dalam perkembangan terakhir, kawasan Asia dan
Pasifik relatif aman dan stabil. Situasi konflik di Afghanistan telah
menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Dalam situasi
konflik Arab/Israel, terdapat langkah maju dengan penarikan mundur
Israel secara sepihak dari Jalur Gaza dan berlangsungnya proses
demokratisasi di Palestina yang memberikan harapan bagi pembukaan
kembali perundingan damai yang berkelanjutan. Selain itu, di sejumlah
negara khususnya di kawasan Afrika, Amerika Selatan dan Tengah, serta
Asia Pasifik –yang sejak awal 1990-an menjadi ajang konflik internal-
kini telah tampil pemerintahan-pemerintahan baru yang demokratis. Proses
demokratisasi yang mulai tumbuh dan menguat di wilayah-wilayah konflik
dapat dijadikan titik awal yang sangat diperlukan demi terciptanya
penyelesaian konflik-konflik tersebut. Selain konflik-konflik eksternal,
konflik - konflik internal di berbagai belahan dunia juga relatif
mereda. Misalnya saja Indonesia yang dapat menyelesaikan konflik di Aceh
dengan cara-cara damai. Banyak pihak yang menilai bahwa penyelesaian
masalah di Aceh dapat dijadikan salah satu contoh yang baik dalam
menyelesaikan konflik internal suatu negara.
Dalam sektor ekonomi, pertumbuhan ekonomi dunia akhir – akhir ini menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif. Peningkatan
ini dipengaruhi oleh ekonomi AS yang terus membaik dan ekonomi China
yang terus tumbuh dengan rata-rata tinggi. Menyusul perekonomian Jepang
yang mulai pulih setelah mengalami stagnasi, berbagai krisis dan skandal
selama 15 tahun. Bahkan Jepang mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pada Eropa. Ekonomi
India juga telah menyumbangkan prestasi ekonomi dalam dunia
internasional dengan pertumbuhan ekonominya yang mencapai 7 %.
Namun
demikian, terdapat pula beberapa peristiwa penting yang berdampak pada
perekonomian dunia saat ini. Kenaikan harga bahan bakar minyak adalah
salah satu masalah yang cukup mendominasi. Setelah topan Katrina menyapu
Amerika Serikat, harga minyak per barrel sempat menyentuh 70 Dolar AS. Namun,
sejumlah pakar mengingatkan bahwa kenaikan harga BBM dunia terutama
disebabkan permintaan tinggi yang tidak diimbangi kapasitas penyediaan
yang memadai dari pihak produsen. Selain itu, faktor lain yang
menghambat pertumbuhan ekonomi global adalah kemiskinan. Sekitar
21 % dari penduduk dunia masih berada di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu, upaya mencapai sasaran pembangunan global yang
ditargetkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) setelah 5 tahun
ternyata masih menjadi sumber keprihatinan khususnya bagi negara-negara
berkembang.
Setelah
20 tahun pasca perang dingin, unilateralisme ekslusif Amerika Serikat
memang masih terjadi di berbagai kawasan, tetapi sudah mulai melemah
secara berangsur-angsur. Dalam gambaran dunia yang kontradiktif, muncul
kekuatan-kekuatan baru di luar Amerika. Untuk kawasan Eropa, Uni Eropa
masih merupakan benih kekuatan baru kendati di tahun 2005 mereka gagal
menyepakati konstitusi bersama. Di Asia Selatan, India muncul sebagai
kekuatan yang sangat berpengaruh dan menjadi penentu stabilitas di
kawasan. Sedangkan di kawasan Asia Timur, China dan Jepang memainkan
peranan politik yang sangat penting. Pergeseran kekuatan ini disebabkan
salah satunya oleh faktor ekonomi, lebih spesifik lagi adalah soal
minyak. Di tahun yang akan datang, persoalan energi ini masih akan tetap menjadi motor dinamika politik dunia. Perebutan
pengaruh atas sumber minyak dunia tercermin di lapangan geostrategi.
Ketika Amerika berhasil mengontrol minyak Timur Tengah, China dan Rusia
berhasil menguasai jalur eksplorasi minyak Asia Tengah dan Laut Utara. Medan pengaruh minyak masih akan meluas ke wilayah lain seperti Asia Tenggara, Afika dan lain-lain.
Dunia
yang penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi inilah yang menjadi
lingkungan strategis di mana diplomasi Indonesia dapat dijalankan secara
tepat dan menyeluruh. Peluang untuk memanfaatkan kesempatan yang
terbuka dari era globalisasi ini, akan tergantung pada kedekatan
faktor-faktor internasional dengan faktor-faktor domestik (intermestik)
kita. Kemajuan dari proses reformasi dan demokratisasi telah
memungkinkan Indonesia menjadi negara yang lebih siap dalam menghadapi
proses globalisasi dan mampu menempatkan dirinya tampa ada rasa
kecanggungan dalam arus utama dari masyarakat global.
III. LINGKUNGAN STRATEGIS KAWASAN
III. LINGKUNGAN STRATEGIS KAWASAN
Proses integrasi negara-negara kawasan Asia Timur semakin berkembang pesat. Hal ini tidak terlepas dari peran penting ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara. Rangkaian
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IX telah menyepakati pembentukan
ASEAN Community pada tahun 2020 yang bersendikan pada tiga pilar
(komunitas ekonomi, politik keamanan dan sosial budaya), serta
kesepakatan mengenai rencana-rencana aksi untuk masing-masing pilar
tersebut. Selain itu, KTT ASEAN + 3 di Vientiene juga telah menghasilkan
kesepakatan untuk memprakarsai penyelenggaraan KTT Asia Timur (East
Asian Summit) pertama yang telah diadakan di Malaysia pada tahun 2005
lalu. Hal tersebut telah menegaskan ASEAN sebagai pemegang peran kendali dalam proses integrasi di kawasan Asia Timur.
Ketegangan
antara Jepang dan China menjadi isu yang menonjol di kawasan Asia akhir
– akhir ini. Ketegangan ini terjadi karena kedua belah pihak belum
mampu mengatasi beban sejarah masa lalu. Namun ketegangan tersebut tidak berubah menjadi konflik terbuka. Bahkan tidak mengurangi kecenderungan kerja sama kawasan yang menguat seperti dapat diselenggarakannya KTT Asia Timur pertama.
Hubungan
RI - Timor Leste pada saat ini agak sedikit diterpa masalah yang salah
satunya berkaitan dengan penyerahan laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran
dan Rekonsiliasi atau CRTR oleh Pemimpin Timor-Leste, Presiden Zanana
Gusmao ke Sekjen PBB. Laporan tersebut berisi tentang berbagai dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap warga Timor
Leste selama wilayah itu berada di bawah kekuasaan Indonesia. Penyampaian laporan tersebut telah menimbulkan beberapa masalah bagi para pembuat kebijakan di Indonesia. Pertama,
kontroversi seputar isu laporan CRTR dikhawatirkan akan memicu
peningkatan suhu politik dalam hubungan bilateral kedua negara. Kedua,
kini terdapat urgensi untuk menangani klaim CRTR dengan cara yang tetap
menjunjung martabat kedua bangsa. Ketiga, ekspose pelanggaran HAM RI di
Timor Leste dikhawatirkan menghambat secara serius upaya Pemerintah RI
saat ini untuk memulihkan citra RI di dunia internasional sebagai negara
yang telah menjadi demokrasi ketiga terbesar di dunia.
Korea
Selatan dan Korea Utara semakin meningkatkan kerja sama di bidang
ekonomi, sosial dan budaya yang mendukung terlaksananya pertemuan puncak
antar Korea yang ke-II. Pertemuan tersebut membuat kedua negara
mencapai kemajuan kerja sama ekonomi yang cukup besar yang meliputi
berbagai sektor dan Seoul memusatkan perhatian pada pemberian bantuan
kemanusiaan kepada Korea utara dalam membangun negaranya. Kemudian
dilakukan pula kerja sama kelautan dan pertanian. Kedua Korea telah
setuju untuk mengadakan kerja sama pada perairan bebas di laut Barat,
sedangkan di bidang pertanian merupakan perpaduan antara lahan di Korea
Utara, dengan modal dan manajemen pertanian dari Korea Selatan. Selain
itu, kerja sama di bidang industri ringan dan pembangunan sumber-sumber
mineral, juga merupakan aspek baru pengembangan kemitraan.
Dari
semua keberhasilan kerja sama antar Korea tersebut, penyelesaian masalah
nuklir Korea Utara juga merupakan persoalan yang sangat penting. Pada
perundingan segi enam pada tanggal 9 September lalu, telah dicapai
kesepakatan pernyataan bersama yang antara lain menetapkan bahwa Korea
Utara agar membuang program senjata nuklirnya. Namun negara-negara
peserta yang terdiri dari Korea Selatan, Korea Utara, China, Jepang,
Rusia dan Amerika Serikat itu belum dapat menentukan jadwal perundingan
selanjutnya, karena masih terdapatnya konflik antara Kora Utara dan
Amerika Serikat. Bagaimanapun masalah nuklir Korea Utara harus segara
dapat diselesaikan demi kemajuan kerja sama antar Korea secara khusus
dan demi mewujudkan keamanan di kawasan regional secara umum.
Selain
Korea Utara, permasalahan krisis nuklir Iran pada saat ini kembali
muncul dalam pembahasan agenda internasional. Tiga negara Eropa (Jerman,
Perancis dan Inggris) dan Amerika Serikat menginginkan untuk membahas
masalah ini di depan anggota Dewan Keamanan PBB yang memiliki wewenang
untuk penegakkan hukum antara lain pengajuan sanksi dalam rangka membuat
Teheran menghentikan semua program pengayaan bahan bakar nuklir dan
agar negara tersebut bersedia untuk memenuhi masa pemantauan tiga tahun
Badan Energi Tenaga Atom Internasional (IAEA) terhadap program nuklir
Iran yang dituduh oleh Amerika Serikat melakukan program senjata nuklir
secara terselubung.
