Selasa, 15 Mei 2012

RTRW Belum Menjadi Acuan Perencanaan Pembangunan

Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor (IPB) Setia Hadi mengatakan rencana tata ruang wilayah (RTRW), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tidak menjadi acuan perencanaan pembangunan. Penyebabnya antara lain kecepatan penyusunannya yang terlambat dibanding kegiatan pembangunan, status kawasan yang bermasalah, dan pengaruh kepentingan penguasa.
“Masyarakat, jangankan grassroot di daerah, di pusat saja belum banyak yang sadar tata ruang. Zaman Pak Harto (Soeharto), perencanaan pembangunan kerap mengabaikan spasial, menekankan sektoral, walaupun banyak dokumen tata ruang,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komite I DPD yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penataan Ruang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5). Acara dipimpin Wakil Ketua Komite I DPD Paulus Sumino (senator asal Papua).
Sayangnya, proses perencanaan pembangunan di daerah melalui rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi atau musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tidak menjadikan tata ruang sebagai acuan. Padahal, rakorbang atau musrenbang menjadi forum tahunan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mematangkan rancangan rencana kerja (renja) pembangunan daerah yang mengompilasi rancangan renja satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
“Dulu rakorbang, sekarang musrenbang, tidak membuka peta tata ruang. Dokumennya disimpan di lemari; tidak disosialisasikan, diumpetin. Padahal, rakorbang atau musrenbang yang dua tiga hari itu membahas rencana investasi satu tahun berikutnya,” ujarnya. Celakanya, kekeliruan yang tidak menjadikan tata ruang sebagai acuan perencanaan pembangunan itu tidak segera diperbaiki tetapi justru melegalkan dan mengikuti tren penyimpangan pemanfaatan tata ruang.
Narasumber lain, pengajar planologi Universitas Trisakti Yayat Supriatna menjelaskan beberapa fenomena “salah urus tata ruang” seperti banjir dan longsor, ketidakharmonisan antara tata ruang dan jalur transportasi sehingga menyebabkan kemacetan, abrasi dan rob di pantai, daerah aliran sungai terdegradasi, perluasan kawasan kumuh, ritel besar dan kecil berdiri di sekitar pasar tradisional dan permukiman penduduk, serta konflik izin usaha perkebunan, pertambangan, dan kehutanan versus hak ulayat (adat) masyarakat.
“Fenomena akibat bencana alam dan degradasi lingkungan itu terus-terusan terjadi, yang membuktikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang belum menjamin keselamatan warga. Pokok masalahnya ialah bagaimana menyelenggarakan tata ruang yang bersinergi dengan perencanaan pembangunan, sehingga penyelenggaraan penataan ruang menjamin keselamatan warga,” ucapnya.
Menurutnya, akar masalahnya ialah berbagai faktor yang saling terkait seperti disharmoni regulasi, disharmoni program, disharmoni kepentingan pusat-daerah, penegakan hukum yang lemah, ketidakefektifan koordinasi antarpemangku kepentingan, konflik kepentingan, dan kondisi sosial budaya. Kerangka konseptual penyelesaiannya antara lain mempercepat pengesahan peraturan daerah (perda) RTRW kabupaten/kota dan provinsi.
Persoalannya, per tanggal 11 Mei 2012 hanya 13 provinsi yang menetapkan RTRW-nya menjadi perda atau 39,4 persen dan 20 provinsi yang substansi RTRW-nya disetujui Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Selanjutnya, 106 kabupaten yang menetapkan RTRW-nya menjadi perda atau 26,6 persen dan 249 kabupaten yang substansi RTRW-nya disetujui Kementerian PU serta 34 kota yang menetapkan RTRW-nya menjadi perda atau 36,6 persen dan 37 kota yang substansi RTRW-nya disetujui Kementerian PU.
Kegagalan target penyusunan perda tata ruang itu tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang menyebut bahwa tiga tahun setelah pengesahkannya semua kabupaten/kota dan provinsi harus memiliki RTRW dan menetapkan RTRW-nya menjadi perda. Kendalanya antara lain konflik batas wilayah (hutan, daerah), konflik pengelolaan sumberdaya alam (hulu-hilir), konflik kebijakan antara kabupaten/kota dan provinsi, serta kepala daerah tersangkut kasus pidana.


Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat Jenderal DPD
                           
Penanggungjawab:
M Linda Wahyuningrum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar