LIPUTANSATU.COM - Prof Dr Mohammad Mahfud MD SH SU
menegaskan jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal konstitusionalitas hak dan/atau
wewenang legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak
terealisir atau tidak terlaksana, maka persoalannya bukan yuridis, tapi
politis. Juga psikopolitis, karena terjadi situasi di dalam fraksi partai-partai
yang tingkat penerimaan (acceptance)
atau tingkat penolakan (resistance) berbeda-beda
terhadap putusan MK tersebut sebagai salah satu sumber hukum setingkat undang-undang.
“Kalau yuridis, sudah selesai. Persoalan
ini politis, psikopolitis juga. Putuan MK itu tafsir resmi konstitusi. Putusannya
sama dengan sebuah UU. Begitu ditetapkan, putusannya masuk lembaran negara. Tidak
perlu eksekutor. Langsung berlaku, mengikat. Tapi kalau politis, tergantung
perkembangan situasi. Di luar kemampuan MK,” mantan Ketua MK periode 2008-2011
dan 2011-2013 itu mengatakannya dalam rapat dengar pendapat umum (RPDU) Panitia
Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/4).
Narasumber lainnya adalah Dr Valina
Singka Subekti MSi [dosen ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Indonesia (FISIP UI), mantan
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP)], dan Prof Dr Satya Arinanto SH [dosen hukum tata
negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI)].
Mahfud melanjutkan, amandemen kelima
UUD 1945 yang sekaligus memperkuat DPD tidak realistis secara politis saat ini
karena fraksi partai-partai masih menolak usulan DPD. “Secara politis, tidak
realistis gagasan amandemen yang diidealkan DPD dan sejumlah pakar/ahli. (Fraksi)
partai-partai masih menolaknya. Bukan hanya DPD yang jadi isu pembahasan, tapi
keseluruhannya. Perkembangan politik, apalagi akhir-akhir ini, semakin tak
karuan. Sehingga, kita harus berpikir keras meluruskan kembali arah reformasi. Kecenderungannya
lebih buruk.”
Dalam kesempatan tersebut, dia menegaskan
bahwa kisruh kewenangan antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) dan DPD bersumber pada hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang distortif (terjadi pemutarbalikan, atau penyimpangan)
sejumlah pasal, ayat, dan bagiannya. Misalnya, mengenai kekuasaan membentuk
undang-undang (UU). Pasal 20 UUD 1945 menyatakan DPR memegang kekuasaan
membentuk UU, Pasal 5 UUD 1945 menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan
undangundang (RUU) kepada DPR, sementara 20 UUD 1945 menyatakan DPR dan
Presiden membahas RUU untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 20 UUD
1945 tidak menyertakan DPD membahas RUU untuk mendapat persetujuan bersama karena
selama pembahasan amandemen kesatu (perubahan kesatu) UUD 1945 belum muncul
keinginan membentuk lembaga perwakilan di samping DPR.
Keinginan membentuk DPD muncul kemudian
selama pembahasan amandemen ketiga (perubahan ketiga) UUD 1945. Sayangnya,
karena amandemen UUD 1945 bersifat adendum, maka amandemen ketiga tidak serta
merta mengubah ketentuan DPR memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 UUD
1945) menjadi DPD bersama DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Adendum berarti
penambahan dan pengurangan atau perubahan klausul pasal, ayat, dan bagian UUD
1945 yang mempertahankan naskah asli (Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 hasil
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959) dan naskah perubahan UUD 1945 melekat pada
naskah aslinya.
Karena itu, penguatan fungsi, tugas,
dan wewenang DPD muncul belakangan melalui amandemen kelima UUD 1945 sebagai usulan
DPD. Alasannya, kalau DPD hanya dapat mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas
RUU tertentu, dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, serta menyampaikan
hasil pengawasannya kepada DPR maka pembentukan DPD terlalu mubazir. Tapi,
(fraksi) partai-partai menolak penguatan DPD. “Kita membentuk DPD kan tidak
hanya untuk itu. Terlalu mubazir. Tapi (fraksi) partai-partai nggak mau. Di
luar pandangan politik, dunia akademis mendukung penguatan DPD. Semuanya
mendukung. Logikanya masuk.”
Lalu, DPD mengajukan judicial review (uji materiil) untuk
mendapat penafsiran konstitusionalitas fungsi, tugas, dan wewenang DPD terhadap
pematerian UU karena hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan.
Terbukti memang sejumlah UU menegasikan bahkan mereduksi konstitusionalitas hak
dan/atau wewenang legislasi DPD. Jika tetap saja DPD tidak ikut membahas RUU
tertentu maka DPD mengajukan judicial
review (uji formiil). Jadi, judicial
review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri atas pengujian
secara materiil (uji materiil) dan pengujian secara formil (uji formil). “Kalau
suatu saat ada RUU yang seharusnya ikut dibahas bersama, tapi DPR mengabaikan
DPD, maka DPD bisa mengajukan gugatan judicial
review (uji formiil). Kalau terbukti prosedurnya salah, batal semua UU itu.
Mestinya ini warning bagi DPR.”
Agar UU yang berlalu juga tidak distortif,
dalam putusannya MK menyatakan, DPD ikut serta mengajukan RUU tertentu, membahas
RUU tertentu, dan mengambil keputusan RUU tertentu kecuali persetujuan bersama.
“Inilah jalan tengah. MK kan penafsir konstitusi atau memberi tafsir baru agar
konstitusi hidup. Tafsiran MK, DPD secara institusi sejajar DPR dan Presiden
dalam membahas RUU tertentu. DPD tidak sejajar fraksi partai-partai. ”
Dalam pengantarnya, Ketua Pansus
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) Prof Dr John Pieris SH MH (senator
asal Maluku) menegaskan, RUU MD3 tergolong Prolegnas Prioritas Tahun 2015 rumpun
daftar kumulatif terbuka sebagai konsekuensi putusan MK ihwal
konstitusionalitas fungsi, tugas, dan wewenang legislasi DPD RI. "Oleh
karena itu, dalam pembahasannya kami harus terlibat bersama DPR RI dan Presiden
(Pemerintah). Pembuat putusan bersejarah itu Pak Mahfud."
Dia menambahkan, ketentuan pasal,
ayat, dan bagian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang pengesahannya
pasca-putusan MK sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 masih menegasikan
bahkan mereduksi konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD. Kendati
amar putusan MK menegaskan konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD,
pada praktiknya DPD tidak terlibat seluruhnya dalam pembahasan RUU tertentu.
Fraksi-fraksi DPR yang menolak itu beralasan,
keterlibatan DPD hanya menyebabkan penyusunan RUU tertentu memakan waktu lama.
Padahal, pembahasan RUU tertentu bersama DPR justru memakan waktu lama karena
fraksi-fraksi tidak bisa satu suara. Sebab, mereka masih mempertahankan keterlibatan
10 fraksi selama pembahasan RUU tertentu dalam rapat bersama DPD dan Presiden
(Pemerintah). “Ternyata mereka tidak menghargai dan menghormati putusan MK itu,”
John menyesalkan.
Siaran pers ini
dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan
dan Media Visual
DPD RI
Penanggungjawab:
Mahyu Darma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar