Jumat, 07 Desember 2012

OUTSORCING PADA INDUSTRI ROKOK DAN DAMPAKNYA PADA KESEJAHTERAAN BURUH



Description: logo-PI_CMYK_kecil.jpg Tidak dapat dipungkiri, outsourcing yang sejatinya dimaksudkan utk membantu iklim usaha dan membuka lapangan kerja, pada praktiknya masih banyak disalahgunakan. Salah satu implikasi praktek outsourcing yg menyalahi aturan adalah berkurangnya hak-hak buruh baik dalam pengupahan maupun hak atas fasilitas kerja spt kesehatan, jamsostek dll. Implikasi yg lebih besar lagi adalah terjadinya persaingan usaha yg tdk sehat, dengan menakan biaya ternaga kerja demi menurunkan ongkos produksi. Praktik outsorcing ini juga terjadi pada industri rorkok yang banyak menyerap tenaga kerja. Penelitian yg dilakukan oleh Partisipasi Indonesia, sebuah organisasi nirlaba dengan salah satu fokus pada pemberdayaan buruh menemukan adanya dugaan praktik outsourcing yang melanggar aturan, yang berimplikasi pada eksplotasi buruh dan terciptanya persaingan usaha yang tidak kondusif pada industri ini.
Tidak dapat dipungkiri, industri rokok di Indonesia adalah sebuah industri besar yang menyerap hingga 30,5 juta tenaga kerja (on farm dan off farm). Dari sisi produksi, kenaikan rata-rata pertahun 4%,  mencapai 255,8 miliar batang (Kementerian Perindustrian; 2011). Keuntungan dari kepulan bisnis rokok ini tidak bisa dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pemain asing (PMA) yang tertarik masuk dalam industri rokok nasional. Saat ini, sebesar 37,2%  perusahaan rokok asing menguasai pangsa pasar rokok nasional. Sebut saja Phillip Morris (29%), British American Tobacco (8,2%) dan KT&G (Korea Tobacco & Ginseng Corporation), yang menguasai industri rokok dengan cara pembelian atau akuisisi.
Postur industri rokok nasional berbentuk oligopoli dengan dominasi beberapa pemain utama, seperti Sampoerna/Philip Morris Indonesia (29%), Gudang Garam (22%), Djarum (19,6%), dan Bentoel/BAT (8,8%), Nojorono (6,4%), dan sisanya sebanyak 15,6% adalah perusahaan menengah dan kecil. Secara nasional, jika dilihat jumlah pabrik rokok setiap tahunnya, memperlihatkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2008 jumlahnya sebanyak 1.132 dan turun menjadi 1.051 di tahun 2009, sementara 2010 sebanyak 1.045 perusahaan. Dari jumlah itu 53% sebaran industri rokok berada di Jawa Timur, yaitu 550 perusahaan. Sentra industri lainnya terdapat di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.  Dari jumlah sebaran pabrik rokok diberbagai daerah itu, terdapat sekitar 600.000 pekerja yang menggantungkan hidupnya sebagai buruh pabrik rokok.
Dari data diatas terlihat suatu kecenderungan konsentrasi pertumbuhan akan terjadi pada pemain dominan dalam postur industri rokok utama, dengan persaingan yang semakin ketat. Hal itu terungkap melalui fakta bahwa, disatu sisi kenaikan produksi rokok rata-rata mengalami kenaikan 4% setiap tahunnya, namun pada sisi yang lain jumlah industri rokok mengalami penurunan dari tahun-ketahun. Persaingan yang semakin ketat ini, membuka peluang para pelaku usaha untuk menerapkan strategi untuk tetap berperan dalam perluasan pasar.
Menarik untuk dicermati, dalam temuan penelitian ini, salah satu strategi Sampoerna aviliasi Philip Morris Indonesia, selain inovasi produk dan promosi, guna memperluas pasar dan meningkatkan produksi dengan metode berbiaya lebih murah, yaitu dengan menyerahkan produksi rokoknya pada pihak ketiga (Third Party Operation). Sistem kerjasama produksi ini disebut Mitra Produksi Sigaret (MPS), dengan penyerapan tenaga kerja cukup besar, sekitar 1.000-1.600 buruh yang didominasi perempuan. Saat penelitian ini dilaksanakan, Sampoerna memproduksi rokok kretek dengan mempergunakan 38 MPS yang tersebar di Pulau Jawa, yang  secara keseluruhan memiliki lebih dari 60.000 orang karyawan. Sementara  jumlah ‘karyawan tetap’ Sampoerna yang mengoperasikan delapan pabrik rokok (6 pabrik sigaret kretek tangan/SKT dan 2 pabrik sigaret kretek mesin/SKM) dan mendistribusikan melalui 65 kantor penjualan di seluruh Indonesia hanya sekitar 28.300 orang (Laporan Tahunan 2011).
Dengan menerapkan MPS ini maka kapasitas produksi Sampoerna bisa ditingkatkan signifikan tanpa investasi baru untuk perluasan lahan dan membangun pabrik, gudang dan perlengkapan kantor, termasuk masalah perburuhan (upah, tunjangan dan hak ketenagakerjaan lainnya) karena menjadi urusan MPS. Sementara urusan Sampoerna adalah menyuplay bahan baku (raw material), mesin giling, pengepakan, tenaga ahli dan membayar cukai. Singkatnya MPS melinting rokok yang seluruh bahan bakunya dipasok Sampoerna, kemudian MPS akan menerima biaya linting dan management fee yang ditetapkan berdasar negosiasi, untuk membayar upah buruh.
Penerapan MPS oleh Sampoerna dalam penelitian ini merupakan praktek outsourcing  buruh dengan men-sub-kontrak-an kegiatan produksi utama/inti (core bisnis), yaitu pelintingan rokok. Masifnya model sub-kontrak ini mempunyai hubungan dan konsekuensi (baik langsung maupun tidak langsung) dengan model sistem ketenagakerjaan lentur (labour market flexibility) yang saat ini berlaku, termasuk berbagai dugaan pelanggaran. Sebagai contoh adalah pelanggaran atas Pasal 66 UU No 13 tahun 2003, dimana pada saat penelitian ini dilaksanakan terdapat tafsiran jamak didalam penjelasan Pasal 66. Tafsir jamak tersebut, dapat mensiasati praktek outsourcing dalam core business disuatu perusahaan dan merupakan pemicu utama penolakan serikat pekerja karena berhubungan dengan nasib buruh dan perlindungan sosialnya. Tanpa perdebatan panjang, tentunya semua mahfum bahwa dalam industri rokok, aktivitas melinting merupakan core business, yang menurut undang-undang tidak bisa dilimpahkan oleh pihak lain selain hubungan antara pemberi kerja dan pekerja, dalam sebuah hubungan kerja.
Aturan mengenai larangan outsoucing ini sudah diperkuat dengan penandatanganan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya (outsorcing) oleh Muhaimin Iskandar, Kamis 15 November yang lalu. Bila Permenaker itu berlaku, maka hanya membolehkan outsorcing dilakukan dalam 5 bidang, yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, catering dan jasa penunjang migas pertambangan. Pengawasan bagi pelaksanaan kerja alih daya atau outsourcing akan diperketat, pemerintah tidak akan segan-segan mencabut  izin perusahaan-perusahaan outsourcing yang menyengsarakan pekerja dan tidak memberikan hak-hak normatif bagi pekerja. Kemenakertrans telah menerjunkan tim khusus untuk melakukan pendataan, verifikasi, dan penataan ulang perusahaan-perusahaan outsourcing di daerah dengan berkoordinasi dengan dinas-dinas ketenegakerjaan setempat (Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI; 2012).
Partisipasi Indonesia (Profil terlampir) telah selesai melaksanakan penelitian untuk melihat kondisi kerja (buruh) dalam industri rokok yang merupakan industri padat karya (labour intensive industry). Selain itu juga akan melaksanakan penelitian dalam sektor industri padat karya lainnya, pada putaran selanjutnya. Fokus perhatian dalam penelitian kali ini meliputi pertama, gambaran umum postur industri, dinamika dalam industri rokok dan hubungannya dengan skema besar industri nasional; kedua, gambaran kehidupan buruh dalam industri rokok dalam hubungan dengan perubahan kepemilikan; dan ketiga, gambaran dampak peralihan kepemilikan terhadap kehidupan buruh dalam industri rokok di bidang ekonomi, sosial dan politik perburuhan (Ringkasan Eksekutif Penelitian terlampir).

Jakarta, 21 November 2012

Arie Ariyanto
Koordinator Penelitian
Cp. 08156867741

Tidak ada komentar:

Posting Komentar