Kamis, 03 Januari 2013

AKSI NASIONAL PPK: Kendala Ada Peluangpun Ada








UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN
 
SIARAN PERS

Aksi Nasional PPK  Kendala Ada, Peluangpun Ada


Jakarta, 3 Januari 2013. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) 2003 sebagai Undang-Undang 7/2006. Proklamasi komitmen Indonesia kepada dunia internasional tersebut sekaligus merupakan konsolidasi ke dalam negeri, kesungguhan merealisasikan regulasi yang ada saat itu: Instruksi Presiden (Inpres) 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sayangnya, Inpres yang diterbitkan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono persis pada hari ke-50 beliau menjabat sebagai presiden untuk kali perdana itu dalam aksinya dirasa masih jauh dari menggigit.


Setelah melalui tantangan yang tak sedikit, sekian tahun kemudian, pada 2011, barulah terbit Inpres aksi nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK): Inpres 9/2011 untuk aksi 2011, dan Inpres 17/2011 untuk aksi 2012. Agar aksi-aksi PPK itu sistematis dan terukur, dituangkanlah cetak-biru dan peta-jalan ke dalam Strategi Nasional (Stranas) PPK hingga jangka panjang pada 2025 kelak yang kemudian diundangkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) 55/2012. “Stranas ini sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2009,” jelas Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4), Kuntoro Mangkusubroto.

Dari situ saja sudah terlihat, kita tidak main-main dengan korupsi, teguh Kuntoro. Ini ikhtiar tak kenal lelah dan tak boleh lelah demi membikin bersih dan berwibawanya penyelenggaraan negara.
Apa Aksi 2012?

Agenda utama aksi nasional PPK 2012 sebagaimana tertuang dalam Inpres 17/2011 pada dasarnya ada empat. Keempatnya adalah: memaksimalkan keterbukaan, meminimalkan interaksi fisik tempat potensi penyimpangan terjadi, penempatan pejabat di pos strategis atas dasar aspek kompetensi dan integritas, serta penyiapan regulasi dan peranti bagi kesinambungan nafas panjang PPK.
Deputi VI UKP4 Mas Achmad Santosa memaparkan, Inpres bertarikh 19 Desember 2011 itu memiliki total 199 subaksi. “Dari keseluruh subaksi yang lebih menekankan pada aspek pencegahan atau perbaikan sistem itu,” lanjutnya, “per September 2012, tercatat 128 (64%) memuaskan, 5 (3%) sangat memuaskan, 17 (9%) perlu perhatian, 45 (23%) mengecewakan, sisanya tidak ber-milestone.”

Sudah barang tentu hasil 133 subaksi yang menggembirakan itu tidak selalu segera bisa dirasakan. Namun, imbuh lelaki yang akrab dipanggil Ota itu, sejumlah capaian positif sudah langsung bisa dirasakan. "Layanan publik yang semakin transparan bisa diakses siapapun di laman Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, atau Kementerian Keuangan."

Mutu dan kecepatan layanan publikpun menggembirakan. Ota mengambil contoh: mudahnya proses perizinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan pembuatan paspor.

Aksi ini sedikit-banyak juga telah membangun optimisme terhadap implementasi sistem “peniup peluit” (whistle blowing system) dan justice collaborator pada beberapa instansi pemerintah. “Kita bisa lihat, utamanya pada pengungkapan penyimpangan kasus perpajakan yang telah menyita animo masyarakat akhir-akhir ini,” ujar Ota.

Pada sisi lain, imbuhnya, tak sedikit pula yang masih mengecewakan. Penyusunan sejumlah aturan/kebijakan antikorupsi ada yang tidak klop dengan target Inpres 17/2011. Instansi penegak hukum belum seluruhnya menaruh pejabat di posisi-posisi strategis melalui seleksi yang ketat dan prudent. Penegakan hukum belum berorientasi pada perampasan aset akibat masih kedodorannya koordinasi antarinstansi dan perencanaan kerja. Lembaga pengawas eksternal maupun internal, koordinasi-sinerginya masih kurang kuat.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) juga belum membuat kita tersenyum lepas, ungkap lelaki berkaca mata itu. IPK Indonesia pada 2012 beringsut di peringkat ke-118 dengan skor 32, masih kalah sedikit ketimbang 2011. Hal ini diduga ada kaitannya dengan masih maraknya praktik korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) pada proses perizinan usaha dan konflik Polri-KPK belum lama berselang.
Apa di Depan?

Biarpun demikian, Ota mengungkapkan, masih terbuka peluang buat kita karena jumlah masyarakat yang menginginkan perubahan kian besar. Hasil Survei Perilaku Antikorupsi Masyarakat menunjukkan, dari skala 5, skor kita sekarang berada pada angka 3,55. “Artinya, perilaku masyarakat Indonesia masih cenderung antikorupsi,” tandas Ota.

Potensi ini tentu harus dimanfaatkan dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat secara lebih intensif, misalnya melalui “Layanan Pengaduan Online Rakyat!” (Lapor!). Layanan yang memanfaatkan kanal SMS ke 1708 atau laman lapor.ukp.go.id.ini menyediakan diri sebagai peranti untuk memangkas lapis-lapis birokrasi layanan pemerintah.

“Kita tentu masih belum layak untuk berleha-leha, karena sejumlah tantangan masih mengintai dan menjadi pekerjaan rumah,” seru Ota. Tantangan itu, seperti dirincikan Ota, antara lain: koordinasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dalam mencapai target PPK masih perlu didorong.
Selain itu, kita masih ada kendala dalam hal pembatasan nilai transaksi tunai, pengaturan illicit enrichment dan trading in influence, penerapan pembuktian terbalik terkait kasus korupsi dan pencucian uang, penguatan sistem pelayan publik berbasis teknologi informasi, pengetatan remisi kepada pelaku tipikor, harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan UNCAC, hingga penguatan lembaga dan mekanisme kerja Central Authority dan Competent Authority (terkait pengembalian aset). Isu yang lebih ber-greget, lanjut Ota, adalah bagaimana memperjuangkan Stranas PPK naik level menjadi Undang-Undang PPK agar lebih mengikat semua komponen bangsa.

Begitulah seabrek tantangan kita saat ini. “Oleh karena itu,” sela Kuntoro, “seluruh lapisan masyarakat harus ambil bagian semampunya. Tahun ini harus menjadi tahun optimis.”
Bagaimana caranya? Ota menerangkan, dorong keterbukaan informasi di lembaga publik, laporkan pelanggaran atau penyimpangan yang ditemui, serta bantulah mendidik dan mengembangkan budaya antikorupsi. Juga, imbuhnya, mulailah hidup berintegritas dari entitas yang terkecil, yaitu diri sendiri, keluarga, hingga lingkungan terkecil Anda masing-masing. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar