Senin, 16 Februari 2015

Belum Semua Pemerintah Daerah Membentuk BPBD

Belum semua pemerintah daerah, utamanya kabupaten/kota, membentuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Padahal, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam rangka review politik kebencanaan, DPD RI ingin meningkatkan kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk bahaya bencana, selain menghasilkan pokok-pokok pikiran yang berskala nasional, dan alokasi dana tahun 2016 untuk daerah rawan bencana sebagai masukan kepada eksekutif.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Prof Dr Irjen Pol (Purn) Farouk Muhammad Syechbubakar menyatakan antara DPD RI dan BNPB memiliki kepentingan yang beririsan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti penetapan kebijakan pembangunan yang selaras dengan kebijakan pembangunan nasional. Penanggulangan bencana bertujuan antara lain untuk memberikan pelindungan kepada masyarakat, menyelaraskan peraturan perundang-undangan, serta menjamin penanggulangan bencana yang terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

“DPD RI dan BNPB memiliki kepentingan yang sama, dan DPD RI makin menyadari kepentingannya untuk mendorong penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah-daerah melalui politik kebencanaan,” senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskannya dalam executive brief yang membahas sosialisasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bersama Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ir Dody Ruswandi MSCE, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja, dan Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Bambang Sulistianto di ruangan rapat pimpinan DPD RI lantai 8 Gedung Nusantara III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/2).

Dalam kesempatan tersebut, Farouk menyinggung tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk pelindungan atas bencana alam. Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memuat penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana yang arah kebijakan dan strategi pembangunannya menyangkut mitigasi, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

“Kita harus review politik kebencanaan selama ini menuju Indonesia yang tangguh bencana,” dia menyambung. Dalam rangka review politik kebencanaan itu, DPD RI ingin menghasilkan masukan kepada eksekutif, yaitu pokok-pokok pikiran yang berskala nasional, alokasi dana tahun 2016 untuk daerah rawan bencana, serta meningkatkan kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk bahaya bencana.

Khusus untuk menuju Indonesia yang tangguh bencana, khususnya kemampuan daerah dalam menanggapi dampak buruk bahaya bencana, sumber masalahnya ternyata di level pemerintah daerah seperti alokasi dana bencana yang minim dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta pemerintah daerah yang kurang memberdayakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

“Mengenai kelembagaan dalam penanggulangan bencana, pemerintah daerah kurang memberdayakan BPBD. Pemberdayaannya tidak optimal. Akibatnya, makin fatal dampak buruk bencana di daerah tergolong rawan bencana yang meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.” Padahal, suatu wilayah tergolong rawan bencana jika kondisi geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi mengurangi kemampuan daerah bersangkutan dalam mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuannya menanggapi dampak buruk bahaya bencana.

Menurutnya, sekitar 80 persen kabupaten/kota termasuk kawasan risiko tinggi terhadap berbagai ancaman bencana. Kejadian bencana selalu menimbulkan risiko korban jiwa dan kerugian ekonomi, dan akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pembangunan apabila risiko bencana tidak terkelola. Menghadapi peningkatan potensi ancaman dan kompleksitas ancaman bencana di masa nanti, maka sasaran penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana adalah meningkatnya ketangguhan masyarakat dalam menghadapinya.

Dalam masa reses nanti, para senator akan mendorong pemerintah daerah untuk memperhatikan kelembagaan dalam penanggulangan bencana, yaitu membentuk BPBD yang bertugas untuk melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya. “Kita akan menyelenggarakan rapat bersama gubernur dan jajarannya serta dewan perwakilan rakyat daerah. Kita tidak sekadar turun ke lapangan memberikan santunan lewat DPD RI Peduli, yang sifatnya taktis, tapi juga strategis.”

Dalam kesempatan tersebut, Dody Ruswandi menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Wewenang pemerintah meliputi antara lain penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, sedangkan wewenang pemerintah daerah meliputi antara lain penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya.

Persoalannya, belum semua pemerintah daerah membentuk BPBD. Pada tingkat provinsi, badan dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan pada tingkat kabupaten/kota, badan dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Mengutip UU Penanggulangan Bencana, dia menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah daerah provinsi merapat ke daerah bencana untuk memberikan dukungan dengan mengerahkan seluruh sumberdaya di wilayahnya jika diperlukan. Sementara pemerintah memberikan bantuan sumberdaya jika tidak tertangani daerah. “Pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi penanggung jawab utama di wilayahnya.”

“Setelah berumur 6 tahun, sejak diundang-undangkan tanggal 26 April 2007, BNPB mencatat beberapa pembelajaran. Kami ingin salurkan pembelajaran ini ke pemerintah daerah. Kami menyadari, penanggulangan bencana di daerah belum sempurna karena menyangkut kelembagaan dalam penanggulangan bencana. Faktanya, beberapa pemerintah kabupaten/kota belum membentuk badan penanggulangan bencana daerah. Padahal, wilayahnya terletak di daerah rawan bencana.”

Dody memaparkan tren bencana yang meningkat. Misalnya tahun 2014, terjadi 1.475 kejadian bencana yang menyebabkan 561 korban meninggal dan hilang, 2,65 juta jiwa menderita dan mengungsi, 50.883 unit rumah rusak, 430 ribu rumah terendam banjir, dan ratusan fasilitas umum rusak. “Kalau kita menghitung akibat tanggungannya, sungguh besar. Jadi, sungguh pantas kalau kita fokus memperhatikan dampak bahaya bencana, khususnya oleh pemerintah daerah,” dia menyatakan.  

Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, dia menandaskan, pelaksananya meliputi prabencana (pencegahan dan kesiapsiagaan), saat bencana (tanggap darurat), dan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Untuk tahap saat bencana (siaga darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat ke pemulihan), setiap rencana operasi harus memberikan kemudahan akses komando, dana siap pakai, penyelamatan, pengerahan sumberdaya, perizinan, dan pengadaan barang jasa.

Rapat tersebut tindak lanjut atas perhatian khusus DPD RI kepada daerah-daerah yang geografisnya tergolong rawan bencana alam seperti longsor dan banjir. Perhatian khusus, karena peristiwa karena faktor alam mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, yang semuanya berdampak psikologis.

Sebelumnya di lokasi yang sama, Wakil Ketua DPD RI rapat bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif , Sekretaris Utama Badan Search and Rescue (SAR) Nasional (Basarnas) Max Ruland Baseke, serta pelaksana tugas (plt) Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Widada Sulistya. DPD RI bersama BNPB, Basarnas, dan BMKG menyadari wilayah negara Republik Indonesia yang situasi dan kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografisnya memungkinkan terjadinya bencana alam, utamanya karena faktor alam, yang menyebabkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan berdampak psikologis sehingga untuk keadaannya tertentu justru menghambat pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar