Selasa, 15 April 2014

ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia Siap Dibuka Pada Selasa, 22 April 2014




Hitung mundur dimulai. Edisi kedua ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia akan dimulai pada Selasa, 22 April 2014 dengan resepsi pembukaan dan penayangan sebuah produksi terkini dari Indonesia, Jalanan yang disutradarai oleh Daniel Ziv. Selain film pembuka ini, 57 film lain dari negara-negara Asia Tenggara, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan banyak lagi menanti penonton selama minggu festival.

LIPUTANSATU - Semuanya bermula pada 2012 dengan sebuah proyek yang diberi nama DocNet Southeast Asia. Goethe-Institut dan Uni Eropa di Indonesia memulai proyek membangun jejaring untuk mendukung pembuatan film dokumenter di Asia Tenggara dan untuk menyatukan inisiatif-inisiatif lokal yang bervariasi yang telah lama ada di wilayah tersebut. Untuk menjadi puncak kegiatan dari proyek ini, penyelenggaraan suatu festival film dokumenter rasanya terlihat sebagai sebuah niat yang lumrah. Kemudian lahirlah edisi perdana  ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia pada Desember 2012 yang akan berlanjut tahun ini untuk merayakan cara menuturkan sebuah cerita dengan unik dan tajam. "Uni Eropa (EU) sangat bangga bisa menjadi bagian kelahiran ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia dan masih mendukungnya hingga hari ini. Pentingnya mendukung inisiatif-inisiatif kebudayaan telah lama menjadi fokus kebijakan-kebijakan pembangunan Uni Eropa. Hal ini sangat penting untuk membangun hubungan dan mendorong dialog antarbudaya di negara dan kawasan manapun,“ kata Franck Viault, Kepala Kerjasama Delegasi EU.

Lebih dari 247 film dari 49 negara diterima oleh tim ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia tahun ini. Hal ini menunjukkan betapa minat dan keterampilan pembuatan film dokumenter di Asia Tenggara telah terbangun lebih kuat. Lanskap film di kawasan ini semakin padat dengan proyek-proyek yang lebih kreatif yang membawa suara-suara yang tidak dapat diabaikan. Itulah apa menjadi tujuan festival ini menurut Katrin Sohns, Kepala Program Budaya Goethe-Institut di Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru. "Kami ingin menyediakan wadah untuk semua bakat-bakat yang ada di luar sana dan membuat film-film dokumenter dari Asia Tenggara bisa diakses lebih banyak pemirsa di seluruh dunia," kata Sohns dalam sebuah pernyataannya.

Dalam kategori Kompetisi terdapat dua kelompok film – International Competition dan Best SEA Shorts – yang akan bersaing untuk mendapatkan uang tunai senilai total 10.000 Euro.  Marc Eberle, direktur artistik ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia mengatakan, "Kami sangat puas dengan 12 film dokumenter panjang yang terseleksi tahun ini untuk kategori International Competition. Kami ditantang untuk memilih yang terbaik dari begitu banyak film yang menginspirasi. Juga 18 film berdurasi pendek di kategori Best SEA Shorts adalah film-film yang cerdas." Film-film terbaik dari kategori Kompetisi akan ditentukan oleh dua kelompok juri yang terdiri dari pembuat film dan akademisi dari Belanda, Filipina, Indonesia, Jerman, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sementara itu, kategori Non-Kompetisi terbagi menjadi empat program yaitu Docs Animated!, ChopShots Specials, Why Poverty? dan International Shorts.

Seluruh film yang terpilih mengangkat isu-isu aktual kawasan Asia Tenggara namun juga kisah-kisah pribadi yang luar biasa. Film pendek karya Aryo Danusiri (Indonesia) yang berjudul Flaneurs #3 dan film-film durasi panjang seperti War Is A Tender Thing karya Adjani Arumpac (the Philippines) dan Wukan: The Flame of Democracy yang disutradarai oleh Lynn Lee & James Leong (Singapura) menunjukkan lapisan-lapisan politik yang beragam yang saat ini diisi oleh entitas-entitas baru yang memiliki beragam kepentingan pula. Juga menjadi satu tema aktual kawasan ini adalah pertanyaan apakah keuntungan-keuntungan maksimal dari perspektif ekonomi harus diraih dengan mengorbankan prinsip-prinsip universal mengenai kesetaraan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyatnya. By the River karya Nontawat Numbenchapol (Thailand), A Life Forgotten karya Brian Chew (Malaysia) dan Children of Kubu yang disutradarai oleh Benny Sumarna (Indonesia) mengangkat isu ini dengan berfokus pada kerusakan-kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi akibat tindakan-tindakan pro-pembangunan. Sementara itu, beberapa film seperti The Cat That Lived a Million Times karya Tadasuke Kotani (Jepang) dan 9 Muses of Star Empire yang disutradari oleh Hark Joon Lee (Korea Selatan) memilih untuk melihat lebih dekat kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya sambil tetap merefleksikan apa yang tengah terjadi di masyarakat tempat tokoh-tokoh itu hidup.

Selain pemutaran film, DocNet Campus, sebuah pelatihan selama tujuh hari, juga akan dilaksanakan dalam rangka ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia. Tiga tutor internasional akan mengajar dan bekerja sama dengan 15 sineas terpilih asal Asia Tenggara. Di akhir pelatihan, sineas dengan proposal terbaik akan mendapat tunjangan perjalanan untuk menghadiri Sheffield Doc/Fest di Inggris. Tak ketinggalan, beberapa kelas master, kuliah umum dan bincang-bincang dengan tutor Docnet Campus, anggota dewan juri dan praktisi profesional di bidang film lainnya telah dirancang sebagai acara yang terbuka bagi umum. Sesi-sesi ini akan mengupas dan menambah wawasan pengunjung mengenai tren dan kecenderungan terkini terkait pembuatan film dokumenter. Acara pendamping lain yang tak kalah menarik dari festival ini adalah sebuah pameran berjudul  Early Images of Southeast Asia yang akan berlangsung di GoetheHaus pada 16-27 April 2014. Pameran ini akan menyuguhkan rekaman gambar bergerak paling awal yang pernah ada mengenai kawasan dan masyarakat Asia Tenggara.

Dua direktur pelaksana ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia, Lulu Ratna dan Amelia Hapsari menjawab pertanyaan tentang apa yang mereka harapkan untuk festival ini dan penonton Jakarta dengan semangat positif yang sama. “Film-film ini akan meninggalkan dampak yang mendalam pada penontonnya. Anda bisa tertawa, menangis, bersorak, dan merenungkan bagaimana kita hidup di planet ini," kata Amelia yang juga akan bertanggung jawab untuk semua program DocNet Campus. “Penonton film di Jakarta sejauh ini adalah penonton paling reseptif. Saya pikir, mereka selalu siap untuk dikejutkan dan akan merangkul segala jenis pengalaman baru yang unik. Dan tentu saja kesempatan untuk melakukan percakapan langsung dengan pembuat film, yang karyanya baru saja Anda lihat di layar, pasti menjadi bonus yang tidak bisa didapatkan setiap hari di kota ini,” kata Lulu.

   
 

---------- ENGLISH VERSION ----------



 




ChopShots Documentary Film Festival:
Set to Open on Tuesday, April 22, 2014

The countdown is on. The second edition of ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia opens on Tuesday, April 22, 2014 with the opening ceremony and a recent Indonesian production Jalanan by Daniel Ziv. In addition to the opening film, 57 other films from Southeast Asian countries, United Kingdom, Japan, South Korea, and many more will await audiences during the festival week.
*************************************************************


It was started in 2012 as a project called DocNet Southeast Asia. The Goethe-Institut and the European Union in Indonesia initiated a network-building project to support documentary filmmaking in Southeast Asia and to unite varied local initiatives in the region. As the most exciting part of the initiative, a documentary film festival seemed like a natural consequence. Then ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia was inaugurated in December 2012 and continues for the second time this year to celebrate the art of telling stories differently. "The European Union (EU) is very pleased to be associated with ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia. The importance of supporting cultural initiatives is highlighted in the EU development policy to build linkages and foster intercultural dialogues across countries and regions" said Franck Viault, Minister Counsellor of the Delegation of the EU, who is the main funding body behind DocNet Southeast Asia.

More than 247 films from 49 countries were received by the ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia team this year, showing how interest and skill in documentary filmmaking in Southeast Asia are on the rise. The region’s film landscape is getting denser with more creative projects, amplifying voices that cannot be neglected. That is exactly what the festival is about, according to Katrin Sohns, the Regional Head of Cultural Programmes of the Goethe-Institut in Southeast Asia, Australia and New Zealand. “We aim to provide a platform for all those talents out there and to make documentary film from Southeast Asia accessible to more viewers around the world,” Sohns said in a statement.

In the category Competition two groups of films – International Competition and Best SEA Shorts – will be competing for a total cash prize of 10.000 Euro.  Marc Eberle, artistic director of the ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia says, “We are very happy with this year's selection of 12 feature documentaries in the International Competition. It was a nice challenge to select from such a pool of strong films. Also the 18 Best SEA Shorts feature a multitude of powerful films.” The best films of the Competition will be chosen by two groups of jury, made up of filmmakers and academics from the Netherlands, the Philippines, Indonesia, Germany, Malaysia, Thailand, and Vietnam. In the Non - Competition category there will be four programs namely Docs Animated!, ChopShots Special, Why Poverty? and International Shorts.

The selected films raise current issues of the region as well as personal stories of extraordinary personalities. A short film by Aryo Danusiri (Indonesia) called Flaneurs #3 and the feature length films such as War Is A Tender Thing by Adjani Arumpac (the Philippines) and Wukan: The Flame of Democracy by Lynn Lee & James Leong (Singapore) show the many layers of politics, which are becoming more and more densely populated with emerging and conflicting interests. Also a trend in the region is the question whether major economic benefits should come at the expense of the principle of fair policy and universal values of equal rights and obligations between people and governments. By the River by Nontawat Numbenchapol (Thailand), A Life Forgotten by Brian Chew (Malaysia) and Children of Kubu by Benny Sumarna (Indonesia) highlighted this issue with focus on environmental damages caused by pro-development approaches. Meanwhile, some films like The Cat That Lived a Million Times by Tadasuke Kotani (Japan) and 9 Muses of Star Empire by Hark Joon Lee (South Korea) chose to take a closer look to personal lives and at the same time be reflective on what is going on within the society.

In addition to film screenings, DocNet Campus, a 7-day-training program will also be held during the ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia. Three international tutors will teach and work together with 15 carefully selected Southeast Asian filmmakers. At the end of the training, the best proposal will be awarded with a travel grant to Sheffield Doc/Fest in the UK. Several master classes and talks with Docnet Campus tutors, jury members and other invited film professionals are open to general public and will give insights about trends and tendencies in documentary filmmaking and media industry. Another interesting fringe event of the festival is an exhibition called Early Images of Southeast Asia that will take place in the GoetheHaus from April 16 to 27, 2014. It will present a rare collection of early moving images of Southeast Asia.

The two managing directors of the ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia, Lulu Ratna and Amelia Hapsari, answered to the question about what they hope for the festival and Jakarta’s audience with the same notes of positivity. “The films will leave a deep impact on you. You can laugh, cry, cheer, and reflect on how we live in this planet,” said Amelia who will also be in charge for all DocNet Campus programs. “Film audience in Jakarta is so far the most open one. I think they are always ready to be surprised and will embrace any kind of unique experience. And of course the chance to have a direct conversation with the filmmaker, whose work you just saw on the screen, is definitely an added bonus you cannot get every day in the city,” said Lulu.

For all media related inquiries please contact:

Dinyah Latuconsina
Telephone: +62-21-23550208 – 147 (Monday-Friday, 10:00 am – 05:00 pm)
Mobile: +6287878737514
Email: dinyah.latuconsina@jakarta.goethe.org

Further information on the ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia is available on these channels:
Website www.chopshots.net
Twitter: twitter.com/chopshotsfest
and Facebook: facebook.com/ChopShots

Tidak ada komentar:

Posting Komentar