Berkaitan
dengan masalah ini, Indonesia mengharapkan krisis nuklir Iran menempuh
solusi damai serta mendorong pihak-pihak terkait isu krisis nuklir di
Iran tidak tergesa-gesa membawa persoalan tersebut ke Dewan Keamanan
PBB. Indonesia juga akan terus mendukung dan mendorong Iran untuk
melakukan kerja sama yang erat dengan IAEA agar kecurigaan yang ada
tentang niat Iran untuk mengembangkan tenaga nuklir untuk tujuan damai
tidak ditafsirkan sebagai pengembangan ke arah militer.
Upaya-upaya
perdamaian untuk penyelesaian konflik Palestina – Israel sudah banyak
dirundingkan dan disepakati, namun demikian implementasinya selalu
kandas di tengah jalan. Kekerasan yang terjadi di lapangan sangat
menghambat pelaksanaan kesepakatan yang telah dicapai di meja
perundingan damai. Meskipun demikian, upaya perundingan damai terus
diupayakan dengan harapan dapat mencapai penyelesaian final atas konflik
Palestina – Israel tersebut. Menyusul gagalnya pertemuan perundingan
Camp David ke-2 pada bulan Juli 1999 dan pecahnya kekerasan sejak bulan
September 2000, Quartet (AS – Rusia – UE dan PBB) pada tanggal 30 April
2003 telah mengeluarkan rencana perdamaian Palestina – Israel yang
dikenal dengan “Peace Road Map (Peta Jalan Perdamaian/PJP)” bagi suatu
penyelesaian akhir dan menyeluruh bagi konflik Israel – Palestina.
Melihat berbagai perkembangan lingkungan strategis baik ditingkat internasional maupun
regional, untuk mencapai kepentingan nasional indonesia Deplu
menjalankan total diplomasi yang digagas oleh Menlu Hassan Wirayudha.
IV. MENCAPAI KEPENTINGAN NASIONAL DI DUNIA INTERNASIONAL
IV. MENCAPAI KEPENTINGAN NASIONAL DI DUNIA INTERNASIONAL
Upaya
untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di dunia Internasional
dilaksanakan melalui diplomasi. Dengan total diplomasi Diplomasi
Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) turut
mengaktualisasikan program dan prioritas Kabinet Indonesia Bersatu yang
pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan
Indonesia yang bersatu, lebih aman dan damai, adil, demokratis dan
sejahtera. Dalam lingkup tugas dan kompetensi utama Deplu sebagai
penyelenggara hubungan luar negeri, Deplu berupaya melibatkan seluruh
komponen pemangku kepentingan untuk mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan menerapkan agenda utama yang ditetapkan
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam masa lima tahun
mendatang.
Kepentingan
nasional Indonesia diterjemahkan kedalam visi Departemen luar negeri
yang disebut sebagai “Sapta Dharma Caraka”, yaitu: (1) Memelihara dan
meningkatkan dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan
kedaulatan Indonesia; (2) membantu pencapaian Indonesia sejahtera
melalui kerja sama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan
investasi, kesempatan kerja dan alih tekonologi; (3) meningkatkan
peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN, peran
aktif di Asia-Pasifik, membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika
serta hubungan antar sesama negara berkembang; (4) memperkuat hubungan
dan kerja sama bilateral, regional dan internasional di segala bidang
dan meningkatkan prakarsa dan kontribusi Indonesia dalam pencapaian
keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme;
(5) meningkatkan citra Indonesia di masyarakat internasional sebagai
negara demokratis, pluralis, menghormati hal asasi manusia, dan
memajukan perdamaian dunia; (6) meningkatkan pelayanan dan perlindungan
Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri serta melancarkan diplomasi
kemanusiaan guna mendukung tanggap darurat dan rekontruksi Aceh dan Nias
dari bencana gempa dan tsunami; (7) melanjutkan benah diri untuk
peningkatan kapasitas kelembagaan, budaya kerja dan profesionalisme
pelaku diplomasi serta peranan utama dalam koordinasi penyelenggaraan
kebijakan dan hubungan luar negeri.
1. Memelihara dan meningkatkan dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia.
Berkaitan
dengan hal pemeliharaan dan peningkatan dukungan internasional terhadap
keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia, diplomasi Indonesia telah
memainkan peranan penting semenjak masa perjuangan untuk merebut
kemerdekaan. Pada waktu itu, diplomasi Indonesia telah berhasil mencari
dukungan dan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia.
Lebih lanjut, diplomasi juga memainkan peranan penting dalam menjaga
keutuhan NKRI. Upaya ini dilakukan baik melalui diplomasi bilateral
maupun multilateral. Dengan perubahan lingkungan internasional dan
regional, upaya pencapaian kepentingan nasional dalam hal ini
mendapatkan hambatan dengan munculnya aktor-aktor baru dalam hubungan
internasional. Dukungan NGOs terhadap separatisme dan pemberitaan media
massa untuk pembentukan opini internasional semakin menyulitkan upaya
diplomasi Indonesia.
Pelaksanaan
Kebijakan Luar negeri RI demi mewujudkan kepentingan nasional RI di
Pasifik Selatan terutama ditujukan untuk menjamin dukungan dari
negara-negara kunci di kawasan, terutama Australia, Selandia Baru, Papua
Nugini dan Fiji, bagi keutuhan dan kedaulatan wilayah RI, khususnya di
bagian Timur Indonesia, dan mendorong rekonsiliasi permanen dalam
hubungan RI dan Timor Leste.
Hubungan
dengan Australia telah semakin dipererat dengan kunjungan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 dan telah menghasilkan
Pernyataan Bersama Kemitraan Komprehensif yang memperkokoh hubungan
antar pemerintah dan anatar masyarakat. Pemerintah Asutralia terlihat
tetap konsisten dalam mendukung upaya Pemerintah RI dalam menyelesaikan
masalah separatisme dengan jalan damai seperti misalnya kebijakan
otonomi khusus di Papua, dan merupakan pemberi bantuan terbesar kepada
Indonesia dalam bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara.
Upaya
pelibatan atau engagement Indonesia dengan negara-negara Melanisia di
Pasifik terus dibina melalui keikutsertaan aktif dalam forum-forum di
kawasan khususnya PIF dan Dialog Pasifik Barat Daya (SWPD) yang telah
memberikan hasil politik yaitu tidak digunakannya forum-forum kawasan
tersebut untuk mendukung kemerdekaan Papua. Sebagai mitrawicara PIF,
Indonesia menjalankan peranan penghubung antara PIF dengan ASEAN dan
menampilkan berbagai permasalahan kemanan dan pembangunan kawasan serta
pencapaian Indonesia khususnya dalam hal rekonstruksi dan proses
perdamaian di Aceh, dan perkembangan Otonomi Khusus di Papua. Indonesia
juga turut memfasilitasi keterlibatan para anggota PIF dalam pertemuan
kontra-terorisme tingkat menteri di kawasan yang dikenal dengan sebutan
“the Bali Process”. Sementara itu, pertemuan tingkat menteri dengan
negara-negara anggota SWPD (Indonesia, Australia, Selandia Baru, Papua
Nugini, Filipina, Timor Leste) terutama membicarakan permasalahan dalam
kerja sama sosial budaya dan keamanan (khususnya terorisme dan kejahatan
transnasional).
2. Membantu pencapaian Indonesia sejahtera melalui kerja sama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan investasi, kesempatan kerja dan alih tekonologi.
Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. External
creditor dan juga investor asing menarik diri, maka dengan sendirinya
sumber-sumber dana jangka pendek yang menjadi pendukung utama bagi
perekonomian Indonesia juga ikut berkurang.
Secara
bertahap krisis ekonomi di Indonesia telah berkembang menjadi krisis
yang bersifat multidimensi yang melibatkan unsur sosial, politik, etnis,
terutama masalah disintegrasi bangsa. Merosotnya nilai rupiah hingga ke
titik terendah didorong oleh krisis kepercayaan pihak investor, baik
domestik maupun asing terhadap kredibilitas pemerintah yang saat itu
tampaknya tidak berdaya dalam menanggulangi masalah tersebut. Stabilitas
keamanan yang tidak menentu menimbulkan keraguan investor untuk
melanjutkan penanaman modalnya di Indonesia dan tingginya resiko
berusaha yang disebabkan oleh melonjakanya inflasi. Sektor perdagangan
terutama ekspor dan impor, yang selama ini mendatangkan devisa utama
dalam perekonomian Indonesia, mengalami hambatan yang cukup besar.
Demikian juga investasi sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari sektor
perdagangan. Indonesia kehilangan sumber foreign exchange yang dapat
digunakan untuk melakukan berbagai transaksi dalam kegiatan ekonomi
internasionalnya.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang saat ini telah mencapai angka 5,5% ternyata
masih berada diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasana Asia
Tenggara. Indikasi pulihnya perekonomian Indonesia, menuntut perhatian
yang cukup besar dari pemerintah. Namun angka pertumbuhan tersebut belum
cukup bagi upaya Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan, mengatasi
pengangguran dan peningkatan mutu pendidikan. Meskipun konsumsi dan
investasi asing langsung cukup memberikan kotribusi bagi pertumbuhan
tersebut selama tahun 2005, namun masuknya investasi asing di Indonesia
masih relatif rendah.
Oleh
sebab itu penataan kembali perekonomian Indonesia dari sisi makro perlu
dilakukan secepatnya agar kegiatan ekonomi mikro, seperti sektor
industri/manufaktur dapat bertahan dan kembali berjalan dengan baik.
Manajemen yang baik sangat diperlukan dan waktu yang dibutuhkan untuk
kembali mencapai semuanya itu cukup panjang.
Pada
masa pemerintahan Presiden Abdulahman Wahid, salah satu upaya yang
dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan dari luar negeri, dengan maksud
untuk menarik investor asing ke Indonesia adalah dengan dicanangkannya
“diplomasi ekonomi”. Dalam pidatonya di depan MPR pada tanggal 7 Agustus
2000, ia menyatakan:
“Upaya
pemulihan ekonomi nasional terus kita lakukan dengan mengundang
masuknya investasi dari luar negeri ke Indonesia. Sesungguhnya, minat
para investor asing untuk menanam modalnya di Indonesia yang memiliki
sumber daya alam yang besar amat tinggi. Tetapi ini hanya dapat dicapai
kalau kita sukses memperbaiki citra Indonesia, sehingga kepercayaan
internasional terhadap Indonesia pulih kembali.”[i]
Pengertian
diplomasi ekonomi internasional adalah segala upaya untuk menjalin,
meningkatkan dan memanfaatkan hubungan atau kerjasama dan apabila
diperlukan dengan menggunakan kekuatan politik, untuk mencapai
tujuan-tujuan ekonomi.
Seperti
yang telah ditekankan, bahwa politik luar negeri Indonesia dirumuskan
untuk memperjuangkan suatu kepentingan melalui hubungan atau kerjasama
dengan bangsa-bangsa di dunia. Kepentingan tersebut dapat bersifat
global, regional dan nasional.
Sebagai
salah satu strategi Indonesia untuk menjalankan diplomasi ekonomi
internasional adalah dengan mempertimbangkan pembentukan FTA bilateral
dengan negara-negara terutama yang menjadi mitra dagang utama Indonesia
seperti Jepang dan Amerika Serikat. Menjalin hubungan FTA bilateral
dengan Jepang merupakan salah satu kebijakan yang diambil oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono. Setelah melakukan tiga kali pertemuan, kedua
pihak mengusulkan kepada pemerintah masing-masing untuk mulai
merundingkan Economic Partnership Agreement (EPA). Perundingan ini telah
dimulai pada tangal 14 Juli 2005. Persetujuan kerja sama ini dimotori
oleh antisipasi Indonesia berkenaan dengan dibentuknya FTA antara
Jepaang dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan
Filipina, dimana negara-negara tersebut adalah pesaing utama Indonesia
di pasar Jepang.
Setelah
Jepang, Indonesia juga telah mengintensifkan pertemuan dengan Amerika
Serikat dalam rangka TIFA (Trade and Investment Facilitation and
Agreement). Sementara itu, dengan sejumlah negara lainnya seperti China,
Korea, India dan Australia serta Selandia Baru, apabila jalur FTA
antara ASEAN dengan negara-negara tersebut tidak cukup maksimal, maka
ditempuhnya jalur FTA bilateral mungkin dapat dipertimbangkan, misalnya
seperti FTA bilateral yang Indonesia-Australia sebagai bagian dari
Comprehensive Agreement antara kedua Negara yang baru saja diusulkan
bersama oleh Presiden SBY dengan Perdana Menteri John Howard.
Berbagai
hubungan FTA bilateral dengan negara-negara tersebut sebaiknya tidak
hanya dilakukan sebagai langkah defensif semata, namun juga dijadikan
sebagai suatu strategi diplomasi ekonomi yang efektif untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya demi tercapainya kehidupan
bangsa yang sejahtera, adil dan makmur.
Diplomasi
Indonesia di Kawasan Eropa juga salah satunya ditujukan untuk
pencapaian kepentingan ekonomi. Secara garis negara-negara Eropa,
khususnya Eropa Barat merupakan pangsa pasar tradisional untuk ekspor
produk produk RI. Disamping sebagai sumber pendanaan dan investasi serta
berbagai kerjasama teknik. Hal ini sesuai dengan ketetapan hati
Pemerintah RI yakni membangun teknologi dan kapasitas industri nasional
dalam rangka memperkuat perekonomian bangsa di dalam era globalisasi
dewasa ini. Namun tidak kurang pula negara negara Eropa Barat masih
memberlakukan hambatan tariff dan non-tariff terhadap produk produk
unggulan RI, yang dikaitkan dengan kondisionalitas HAM, Eco-labelling
dan isu lingkungan hidup, demokratisasi serta good-governance.
3. Meningkatkan
peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN, peran
aktif di Asia-Pasifik, membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika
serta hubungan antar sesama negara berkembang.
Salah
satu peran penting Indonesia dalam rangka mempertahankan dan menjaga
stabilitas regional adalah dengan berpartisipasi aktif di ASEAN dalam
Asean Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS) serta secara
berkesinambungan meningkatkan hubungan kerja sama di berbagai bidang
dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Dalam setiap
partisipasinya, Indonesia selalu menekankan dan memprioritaskan
cara-cara damai (confidence building measures) dalam menyelesaikan
segala macam bentuk konflik yang terjadi dengan tetap berpegang teguh
pada prinsip politik luar negeri bebas aktif dan secara konsisten terus
mendukung setiap usaha menjaga perdamaian di kawasan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah
dan kedaulatan negara.
Sebelumnya
telah disebutkan bahwa ASEAN merupakan pilar utama bagi politik luar
negeri Indonesia. Itu artinya bahwa ASEAN berfungsi sebagai kendaraan
utama bagi Indonesia untuk melaksanakan hubungan luar negeri atau kerja
sama negara-negara kawasan Asia Tenggara dalam rangka pencapaian tujuan
nasional. Melalui ASEAN, Indonesia juga dapat memproyeksikan norma
dasarnya –prinsip regional resilience and non-interference- terhadap
wilayah sekitar kawasan. Oleh karena itu, lingkungan yang kondusif dapat
diciptakan secara kolektif untuk kemajuan ekonomi bersama.
Walaupun
terdapat perbedaan budaya, kondisi geografis, sistem politik dan
tingkat kesejahteraan, negara-negara anggota ASEAN telah menunjukan
kesamaan etikad dalam mengutamakan kerja sama untuk mencapai keuntungan
dan kemakmuran bersama. Berdasarkan hal ini, diplomasi luar negeri
Indonesia di era globalisasi harus dapat membangun dan memelihara kerja
sama yang lebih luas dan efektif untuk memperoleh kemajuan yang
subtantif dalam penyelesaian konflik dan integrasi ekonomi di kawasan
Asia Tenggara.
Berdasarkan
kondisi alamnya, kemampuan ekonomi dan kemauan politiknya untuk
bergabung dalam proses regional, Indonesia akan terus memainkan peran
strategis demi kemajuan dan terciptanya integrasi ASEAN. Peranan
Indonesia di Asia Tenggara diperkuat dengan partisipasinya untuk
menyelesaikan konflik di Kamboja dan Filipina Selatan serta ikut menjadi
anggota dalam pasukan perdamaian PBB. Indonesia juga memiliki inisiatif
untuk melaksanakan diplomasi kemanusiaan dan turut serta dalam proses
pembentukan Masyarakat Asia Timur.
Konferensi
Tingkat Tinggi Asia Timur (East Asia Summit) yang diadakan pada tanggal
14 Desember 2005 dihadiri oleh 10 negara ASEAN dan enam negara kunci di
kawasan yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan dan
Selandia Baru dan telah menghasilkan kesepakatan bersama untuk membangun
suatu masyarakat regional Asia Timur. Kerjasama
tersebut akan ditingkatkan dengan tujuan strategis bersama untuk
mendorong terbentuknya perdamaian, stabilitas dan kemajuan ekonomi di
kawasan.
ASEAN
Regional Forum (ARF) yang dilahirkan sebagai respon dari berakhirnya
perang dingin yang menimbulkan ketidakpastian dalam hubungan
internasional, ditandatangani pada tahun 1995. ARF didirikan untuk
menjaga dan meningkatkan perdamaian dan keamanan di wilayah Asia-Pasifik
melalui tiga tahap yaitu: confidence building measures (CBM),
preventive diplomacy dan conflict resolution.
Dalam
penanganan bencana tsunami di kawasan Samudera Hindia, Pertemuan Tingkat
Menteri ARF ke-12 telah menyepakati untuk diaktifkannya kembali ARF
Intersessional Meeting on Disaster Relief (ISM on DR) yang sejak tahun
2000 sudah tidak aktif. Bagi Indonesia pengaktifan kembali ISM on DR
diharapkan mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Indonesia,
serta sekaligus untuk mengembangkan kemampuan dan kesiapan masyarakat
dalam menanggulangi bencana alam.
Pada
pertemuan ARF CBMs on Regional Cooperation in Maritime Security di
Singapura, 2-4 Maret 2005, Indonesia menekankan bahwa isu keamanan
maritim di Selat Malaka harus dilihat secara komprehensif dimana
diperlukan kerja sama di bidang capacity building dan burden sharing
antara negara pantai dan negara-negara pengguna. Berkaitan dengan hal
tersebut, Indonesia bersama Jepang menjadi co-chairs dalam pertemuan ARF
Workshop on Capacity Building on Maritime Security di Tokyo, 19-20
Desember 2005.
Indonesia
juga berperan aktif dalam pertemuan tahunan ARF Intersessional Meeting
on Counter Terrorism and Transnational Crimes (ISM CTTC) untuk kegiatan
pertukaran informasi intelijen dan peningkatan integritas dan keamanan
dokumen. Selanjutnya, Pada pertemuan ARF Seminar
on Cyber Terrorism di Cebu, Filipina, 3-5 Oktober 2005, Indonesia
mengemukakan bahwa tanggapan suatu negara terhadap ancaman cyber
terrorism bisa beragam karena perbedaan tingkat penguasaan dan
pemanfaatan, serta ketergantungan pada teknologi informasi dan tingkat
kesadaran terhadap ancaman cyber terrorism. Oleh karena itu. Indonesia
terus mendorong peningkatan kapasitas, alih teknologi, sosialisasi dan
pertukaran informasi.
4. Memperkuat
hubungan dan kerjasama bilateral, regional dan internasional di segala
bidang dan meningkatkan prakarsa dan kontribusi Indonesia dalam
pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat
multilateralisme.
Untuk melaksanakan pembangunan nasional, Indonesia memerlukan kondisi lingkungan regional dan internasional yang kondusif. Untuk tujuan tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam memperkuat kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme.
Untuk melaksanakan pembangunan nasional, Indonesia memerlukan kondisi lingkungan regional dan internasional yang kondusif. Untuk tujuan tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam memperkuat kerjasama bilateral, regional dan internasional dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme.
Dalam
kerangka upaya-upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, Indonesia
tetap konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina berdasarkan
Resolusi DK-PBB No. 242 (1967) dan No. 338 (1973), yang menyebutkan
pengembalian tanpa syarat semua wilayah Arab yang diduduki Israel dan
pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya
sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri dengan Al-Quds
As-Sharif (Jerusalem) sebagai ibukotanya serta prinsip “land for peace”.
Indonesia selalu menyambut baik upaya perdamaian yang sejalan dengan
resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan oleh baik PBB maupun OKI,
termasuk di antaranya Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993),
Sharm Al Sheikh (1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map) gagasan
quartet AS, Russia, PBB dan UE yang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai
jadwal.
Indonesia
mendukung prakarsa Quartet (AS-Rusia-UE dan PBB) dan mengharapkan kedua
negara dapat melaksanakan isi PJP secara baik sehingga konflik
Palestina – Israel yang telah berlangsung lebih dari setengah abad dapat
terselesaikan dan kedua negara dapat hidup berdampingan secara damai.
Dalam
kaitan ini, Indonesia mendukung senantiasa menyambut baik upaya
perdamaian di kawasan Timur Tengah yang sejalan dengan resolusi-resolusi
yang telah dikeluarkan oleh PBB maupun OKI, termasuk di antaranya
Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al Sheikh (1999)
serta “Road Map for Peace” yang diprakarsai oleh Kwartet (AS, Russia,
PBB dan Uni Eropa) sehingga tercapai pembentukan negara Palestina yang
merdeka. Indonesia mengharap negara-negara pemrakarsa Road Map untuk
terus mengupayakan agar Road Map tersebut dilaksanakan oleh kedua
negara, Palestina-Israel.
Presiden
Abdurahman Wahid pernah melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri
AS, Madelaine Albright dan Ketua Sinagog Yahudi di AS, dalam rangka
menjajagi kemungkinan Indonesia berperan sebagai mediator penyelesaian
damai konflik Arab – Israel. Namun, mendapatkan masukan negatif dari
Menlu AS, sementara Ketua Sinagog Yahudi hanya menyarankan agar
Pemerintah Indonesia menyosialisasikan kepada masyarakat muslim
Indonesia bahwa konflik tersebut bukan merupakan konflik antaragama. Di
samping itu, dalam masa pemerintahannya, Presiden Abdurahman Wahid telah
melontarkan wacana kemungkinan pemulihan hubungan perdagangan RI –
Israel, namun mendapatkan tantangan yang sangat keras dari masyarakat
Indonesia.
Dalam
rangka upaya mediasi penyelesaian konflik Palestina - Israel, Indonesia
mempertimbangkan untuk tidak hanya berbicara dengan Palestina saja,
namun juga dengan Israel dalam kapasitas informal dan low profile. Dengan
demikian, maka pertemuan informal Menlu RI dengan Menlu Israel yang
berlangsung di sela-sela Pertemuan Sidang PBB di New York bulan
September 2005 lalu dilaksanakan dalam konteks ini. Pertemuan dengan
Israel tersebut tidak berarti mengindikasikan adanya suatu pengakuan
diplomatik terhadap negara Israel. Pertemuan tersebut berlangsung dengan
sepengetahuan pihak Palestina dan dimaksudkan untuk memajukan
kepentingan Palestina.
Saat ini, Indonesia tengah berupaya untuk memberikan kontribusi positif dalam penyelesaian kasus nuklir di Korea Utara dan Iran.
5. Meningkatkan
citra Indonesia di masyarakat internasional sebagai negara demokratis,
pluralis, menghormati hal asasi manusia, dan memajukan perdamaian dunia.
Upaya
untuk meningkatan citra Indonesia di masyarakat internasional dilakukan
dengan promosi pariwisata dan budaya dengan berbagai negara di dunia. Selain
berbagai pembicaraan tingkat tinggi, Indonesia juga mendorong hubungan
antarmasyarakat atau disebut juga people-to-people contact terutama
melalui pelatihan pertanian, pertukaran kebudayaan dan beasiswa
seni-budaya.
Salah satu contoh adalah program penyuluhan budidaya padi oleh tenaga ahli pertanian RI di Fiji yang telah berlangsung dengan sukses dan mendapat sambutan luas dari masyarakat setempat sebagai awal dari produksi beras di Fiji. Sementara itu, program beasiswa seni-budaya telah memfasilitasi rakyat negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung dalam SWPD untuk mempelajari kesenian Jawa, Sunda dan Bali di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, maka untuk membina hubungan yang lebih erat dengan masyarakat Melanisia Pasifik, Pemerintah Indonesia nampaknya dapat mewujudkan berbagai skema kerja sama praktis dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, khususnya di bidang penegakkan hukum dan perluasan beasiswa yang tidak hanya mencakup SWPD tetapi juga negara-negara PIF (misalnya Kiribati, Tuvalu), serta peningkatan program penyuluhan pertanian yang tidak hanya melalui skema Kerja sama Teknik antara Negara-Negara Berkembang (KTNB) tetapi juga dengan memanfaatkan peluang kerja sama dengan negara-negara donor pihak ketiga. Promosi citra Indonesia ini juga dengan intensif dilakukan di seluruh belahan dunia.
6. Meningkatkan pelayanan dan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri serta melancarkan diplomasi kemanusiaan guna mendukung tanggap darurat dan rekontruksi Aceh dan Nias dari bencana gempa dan tsunami.
Salah satu contoh adalah program penyuluhan budidaya padi oleh tenaga ahli pertanian RI di Fiji yang telah berlangsung dengan sukses dan mendapat sambutan luas dari masyarakat setempat sebagai awal dari produksi beras di Fiji. Sementara itu, program beasiswa seni-budaya telah memfasilitasi rakyat negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung dalam SWPD untuk mempelajari kesenian Jawa, Sunda dan Bali di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, maka untuk membina hubungan yang lebih erat dengan masyarakat Melanisia Pasifik, Pemerintah Indonesia nampaknya dapat mewujudkan berbagai skema kerja sama praktis dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, khususnya di bidang penegakkan hukum dan perluasan beasiswa yang tidak hanya mencakup SWPD tetapi juga negara-negara PIF (misalnya Kiribati, Tuvalu), serta peningkatan program penyuluhan pertanian yang tidak hanya melalui skema Kerja sama Teknik antara Negara-Negara Berkembang (KTNB) tetapi juga dengan memanfaatkan peluang kerja sama dengan negara-negara donor pihak ketiga. Promosi citra Indonesia ini juga dengan intensif dilakukan di seluruh belahan dunia.
6. Meningkatkan pelayanan dan perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri serta melancarkan diplomasi kemanusiaan guna mendukung tanggap darurat dan rekontruksi Aceh dan Nias dari bencana gempa dan tsunami.
Dalam
rangka diplomasi kemanusiaan, Indonesia berhasil mengadakan tsunami
summit di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2005 berkenaan dengan bencana
gempa bumi dan tsunami yang melanda beberapa negara di Kawasan Asia.
Pertemuan ini bertujuan untuk menghasilkan penyelesaian secara
transparan dan konkret dalam rangka membantu para korban yang sangat
membutuhkan pertolongan dengan cepat. Masalah yang dibicarakan dalam
pertemuan ini menyangkut beberapa hal seperti: bagaimana cara mengurangi
beban bagi negara-negara yang terkena musibah tersebut; bagaimana cara
pencegahan yang tepat untuk mengurangi angka kematian bilamana terjadi
bencana yang serupa di masa yang akan datang; bagaimanakah peranan PBB
beserta organisasi internasional lainnya; langkah-langkah apa yang mesti
ditempuh untuk memastikan penggalangan dana yang berkelanjutan; serta
bagaimana cara mengembangkan sistem peringatan dini yang efektif di
kawasan negara-negara yang rawan bencana.
Pertemuan
tersebut telah membangkitkan munculnya bantuan kemanusiaan masal dari
masyarakat internasional, dimana salah satunya tercermin dari penawaran
debt moratorium bagi Indonesia. Untuk memastikan efektifitas dari
perolehan sumbangan, Pertemuan meminta PBB untuk menggerakkan dukungan
internasional, dan menunjuk perwakilan khusus dari Sekretariat PBB untuk
meningkatkan koordinasi antar negara-negara donor, organisasi
internasional dan organisasi non-pemerintah dalam memberikan bantuan
kepada pemerintah negara yang tertimpa musibah.
Diplomasi
kemanusiaan tersebut berfokus pada usaha diplomasi Indonesia yang
bertujuan untuk membangkitkan serta memelihara nilai-nilai etis dan
kemanusiaan dalam hubungan internasional, mempromosikan solidaritas
global dan mendorong perasaan “kekitaan” antar negara serta pada
akhirnya adalah mengaktualisasikan usaha bersama dalam mengatasi tragedi
kemanusiaan.
7. Melanjutkan
benah diri untuk peningkatan kapasitas kelembagaan, budaya kerja dan
profesionalisme pelaku diplomasi serta peranan utama dalam koordinasi
penyelenggaraan kebijakan dan hubungan luar negeri.
Berbagai perencanaan kegiatan diplomasi di masa yang akan datang harus didukung dengan tata kelembagaan yang kuat dan kapasitas mesin diplomasi yang memadai baik dari segi sarana maupun sumber daya manusia yang berkualitas, dengan selalu menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Berbagai perencanaan kegiatan diplomasi di masa yang akan datang harus didukung dengan tata kelembagaan yang kuat dan kapasitas mesin diplomasi yang memadai baik dari segi sarana maupun sumber daya manusia yang berkualitas, dengan selalu menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Disamping
melanjutkan proses penataan kelembagaan, Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia akan terus memberikan perhatian dalam upaya
menciptakan tertib fisik, administrasi, keuangan dan tertib waktu.
Selain itu, pembenahan pengamanan jaringan komunikasi juga sangat
diperlukan guna menciptakan misi diplomatik yang aman.
Kesimpulan
Kesimpulan
Sumber : P3K2 Aspasaf
http://ditpolkom.bappenas.go.id/?page=news&id=31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar