Rabu, 27 Juni 2018

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan

"Negara Harus Memprioritaskan Penegakan Hukum, dan Perlindungan Hak
Warga Ahmadiyah Atas Rasa Aman dari Ancaman Penyerangan dan Diskriminasi
Sejak Tahun 1998 Hingga Sekarang"

Jakarta, 21 Mei 2018


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mengecam keras tindakan penyerangan dan vandalisme terhadap komunitas
Muslim Ahmadiyah yang kembali berulang di Dusun Grepek Tanat Eat, Desa
Greneg, Kecamatan Sakra Timur Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat (NTB), pada tanggal 19-20 Mei 2018. Berdasarkan pengaduan yang
diterima Komnas Perempuan dari Perwakilan warga Ahmadiyah yang menjadi
korban penyerangan, bahwa penyerangan tersebut dalam bentuk pengusiran,
ancaman dan intimidasi, perusakan rumah penduduk, setidaknya menimpa 7
kepala keluarga Ahmadiyah, 6 (enam) rumah rusak, 4 sepeda motor rusak
berat, peralatan rumah tangga dan barang-barang elektronik hancur. 24
penduduk tersebut terdiri dari orang dewasa, lanjut usia (lansia)
dan anak-anak, sehingga terpaksa di evakuasi di Kantor Polres Lombok
Timur. Meskipun indikasi akan adanya kekerasan dan penyerangan ini sudah
dilaporkan oleh komunitas Muslim Ahmadiyah sejak Maret 2018 kepada
aparat kepolisian, namun sangat disayangkan mengapa aparat keamanan
setempat tidak berhasil mencegah aksi-aksi intoleransi ini.

Komnas Perempuan mencatat penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di NTB
terjadi sejak 20 tahun yang lalu (Oktober 1998), dan terus berlangsung
dengan tingkat eskalasi tinggi yang berujung pada pengusiran di tahun
2005 hingga tahun 2006, sehingga memaksa Jemaat Ahmadiyah mendiami
pengungsian di Transito dan Praya.  Mereka menjadi korban atas tindakan
kelompok-kelompok intoleran yang tidak hanya melakukan penyerangan
secara fisik seperti perusakan tempat ibadah, penghancuran rumah,
pengusiran, pemukulan bahkan pembunuhan, tetapi juga kekerasan non-fisik
seperti pelarangan beribadah, penyegelan tempat ibadah, caci-maki dan
berbagai tindakan pelecehan seksual. Bahkan sampai saat ini dua tempat
pengungsian bagi Jemaat Ahmadiyah yaitu Transito dan Praya menjadi
tempat pengungsian panjang yang pernah terjadi di Indonesia
(2006-sekarang). Artinya sudah 12 tahun Jemaat Ahmadiyah di NTB menjadi
pengungsi di Transito karena ketidakpastian jaminan keamanan dan
perlindungan sebagai warga negara. Atas kondisi tersebut 5 lembaga yaitu
3 Lembaga Nasional HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan KPAI),  LPSK, dan
ORI telah merekomendasikan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan Daerah.

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan terhadap berbagai kasus
Ahmadiyah di NTB, dan juga yang terjadi di wilayah lainnya di Indonesia
seperti di Manis Lor (Jawa Barat), Cikeusik, Bekasi, dan NTB, aksi-aksi
intoleransi terhadap kelompok minoritas agama ini menimbulkan dampak
yang berkepanjangan buat kehidupan perempuan. Meskipun korban laki-laki
juga mengalami kesengsaraan dan penderitaan yang sama, namun perempuan
berhadapan dengan kerentanan khusus akibat peran gender yang
dimainkannya baik dalam perannya sebagai perempuan,  istri,  ibu dan
sebagai anggota masyarakat.

Pengalaman para perempuan dari minoritas agama, termasuk didalamnya
Ahmadiyah didokumentasi dalam beberapa laporan, antara lain dalam
"Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan
Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak
Konstitusional Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (2014)". Kekerasan
terhadap perempuan karena konflik berbasis keyakinan, diantaranya:

1.Mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual (pemaksaan perceraian,
kawin gantung karena beda keyakinan, ancaman perkosaan, stigma dan
pelabelan sebagai perempuan tidak baik saat antar anak ke sekolah);
2.Kehilangan rasa aman, ketakutan gagal melindungi anak-anak dan
khawatir akan pendidikan serta masa depan anak-anak;
3.Terkoyaknya relasi sosial baik dalam konteks keluarga maupun tetangga
sebagai ruang sosial perempuan;
4.Gangguan kesehatan utamanya kesehatan reproduksi;
5.Kesulitan mengakses bantuan Pemerintah dan Hak-hak Adminduk (KTP, akte
nikah, akte lahir, dll);
6.Kehilangan mata pencaharian dan tercerabutnya sumber-sumber
penghidupan (pemindahan tempat kerja ke wilayah yang jauh, sulit
mendapatkan mata pencaharian);
7.Kondisi permukiman (housing) yang buruk karena tinggal di pengungsian
yang sempit dan tidak manusiawi.

Berbagai kondisi di atas, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan maupun
pembiaran kebijakan yang langsung atau tidak langsung yang mengukuhkan
diskriminasi, salah satunya PNPS No.1 tahun 1965, (SKB) Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (Nomor 3 Tahun 2008, Nomor
KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008) tentang peringatan dan
perintah kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran mereka ke masyarakat.  Pasca
SKB tersebut, puluhan peraturan daerah bermunculan untuk melarang
kegiatan Jemaat Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu
dipersubur dengan berbagai pandangan keagamaan atau ujaran penyesatan
yang memperburuk intoleransi dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Akibatnya, penyerangan, pelarangan  tempat ibadah  dan kekerasan
terus-menerus terjadi.

Kasus penyerangan terhadap komunitas Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur
ini menambah potret buram situasi kehidupan keagamaan yang diwarnai oleh
kekerasan dan tindakan intoleransi. Peristiwa ini seharusnya dapat
diantisipasi segera oleh Pemerintah Daerah dan Aparat Keamanan,
mengingat ancaman penyerangan dan diskriminasi yang terus berlangsung di
NTB pada Jemaat Ahmadiyah. Untuk itu, Komnas Perempuan menyatakan sikap:
1.Meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memprioritaskan
pemenuhan HAM dan Hak Konstitusional warga Ahmadiyah dengan segera,
karena sejak tahun 2006 telah terabaikan, termasuk hak atas rasa aman
dan bebas dari ketakutan;
2.Meminta Negara untuk tidak tunduk terhadap kelompok-kelompok
intoleran, menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi Jemaat
Ahmadiyah dan melakukan penanganan komprehensif bagi para korban
intoleransi, dengan perhatian khusus pada kerentanan perempuan sesuai
dengan UU Penanganan Konflik Sosial;
3.Mendesak aparat keamanan setempat untuk bersikap pro aktif dalam
menjalankan kewajibannya memberikan perlindungan dari tindak intoleransi
kepada warga Ahmadiyah di Lombok Timur, dan segera melakukan penegakan
hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pengrusakan;
4.Meminta Pemerintah Daerah Lombok Timur dan Gubernur NTB untuk
memberikan pemulihan komprehensif kepada para korban, segera membangun
rumah-rumah Jemaat Ahmadiyah yang rusak dan hancur agar para pengungsi
bisa segera kembali ke rumahnya dan melanjutkan kehidupan mereka secara
baik dan tenang;
5.Meminta pemerintah daerah, aparat keamanan, tokoh masyarakat untuk
bersama-sama mencegah terjadinya konflik yang melebar, memberikan
pengertian kepada masyarakat untuk membangun dialog antar warga dan
menjauhi cara-cara kekerasan;
6.Meminta elit-elit politik untuk menghentikan praktik politisasi agama
dalam menggalang dukungan publik, terutama menjelang Pilkada, Pemilu dan
Pilpres;
7.Menghimbau segenap masyarakat untuk menyebarkan kultur dan nilai-nilai
keagamaan yang toleran, apalagi di bulan suci Ramadhan dimana seharusnya
nilai-nilai perdamaian, kasih-sayang, nilai-nilai kemanusiaan menjadi
spirit dari mereka yang menjalankan ibadah puasa. 


Narasumber:

Imam Nahe’i, Komisioner (0823-3534-6591)
Khariroh Ali, Komisioner (081284659570)
Magdalena Sitorus, Komisioner (0811-8357-49)

Area lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar