Senin, 09 Maret 2015

Jogja Contemporary mengundang anda pada Pembukaan Pameran


cordially invite you to the Opening of
THE NENEK PROJECT
Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID]

Selasa, 10 maret 2015. 19.00 wib
Tuesday, 10 March 2015, 7 pm

Jogja Contemporary, Kompleks JNM, Jl. Amri Yahya 1 Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta


       Melalui The Nenek Project, Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] berupaya  untuk mempelajari praktek-praktek dan teknik budaya nenek-nenek. Mereka meluangkan waktu untuk mengumpulkan dan berusaha memahami kekayaan narasi dari kunjungan, wawancara dan ‘nongkrong’ dengan dua orang nenek dan enam orang ibu dari anggota lifepatch. Beberapa nenek menceritakan kepada Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] kelompok atau organisasi perempuan dimana para nenek ini berpartisipasi didalamnya dan bagaimana melalui kelompok-kelompok ini mereka menjalin persahabatan dan saling membantu. Kebanyakan dari mereka mengangap kelompok sebagai sarana untuk menjadi lebih kreatif dan bersenang-senang (iseng-iseng aja).
          Meskipun demikian pengaruh dari sisa-sisa rezim Orde Baru masih bertahan dalam kelompok perempuan selama era pasca-Soeharto.  Ideologi negara-keibuan masih sangat berhubungan dengan kelompok-perempuan dan  digunakan untuk memastikan bahwa kelompok-perempuan berfungsi sebagai alat "seleksi dan kontrol".
          Rezim Orde Baru juga dikenang sebagai era dari perkembangan kelas menengah perkotaan, mencakup hampir setengah dari penduduk Indonesia. Harapan mereka untuk keberhasilan perekonomian dan kemajuan nasional hancur ketika perekonomian Indonesia runtuh ketika terjadi krisis keuangan di Asian 1997/1998.  Konsekuensi tekanan perekonomian tidak lepas dari aspek sosial budaya dan politik yang dijalani dan dialami oleh orang Indonesia. Reformasi 1998 menyebabkan kejengkelan dan kekecewaan dari kelas menengah perkotaan, hal ini menyebabkan beberapa diantaranya terpaksa untuk memilih praktek-praktek Do-It-Yourself (DIY).
          Praktek DIY ini telah ada dan diturunkan dari satu ke generasi berikutnya sepanjang sejarah Indonesia.  Kolonialisme, penjajahan dan penindasan menyebabkab pentingnya untuk selalu berusaha memperbaiki kondisi yang memprihatinkan melalui kerjasama, bekerja kreatif, ter de-sentralisasi, memungkinkan muncul dan berkembangnya budaya "Oprek".  Tujuan utamanya  adalah mencari solusi konkret untuk tantangan kehidupan sehari-hari, pada saat yang sama perkembangan budaya "Oprek" memberi ruang untuk memprotes dan  melawan ketidakadilan sosial dan kronisme (KKN).
          Karena ibu-ibu dan nenek-nenek secara terus-menerus berkumpul dan bertemu  dalam kelompok-kelompok dan pertemuan Arisan untuk merayakan praktek  Do-It-Yourself (DIY) dan Do-It-With-Others (DIWO), mereka telah menciptakan komunitas dan sistem berbagi diantara mereka sendiri.
       Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] percaya bahwa cara mereka berkreasi dan membuat barang-barang, bersama-sama ataupun sendiri-sendiri, telah mendukung komunitas mereka dan memberikan  informasi tentang kondisi DIY  (dan juga seni) saat ini.
          Oleh karena itu THE NENEK PROJECT mencoba untuk menelusuri hubungan antara budaya kontemporer DIY (Do-It-Yourself) dan budaya generasi ibu-ibu yang lahir antara tahun 1934 dan 1954.  Kedua generasi DIY saling belajar, menginformasikan satu sama lain dan saling berhubungan pada berbagai tingkatan.  Kini mereka bersama-sama berjuang diantara de-sentralisasi, organisasi akar rumput mandiri dan top-down kontrol terpusat.
          Program ini didukung oleh: Austrian Embassy Jakarta, Bunderskanzleramt Osterrreich Kunst dan Lifepatch

----

       Through THE NENEK PROJECT,  Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] intend to learn the practices and cultural techniques of nenek-nenek. They spend time to collect and understand the rich narratives from field trips, interviews and nongkrong with two nenek and six mothers of lifepatch members.
       Many nenek-nenek told Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] about the various women groups they participate in and how through these groups they cultivate friendships and mutual self-help. Most of all they value the groups as platforms to become creative and have fun (iseng-iseng aja).
       Yet, the remnants of the New Order regime still persist within women groups during the Post-Suharto era. Ideologies of state-ibuism are still highly associated with women-groups and at times, are employed to ensure that these women-groups serve as instruments of "selection and control".
       The New Order regime is also remembered as an era of an expanding urban middle-class,  spanning once close to half of the population of Indonesia. Their hopes for economic success and national progress were shattered when Indonesia's economy was devastated during the Asian Currency Crisis 1997/1998. The ramifications of a distressed economy were not separated from the sociocultural and political aspects lived and experienced by Indonesians. The Reformasi of 1998 caused exasperated and disappointed cries of the urban middle-class, some of whom were forced to turn towards Do-It-Yourself (DIY) practices.
       These DIY practices had been alive and transferred from one to the next generation throughout Indonesian history. Colonialism, occupation and suppression had made it again and again necessary to improve miserable conditions through de-centralized, collaborative, creative work, allowing a vivid “Oprek” Culture to emerge and thrive. People's general aim was to find concrete solutions to daily life challenges, at the same time their evolving “Oprek” Culture gave room to protest and contest against social injustice and cronyism (KKN).
       Because Ibu-ibu and nenek-nenek persistently assembled in groups and Arisan gatherings to celebrate autonomous Do-It-Yourself (DIY) and Do-It-With-Others (DIWO) practices, they created their own community and system of sharing.
       Cindy Lin Kaiying [SG], Stefanie Wuschitz [AT], Lifepatch [ID] believe that their way of making and fabricating things – together or individually - supports their communities and strongly informs recent DIY (and art) scenes.
       Therefore THE NENEK PROJECT tries to trace relations between contemporary DIY (Do-It-Yourself) culture and the culture of the generation of ibu-ibu born between 1934 and 1954. The two DIY generations learn from each other, inform one another and are interconnected on many levels. They share an ongoing struggle between de-centralized, grassroots self-organization and centralized top-down control.
       The Program is supported by: Austrian Embassy Jakarta, Bunderskanzleramt Osterrreich Kunst dan Lifepatch.

--
____________________
Rismilliana Wijayanti
phone +62818260134
www.jogjacontemporary.net

EXHIBITION:
RE(PRO)KREASI
Anggar Prasetyo - Laksmi Shitaresmi
7 - 12 March  @ Balai Soedjatmoko Solo

THE NENEK PROJECT
Cindy Lin Kai Ying, Stefanie Wuschitz, Lifepatch
10 - 25 March

PRESENTASI WASH (Weekly Art Sharing)
27 - 29 March

Mailing Address:
Kompleks Jogja National Museum
Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1, Gampingan
Yogyakarta 55167
Indonesia

Open: Monday - Saturday 10.00 - 17.00








__._,_.___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar