Rabu, 08 Oktober 2014

Jogja Contemporary Mempersembahkan Pameran Bersama



Inline image 1

Jogja Contemporary

Mempersembahkan Pameran Bersama:
i : Observe
Aditya Chandra H, Justian Jafin Roxc W, Rosit Mulyadi, Ungki Prasetyo
14 Oktober – 14 November 2014
Jogja Contemporary
Kompleks Jogja National Museum, Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1, Gampingan, Yogyakarta-55167
Essay oleh: Hendra Himawan, Pitra Hutomo
‘Seni berbasis riset’, ‘seniman sebagai peneliti’, agaknya menjadi satu kanon utama dalam praktek seni rupa hari ini, ketika kritik budaya menuntut kesenian lebih berperan dalam memproduksi pengetahuan. Lantas bagaimanakah kecenderungan ini menemu bentuk praksisnya? Apakah ‘seni yang berbasis riset’  mempunyai bentuk yang sama dengan penelitian ilmiah yang mempunyai kerangka metodik yang ketat-terstruktur? Sementara melihat beragam praktik yang telah dilakukan, legitimasi penelitian oleh seniman sering diukur dalam kerangka akademik dan kebenaran-kebenaran teorik, bukan pada kerja seniman sebagai peneliti. Membaca praktek kerja seni dalam project i:Observe yang digagas oleh Jogja Contemporary (JC) dengan melibatkan empat seniman muda; Justian Jafin Rocx (Jafin), Ungki Prasetyo (Ungki), Aditya Chandra (Adit) dan Rosit Mulyadi (Rosit), kita disodori sebuah cara pandang melihat fenomena penelitian ‘dalam  dan melalui seni’, dari perspektif pemikiran para seniman dan melalui prisma praktik artistiknya.  Hendra Himawan, kurator independen
Ketika seorang seniman mencomot gagasan yang berserakan dan memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan hal tersebut; disadari maupun tidak, dia juga sedang menyusun penuturan untuk dirinya sendiri. Dari banyak sekali aspek yang menentukan kecenderungan visualisasi –pengalaman, keterpaparan, resonansi- selesainya karya adalah selesainya penuturan yang menyertai pengembangan suatu gagasan dalam diri seniman. Proses ini kerap disempitkan dengan kata subjektif, sehingga beberapa seniman merasa perlu menyampaikan (lagi) pemikirannya dalam ruang-ruang yang seolah-olah dibangun dalam kerangka objektif. Dari dugaan inilah saya urung menanggapi kepenasaranan empat seniman “i: Observe” mengenai posisi mereka di peta seni kontemporer, baik dalam hal kekaryaan maupun yang menjurus ke pemantapan karir. Bagi saya, yang paling relevan dilakukan mereka saat ini adalah melakukan berbagai uji coba, baik melalui artikulasi karya maupun representasi citraan. Pitra Hutomo, Staf Pengembangan Arsip IVAA & salah satu penggagas Hyphen
ADITYA CHANDRA H
“Observasi adalah langkah awal saya membawa citra-citra lingkungan sekitar, mengolah sumber daya yang mungkin terabaikan, melalui bahasa bentuk personal yang bersifat imajinatif, baik citra yang berupa kebendaan atau makluk di sekitarnya, bahkan ekosistem itu sendiri untuk di angkat menjadi sebuah kerangka dalam saya berkarya. Saya menggunakan berbagai material, baik yang siap pakai (ready made) atau material temuan (found object), sebagai usaha melakukan pemaknaan ulang. Saya cenderung mengkombinasi satu material dengan yang lain, dalam upaya mensinkronisasi berbagai hubungan yang pada dasarnya tidaklah jauh dari kinerja seseorang dalam melakukan riset atau observasi”.
            Aditya Chandra H, lahir 1986, angkatan 2005 dan lulus dari Jurusan Patung. Telah rajin berkarya dan terlibat berbagai pameran bersama dari tahun 2006. Pameran yang pernah diikutinya diantaranya: 2010,  “Art for Our Life”, Raday Konyveshaz Gallery, Hungary;  “Bazaar Art Award”, The Ritz-Cartlon Pacific Place dan Vanessa Artlink, Jakarta; “Art Toward Global Competition”, Langgeng Gallery, Galeri ISI Yogyakarta. 2011, “Speak Of”, Launching of Jogjanewsdotcom, Jogja National Museum/ JNM, Yogyakarta; ARTJOG11, Taman Budaya Yogyakarta; “ Survey #3, For Whom the Bell Tolls”, Edwin’s Gallery, Jakarta;“IMAJI IMAJI” ,Philo Art Space, Jakarta.  2012, “Bali Villa Art Fair”, The Layar Villa, Seminyak, Bali; “Bazaar Art Jakarta”, The Ritz-Cartlon Pacific Place, Jakarta; “Living Harmony With Art” Hotel Mulia Senayan, Jakarta. 2013, ARTJOG 13 “Maritime Culture”, Taman Budaya, Yogyakarta; Indonesian ART AWARD 13, Galeri Nasional, Jakarta; 2014  “Heavy Punch” Gallery Watusaman Sculpture Space, Yogyakarta;  API (Asociation of Indonesian Sculpture) “Kecil-Kecil Patung”, Taman  Budaya Yogyakarta; “New Arrival Perspective” Rumahku Art Caffe, Magelang; “ Neo-iconoclast” Langgeng Gallery, Magelang; “Art Island at Kustomfest 2014” Jogja Expo Center/JEC, Jogjakarta.
JUSTIAN JAFIN ROCX W
            “Aku  menganalogikan karyaku seperti sebuah soft drink ataupun beer yang terasa “segar dan menggoda”. Minuman-minuman tersebut tertata rapi pada etalase-etalase kaca bening. Ketika kau melihatnya dari kejauhan, di antara tandus dan gersangnya hidup. Sekejap kau akan berlari dan berusaha meraihnya hanya untuk mengobati dahagamu. Tapi kau lupa!! Kau bahkan tak sadar bahwa aku masih menggunakan beberapa “isi” yang sama, yaitu ramuan “perangsang” yang akan mengantarkanmu pada kepekaan terhadap realitas dan kondisi disekitarmu. Seharusnya kau tak patut untuk melupakan terlebih meninggalkannya.”
            Justian Jafin Rocx W, lahir 1987, masuk ISI jurusan Seni Lukis tahun 2008. Sudah aktif berpameran bersama sejak 2007, diantaranya: 22011:  “JAWA KOJA” Jogja Biennale  Pararel Event, Katamsi Gallery, ISI Yogyakarta; “SURVEY #3 : FROM WHOM THE BELL TOLLS” Edwin Gallery, Jakarta; “HOLIDAY WITH MATA ANGIN”,  Sudana Gallery Bali; “TRIBUTE TO RAPRIKA ANGGA” Gedung Seni Grafis, ISI Yogyakarta; “INTUISI”  Inagurasi Mahasiswa ISI Angkatan 2008, JNM Yogyakarta;  “FESTIVAL SENI ISLAMI NASIONAL” Jogja National Museum, Yogyakarta; “SPEAK OFF”, JogjaNewsDotCom Launching, Jogja National Museum, Yogyakarta. 2012, “AFFANDI PRIZE”, Museum Affandi, Yogyakarta; “INGATAN SINTETIS”,  Gedung Seni Murni, ISI Yogyakarta; “KAMPUS TO KAMPUNG”,  Ruang Kelas SD Yogyakarta. 2013,   HUT Ulang Tahun Kota Tuban Gedung Pahlawan Tuban Project  Kolaborasi “Suko Pari Suko” Heri Dono,Eddie Hara, Yunizar,Noor Ibrahim,Lindu Prasekti,Justian Jafin Rocx Bentara Budaya Yogyakarta. 2014, “Cut & Re-Mix”, FKY26 Festival Kesenian Yogyakarta, Jogja Gallery Yogyakarta; “Dies Natalis ISI” Gedung Serbaguna Aji Yasa FSR ISI Yogyakarta.
ROSIT MULYADI
“Ada tiga hal yang muncul dan menjadi pendar kearah  ini: pesantren, Islam, dan seni (rupa). Saya sebagai subjek/pelaku menjadikan tiga hal ini sebagai kerangka/batasan. Lahir dan tumbuh dilingkungan muslim yang taat, dari pesantren saya memulai pengenalan saya pada agama. Teks agama diperkenalkan. Ada banyak tafsir atas agama yang beragam, karena perbedaan sudut pandang yang ada. Lingkungan baru setelah pesantren cendrung lepas, Peralihan dari lingkungan yang rapi teratur, ke lingkungan yang serba terbuka, muncul benturan yang dinamis antara saya, lingkungan pesantren dan Islam itu sendiri. Berkaitan profesi dan perhatian saya saat ini, beberapa hal semisal soal hukum menggambar, isu sosial, radikalisme agama, poligami,  menjadi pokok perhatian dalam kesempatan i:Observe ini.”
            Rosit Mulyadi, lahir di Bantul 1988 dan belajar Seni Lukis di ISI angkatan 2007.  Selain berbagai pameran bersama yang telah diikutinya sejak tahun 2009, Rosit telah menjalani Residensi dengan Rumah Budaya Tembi ( di Yogyakarta dan di Jakarta ) pada tahun 2010 dan berpameran tunggal: 2010, “AROUND ME”, Tembi Rumah Budaya, Jakarta; 2011 “AROUND ME”, Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta; dan 2012 (k)NOW, Ministry of Coffee, Yogyakarta. Beberapa penghargaan yang pernah dimenangi: 2010, Finalist International Painting Competition Jakarta Art Award; 2011, Group Award with Kelompok Kandang Jaran for Paralel Event Event, Jogja Biennale XI; dan 2013, Nominee Basuki Abdullah Art Award.
UNGKI PRASETYO
            “Pada project pameran kali ini saya ingin mencoba mengenal lebih dekat dengan para seniman yang cara bekerja atau berkaryanya yang tidak lepas dari pengaruh  musik. Saya beranggapan bahwa sebagian besar seniman membutuhkan bunyi-bunyian, suara atau lebih jelasnya yaitu lagu/musik untuk mendampingi mereka menciptakan sebuah karya. Menurutku musik merupakan bahasa universal, berbagai macam genre musik bisa mempengaruhi pendengarnya bahkan bisa memunculkan semangat untuk membangkitkan mood yang turun. Saya sebagai seorang perupa sangat merasakan hal itu, karena di sini saya juga pelaku seni rupa.”
            Ungki Prasetyo, lahir tahun 1989, belajar di ISI Seni Grafis, angkatan 2007. Telah aktif di pameran seni rupa sejak 2007, diantaranya: 2013, DGTMB Postcard Project, Dia lo Gue Art Space, Jakarta; “Round Stickers”, Racily Café, Sewon, Yogyakarta; “ Jogja Internasional Mini Print “, UPT Galeri ISI Yogyakarta; “Kopi Keliling”, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta; “Bukan Musik Bukan Seni Rupa”, Gedung Ajiyasa ISI Yogyakarta; “Ruang Baru”, Ruang HMJ ISI Yogyakarta; Bizzare, Gedung Pertunjukan ISI Yogyakarta. 2014, “Yang Maha Benda”, Studio Grafis Minggiran, Yogyakarta; “Cetak Saring Atack #1”, Asmara Café, Yogyakarta; “In Focus + Indonesia”, Muzeum Norodow Szczecine, Jerman; “Merayakan Agar-Agar”, Daging Tumbuh Shop, Yogyakarta; “Partai Emblem Kukomikan”, Survive Garage, Yogyakarta;   “Silaturahmi Peradaban”, Ilmu Giri, Selopamioro Imogiri, Yogyakarta; “Sugeng Rawuh #3”, Survive Garage, Yogyakarta; “ Neo Iconoclast”, Langgeng Gallery, Magelang; “ Sewon Calling”, Gallery Soetopo, ISI Yogyakarta.
____________________
Rismilliana Wijayanti
phone +62818260134
PIN  221BC141

Mailing Address:
Kompleks Jogja National Museum
Jl. Prof Ki Amri Yahya no 1, Gampingan
Yogyakarta 55167
Indonesia



Ketika Seniman (Hanya) Menjadi Arsip:
Pertanyaan yang Terserak dari Obrolan dengan Peserta “i: Observe”

Halo teman-teman pembaca. Semoga Anda semua sedang dalam keadaan baik; relatif sehat, senang hati, dan tidak keberatan melanjutkan membaca tulisan pendek ini.

Pertama-tama, selamat untuk empat orang yang ikut serta dalam proyek “i: Observe”, yakni Adit, Jafin, Rosit, dan Ungki, terutama karena mereka telah mau menemani saya ngobrol saat proses Open Studio masih berlangsung, sehingga tulisan ini bisa saya susun.

Kebetulan mereka tidak sedang menggarap karya, karena sebagian besar telah rampung dan siap dipajang. Pertemuan pertama kami cukup membuat saya merasa istimewa, terutama karena keempat seniman yang akan berpameran telah siap menjelaskan karya masing-masing – sesuatu yang biasanya hanya saya saksikan melalui layar komputer sebagai rekaman video, dalam rombongan sebagai peserta tour pameran, atau hadirin dalam artists’ talk. Mungkin beginilah santainya bekerja dengan seniman muda yang masih harus melamar pameran ke sana-sini, dan konon agak kebingungan menempatkan dirinya di peta seni rupa kontemporer sekarang.

Posisi yang tidak serta merta menentukan prestasi

Perihal posisi ini sulit ditelaah. Saya terbiasa mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan para pekerja seni Jogja secara pragmatis; siapa membuat karya berjudul apa, di mana pameran berlangsung, siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan, kegiatan apa yang juga diselenggarakan menyertai pameran, dan sebagainya. Ketika materi terkumpul, saya dan rekan-rekan di IVAA akan menyimpannya sesuai prosedur yang dijadikan standard, sekaligus menyiapkan akses pada rekaman dan catatan yang dibuat. Kebingungan para peserta proyek “i: Observe” mungkin wajar diutarakan saat ini -meskipun lamat-lamat kedengaran juga senandung imbas neo-liberalisme pada kalangan sekolahan di negara dunia ketiga.

Karena saya tidak tahu rasanya menjadi seniman, arah pembicaraan saya putar ke apa saja yang telah dilakukan mereka selama beberapa bulan belakangan. Mereka lalu bercerita bahwa proyek ini diawali pengajuan proposal pameran, perancangan metodologi, dan pelaksanaan kegiatan inti untuk publik. Metodologi dirancang berdasarkan pilihan tema, yakni melihat ke dalam, kemudian diturunkan menjadi rangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan olah gagasan dan manajerial. Mereka tidak hanya latihan mengolah gagasan di tataran ekspresi; tetapi juga di atas kertas dan bertutur langsung dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.

Selanjutnya, tercetus keraguan apakah karya-karya yang masih digarap bisa rampung sebelum pameran resmi dibuka. Rupanya berlatih menuturkan karya, lalu ditanggapi gagasannya - bahkan dirujukkan pada karya-karya orang lain yang lebih dulu dimediasikan- cukup menguras waktu dan energi untuk berkarya. Jadi, mana yang perlu digenjot? Kemampuan berpindah-pindah fokus dari kegiatan yang berbasis studio ke kegiatan yang bertumpu pada kemampuan bersosialisasi, atau kemampuan berstrategi untuk menuangkan gagasan dalam tempo relatif singkat?

Kembali lagi ke bahasan identifikasi posisi, mungkin saya masih jauh dari mengenal para seniman “i: Observe” sebagai individu, namun saya putuskan bahwa isu itu mencerminkan kemunduran dari semangat yang selama berpuluh tahun menghidupi identitas seniman di tataran filosofi berkarya. Seolah-olah seketika saya dihadapkan pada ambiguitas penafsiran profesi seniman, yang sudah benar-benar menjadi sektor mapan. Sebagaimana ISI mencantumkan tujuannya pendidikannya, (kutipan) “Menghasilkan insan-insan akademik/profesional yang kreatif, produktif, sebagai seniman Indonesia yang mendunia..”

Sebagian dari Anda pembaca mungkin tidak setuju dengan pilihan saya mengangkat keberadaan lembaga pendidikan formal di bidang seni. Ambiguitas ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang hampir setiap pergantian kabinet, penasaran banget membongkar pasang otoritas pengelola soal kesenian dan pendidikan. Juga bukan hal baru jika Anda kenal seorang lulusan sekolah seni yang akhirnya jadi seniman atau tidak, tetap menganggap kontribusi utama sekolah seni terletak di medan sosialnya. Lantas, apa yang berubah dari pemaknaan profesi seniman (atau pekerja seni)? Apakah transaksi karya seni dan medan sosial yang semakin mendukung afirmasi nilai ekonomi karya dan kegiatan seni, telah menggeser cara pandang terhadap profesi terkait?

Melihat ke dalam, mendorong ke luar

Label pekerja seni biasanya menjerumuskan asosiasi orang di luar medan sosial seni dengan kata-kata sifat yang standard, sebut saja kreatif, nyentrik, bahkan kaya. Di tengah masyarakat plural, asosiasi semacam itu masih relatif tidak berkembang karena secara fungsi, pendekatan artistik dilihat sebagai upaya menghias. Boleh jadi Anda yang seniman, bangga telah berkontribusi di masyarakat dalam perancangan panggung seni tahunan di tingkat RT. Atau karena tulisan Anda tentang pentingnya museum seni di Indonesia, dimuat di surat kabar nasional. Tapi saya kok cenderung menganggap hal-hal tersebut hanya mengalihkan seniman dari persoalan sesungguhnya: kecanggungan memaknai resepsi orang yang melihat (atau berinteraksi) dengan karya-karya yang dihasilkan.

Ketika seorang seniman mencomot gagasan yang berserakan dan memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan hal tersebut; disadari maupun tidak, dia juga sedang menyusun penuturan untuk dirinya sendiri. Dari banyak sekali aspek yang menentukan kecenderungan visualisasi –pengalaman, keterpaparan, resonansi- selesainya karya adalah selesainya penuturan yang menyertai pengembangan suatu gagasan dalam diri seniman. Proses ini kerap disempitkan dengan kata subjektif, sehingga beberapa seniman merasa perlu menyampaikan (lagi) pemikirannya dalam ruang-ruang yang seolah-olah dibangun dalam kerangka objektif. Dari dugaan inilah saya urung menanggapi kepenasaranan empat seniman “i: Observe” mengenai posisi mereka di peta seni kontemporer, baik dalam hal kekaryaan maupun yang menjurus ke pemantapan karir. Bagi saya, yang paling relevan dilakukan mereka saat ini adalah melakukan berbagai uji coba, baik melalui artikulasi karya maupun representasi citraan.

Apakah saya benar-benar bisa mencerap makna menggambar burung mati oleh seorang Rosit yang lulusan pesantren? Bagaimana saya bisa merasakan ironi dari keasyikan mengoleksi barang mewah, jika sebelum melakukannya Jafin sudah meminta saya berpikir ulang tentang pola konsumsi yang bijak? Bagaimana saya harus menyikapi Adit yang bermaksud memanfaatkan sisa-sisa regenerasi alam, tapi karena keterbatasan bahan jadi bersandar pada kemampuannya mereproduksi citraan, dan justru membuat replika dari benda-benda sisa tersebut? Apa yang akan dilakukan Ungki jika ada responden yang merasa gambaran pengalaman hidupnya terlampau disederhanakan?

Dalam kerangka kerja dokumentasi ala IVAA, foto-foto karya, foto dan video suasana pembukaan, rekaman audio dan video berlangsungnya diskusi, dan berbagai teks yang terbit menyertai pameran ini pasti disimpan dan dibuka aksesnya. Sangat kecil kemungkinan dokumen-dokumen ini segera menemukan manfaat, selain untuk menulis liputan pameran di surat kabar. Meskipun setiap minggu ada ratusan dokumen yang diproduksi, konsultasi dan referensi untuk bahan penelitian masih didominasi pencarian berdasarkan nama seniman, tema karya, atau genre.

Tak dapat dihindari, produksi karya atau kegiatan yang nantinya bisa relatif mudah diasosiasikan dengan nama tertentu, bergantung pada intensitas dan mediasi yang tepat. Sederhananya, kalau seorang seniman visual ingin karyanya diserap oleh peneliti sosial, dia bisa mengkarbitnya dengan cara mengekspos diri ke tema-tema yang diangkat dan diterbitkan sebagai penelitian sosial. Sulit dibayangkan? Nggak juga, itu sama kok dengan apa yang seolah-olah menjadi ambisi orang yang ingin kaya lalu memilih jadi seniman; buka-buka katalog lelang atau pameran di galeri bergengsi, dan mereplikasi idiom visual serupa.

Untung saya bukan seniman, karena kalau upaya mencurahkan jiwa dan raga demi melemparkan gagasan yang mengakar dalam diri -boro-boro menimbulkan riak di samudra masyarakat madani Indonesia- hanya menjadikan saya satu entri di sistem arsipnya IVAA, lebih baik cari donatur untuk nyaleg.


Tambahan: Jika Anda membutuhkan rujukan dari opini yang saya tuliskan di sini, dengan senang hati akan saya berikan melalui surat elektronik, dengan alamat pitra.hutomo@gmail.com


i :Observe
Praktik Kerja Seniman Sebagai Peneliti, Sebuah Catatan

Hendra Himawan*





 ‘Seni berbasis riset’, ‘seniman sebagai peneliti’, agaknya menjadi satu kanon utama dalam praktek seni rupa hari ini, ketika kritik budaya menuntut kesenian lebih berperan dalam memproduksi pengetahuan. Lantas bagaimanakah kecenderungan ini menemu bentuk praksisnya? Apakah ‘seni yang berbasis riset’  mempunyai bentuk yang sama dengan penelitian ilmiah yang mempunyai kerangka metodik yang ketat-terstruktur? Sementara melihat beragam praktik yang telah dilakukan, legitimasi penelitian oleh seniman sering diukur dalam kerangka akademik dan kebenaran-kebenaran teorik, bukan pada kerja seniman sebagai peneliti. Membaca praktek kerja seni dalam project i:Observe yang digagas oleh Jogja Contemporary (JC) dengan melibatkan empat seniman muda; Justian Jafin Rocx (Jafin), Ungki Prasetyo (Ungki), Aditya Chandra (Adit) dan Rosit Mulyadi (Rosit), kita disodori sebuah cara pandang melihat fenomena penelitian ‘dalam  dan melalui seni’, dari perspektif pemikiran para seniman dan melalui prisma praktik artistiknya.

Kerja Seni Berbasis Riset
Hal yang luar biasa dari praktek kerja ‘seni berbasis riset’ adalah bagaimana praktek penciptaan karya dan refleksi teoretis ( pemikiran) berjalan beriringan, dimana yang satu tidak bisa berjalan tanpa yang lainnya. Hal ini tentu lebih  kompleks dari sekedar penelitian atau pengkajian tentang seni seperti sejarah seni, sosiologi seni ataupun studi budaya. ‘Seniman sebagai peneliti’ memulakan proses kreatifnya dalam kesadaran pada pertanyaan-pertanyaan dialektis seperti :  Dimana posisi ‘konsep’ dan urgensi teori dalam proses penciptaan karya seni? Teori hadir sebagai landasan pemikiran, rambu-rambu penciptaan, atau evaluasi kritis? Apa fungsinya data? Bagaimana metode riset yang semestinya dipakai untuk mengolah data? Apakah karya seni murni tidak bisa diakui sebagai produk pengetahuan sehingga ia harus disandingkan dengan beragam teori? Apakah keberadaan teori vis a vis dengan ungkapan ekspresi?
Praktek seni sebagai kerja penelitian sebetulnya bukan hal baru. Gagasan ini telah diusung oleh seni konseptual pada tahun 1960-an yang kemudian berkembang pada gerakan-gerakan seni setelahnya. Seni konseptual hadir dari pergulatan bahwa seni tidak bisa dilihat terpisah dari persoalan sejarah dan sosial-politik, dan seni rupa hadir dalam kerangka kognitif yang nyata. Refleksi gagasan ini menemu praksis nyata dalam potret seni rupa di Indonesia seperti bagaimana gagasan-gagasan yang mendasari lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) 1973-1978, Seni Rupa Penyadaran Mulyono, lahirnya praktek performance art (jeprut) di era awal 1990an, dan banyak lagi. 
Merentang pandangan dari beragamnya kecenderungan praktek seni kontemporer hari ini, refleksi diri dan urgensi riset terjalin erat dengan ‘praktek artistik’ seorang seniman. Fenomena sosial masyarakat, praktek simbolik dalam kebudayaan menjadi instrumen dalam kerja penelitian ini.  Dengannya kita dapat memahami bagaimana cara seniman berfikir. Tak disangkal, seniman kontemporer semakin memposisikan diri  sebagai peneliti dalam dalam bidang sosial dan seni. Hal ini dapat kita lihat dengan munculnya karya-karya yang ofensif, dimana seniman sangat artikulatif dalam membuat pernyataan tentang produksi karya, dan terbuka dengan proses pemikirannya. Seniman memberi kesempatan bagi orang lain untuk menjadi bagian dalam proses penciptaan karya, bertukar pandangan, dan membuka diri untuk menerima kritik yang lebih luas.
Inisiasi Jogja Contemporary dengan mengubah ruang galeri sebagai studio bersama keempat seniman, menjadi potret bahwa konsepsi romantik tentang proses kreatif seniman yang sublime-mitis, otonom, ‘pertapa’ dalam studio, menjadi runtuh. ‘Open studio’ menantang proses kerja mereka untuk dipresentasikan, diapresiasi, dan diperdebatkan bersama. Setiap gagasan yang dilontarkan seniman dicari pembahasannya dalam domain publik. Mekanisme ini memungkinkan munculnya wawasan-wawasan baru, bukan saja bagi kerja kreatif keempat seniman namun juga bagi ‘seni’ dalam arti yang lebih luas. Seniman, galeri dan publik bersama-sama mengevaluasi setiap model kerja kesenian ke dalam wilayah artistik. Bagi seniman sendiri mereka dapat berbagi pemikiran dengan orang lain, mengkonstruksi secara terus menerus ide dan gagasannya, dan tentu saja kritik substansial tentang apa yang sedang mereka kerjakan.
Keberadaan kritik sangatlah penting. Dulu kritik seni berkembang dengan tolak ukur formalistik dan menemu praksisnya secara diskursif dengan menyandingkan satu karya dengan karya seni lainnya. Ketika seni berkembang dari reproduksi atas realitas ke arah dialog yang lebih aktif antara seni dengan konteks sosio-kultural, seni modern tidak lagi representasional, namun juga kritis terhadap diri sendiri. Seniman dituntut tak hanya kritis membidik fenomena sosial masyarakat, namun juga kritis melihat diri dan karyanya. Introspeksi dan refleksi diri dihadirkan dengan sengaja oleh seniman untuk membaca posisi gagasannya dalam dinamika wacana seni yang lebih luas. Atau dalam kata lainnya adalah identifikasi diri.
Melihat pada tajuk I:OBSERVE, keempat seniman menjadikan riset sebagai jalan untuk mengobservasi pengalaman-pengalaman artistik mereka, dan menuangkannya dalam beragam praktek kekaryaan. Pengalaman artistic selalu bersifat aktif dan konstruktif, berpijak pada nilai estetika yang dimiliki masing-masing individu. Jika pengalaman artistik seniman ini dilontarkan kepada publik, maka ia akan diresepsi sesuai dengan kadar estetika masing-masing penonton, disinilah ruang dialog terbangun. Jika dalam konteks penciptaan keempat seniman ini, ‘seni’ dimaknai sebagai modus persepsi, maka  ‘penelitian artistik’  yang mereka lakukan pada basis ide hingga perwujudan harus dipahami sebagai  modus dari suatu proses berfikir.   

Membaca Sebuah Proses

1.      Jafin dan Memory Benda-Benda
Kecurigaan penulis, dekorasi interior yang disusun Jafin merupakan respon dari infiltrasi budaya material pada wilayah privat. Perayaan atas ketidaksadaran kita pada rayuan iklan dan kenyataan tumpukan barang-barang tak berguna. Hari demi hari, tubuh kita dipaksa untuk menerima pengalaman visual yang disodorkan secara bertubi-tubi. Karyanya adalah instalasi dari benda-benda keseharian, ready-made, dan barang-barang antik  yang mewakili ingatan dan persepsi kita akan sesuatu yang lampau.  
Hal yang menarik dari gagasan  Jafin, ia tidak menolak keberhadiran benda-benda , atau situasi budaya material saat ini, sebaliknya ia mengusulkan sebuah taktik pembacaan : 1. melihat secara kritis perkembangan budaya material yang gencar dilontarkan oleh media massa (majalah, internet, dan televisi), 2. membangun kesadaran atas keberadaan bentuk-bentuk baru ini, dan 3. mempertanyakan untuk apa benda-benda ini dibuat. Dengan merespon balik setiap benda-benda yang menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari (dengan membubuhkan gambar, mewarna ulang, dan menyusun menjadi bentuk baru),  Jafin mengusulkan cara  beroposisi.
Maka instalasi benda-benda dalam karya Jafin tidak bisa sekedar dibaca secara harfiah sebagai apropriasi dari sisa-sisa budaya massa menjadi karya seni. Ia mengajak publik untuk berfikir kembali tentang keberadaan benda-benda ini dan bagaimana itu mewakili pengalaman hidup kita sehari-hari dan ingatan-ingatan kita. Karya-karyanya menawarkan satu bentuk nostalgia seketika.  Apa yang dipertaruhkan Jafin kepada publik adalah reklamasi persepsi, keterhubungan pemahaman atas benda-benda.
Karya Jafin juga bukan bentuk fetisisme atas produk komoditas dan benda-benda temuan. Dalam prosesnya, metafora adalah jalan yang digunakan oleh Jafin untuk memahami keberadaan benda-benda tersebut ketika diolah menjadi karya. Bukan dalam konteks pemberhalaan benda-benda tersebut  pada nilai mitis, magis, dan supranatural. Jika beberapa waktu lalu seni rupa kita di riuh dengan karya-karya found objek,  menjadikan formalisme sebagai tawaran estetik, dan fetisisme yang menjadi konsep dan orientasi keberhadiran karya.  Apa yang dilakukan Jafin melompat, sebuah upaya untuk memahami sistem nilai dan makna simbolik yang ditawarkan benda-benda tersebut. Jika Jafin berkeinginan bermain diranah persepsi tentang bagaimana tanggapan kita atas objek-objek yang bertebaran dalam karyanya, maka agaknya kita tidak bisa membacanya dengan asumsi : citra mengacu kembali ke objek yang dicitrakan.  Jika ia melukis di atas piring, daun jendela dan umpak, keberadaan material itu bukan semata-mata bidang gambar. Pengalaman atas benda-benda itu menjadi latar belakang hadirnya materi visual. Lukisan-lukisan itu juga yang merepresentasikan objek-objek material tersebut.
Maka pertanyaan-pertanyaan mendasar yang bisa kita lontarkan ketika melihat  karya Jafin seperti, bagaimana perkembangan citra, produk, dan informasi teknologi yang diproduksi secara massal mampu mengubah pengalaman hidup kita? Dimana posisi seni dalam menghadapi perubahan ini? Bagaimana pengalaman hidup manusia di wakili dalam citra bentuk benda – benda keseharian? Disinilah urgensi proses observasi yang disodorkan Jafin melalui karya-karyanya. Sebuah proses dialektika kita dengan objek sehari-hari, pengalaman visual, dan kesadaran atas budaya material.

2.      Ungki dan Pengalaman-Pengalaman Mendengar
Tertarik pada korelasi musik dan seni rupa, Ungki mengajukan gagasan untuk melihat bagaimana pengaruh musik dalam proses kreatif beberapa seniman muda di Yogyakarta. Mengambil beberapa sampel rekan seniman, ia melakukan wawancara  random tentang genre musik yang mereka sukai dan apa pengaruh mendengarkan musik dalam proses penciptaan karya. Hasilnya ia tuangkan dengan media gambar melalui tehnik grafis silk screen.
Seni rupa dinyatakan dalam ruang, melalui bentuk yang kasat mata, sementara musik diekspresikan melalui waktu dan dinikmati dengan telinga. Keduanya mampu membangkitkan emosi manusia. Dilihat dari disiplin teoretis, keduanya mempunyai kriteria pembentuk yang sama,  seperti komposisi, harmonisasi, bahkan nilai-nilai simbolik. Musik telah menjadi stimulan dan inspirasi para seniman yang ingin menghasilkan karya yang murni dan transenden. Ia banyak digunakan sebagai analogi atau metafora dalam ekspresi artistik perupa.
Ketika musik dan seni rupa di gabungkan jadi satu, dalam video klip misalnya, kita disuguhi pengalaman visual dan pengalaman mendengar sekaligus. Keduanya saling mempengaruhi, dan pada kasus tertentu, satu bentuk seni mempu menginspirasi kemunculan seni lainnya. Hubungan musik dan seni rupa menemu konsep yang menarik dengan gagasan synestesia atau percampuran indera. Dimana persepsi sensorik yang diperoleh dari musik dapat digunakan sebagai manifestasi untuk membangkitkan persepsi sensorik pada praktek visual.
Dari perjalanan observasi Ungki ia menemukan bahwa musik juga bekerja membangun ingatan-ingatan akan pengalaman lampau yang dialami para perupa yang menjadi partisipan obeservasinya. Maknanya, mendengarkan musik menjadi satu jalan untuk memanggil kembali ingatan-ingatan lama, sekaligus menumbuhkan persepsi-persepsi baru, imajinasi-imajinasi dari nada maupun lirik lagu. Hal ini pula yang dijadikan landasan bagi Ungki dalam proses penciptaan karya-karyanya. Layaknya gambar ilustrasi, teks yang muncul dalam gambar Ungki adalah judul-judul lagu yang didengarnya, lagu yang direferensikan oleh para partisipan. Apakah ada kesinambungan antara mode visual yang dibuat para partisipan (yang notabene adalah perupa) dengan gambar yang dibuat Ungki? Ternyata Ungki bukan bekerja dalam wilayah itu.
Riset yang dilakukannya pada para perupa lebih pada bagaimana ia menafsir pengaruh musik dalam praktek penciptaan karya, dan bagaimana ia turut merasakan efek musik dengan mengalaminya secara langsung. ‘Pengalaman mendengar’ musik dan bagaimana pengaruh dalam kekaryaannya adalah orientasi dari observasi personal ini. Keberadaan partisipan lebih pada memberi masukan referensi jenis musik dan Ungki yang harus mengukur keterpengaruhannya sendiri. Bahwa pengaruh musik yang didengarnya dalam karya visual, akan berbeda dengan karya yang diciptakan oleh partisipan, disinilah kita menguji seberapa dalam musik memberikan pengalaman mendengar dan dorongan imajinasi.

3.      Aditya dan Persepsi atas Material
Seni patung memang identik dengan pengolahan media, hal yang sama mendasari penciptaan karya Aditya. Observasi dimaknai sebagai riset atas objek material baik benda temuan (found object) atau produk ready made. Benda-benda itu disusun dan dirangkai hingga mewujud dalam bentuk dan pemaknaan baru. Bicara proses, mode pembentukan karya Adit boleh dikatakan intuitif, sejalan dengan refleksinya atas pengalaman estetik pada material itu sendiri. Bahwa benar, menemu potensi dari masing-masing material adalah nilai tawar dari proses kreatifnya, namun menurut penulis, bagaimana imajinasi yang mengendalikan perwujudan karya menjadi inti dari pengalaman artistiknya.
Imajinasi memang sulit untuk dirumuskan, karena ia paduan atas realitas bawah sadar, rangsangan dari kenyataan, dan refleksi dari pengalaman-pengalaman. Namun membaca dialektika proses kreatif Aditya, kita bisa merangkai-rangkai bahwa imajinasi itu masih terikat pada konsep dasar tema karya-karyanya. Ketika berhadapan dengan material, ia selalu berfikir pada karakter dan sifatnya. Sedang rancangan kebentukan karya disesuaikan dengan fungsi awal dari bentuk yang akan dibuat. Imajinasi dalam proses pembentukan karya tidak terlepas dari dua hal tersebut. Misal dalam karya berwujud kaktus, ia menggabungkan gagasan tentang struktur anatomi manusia dan struktur anatomi pohon. Keduanya adalah makhluk hayati yang tersusun dari konstruksi anatomik. Bermain dalam wilayah persepsi, menggabungkan sifat bentuk dan fungsi maka jadilah pohon kaktus dengan konstruksi tulang manusia.   
Intertekstualitas menjadi jalan untuk memahami karya-karya Aditya. Ia membenturkan beragam sifat dan fungsi material dan  objek dalam satu karya. Teks satu menjelaskan teks yang lain, persepsi atas sifat satu material dibenturkan dengan sifat material yang lain menjadi satu objek visual. Objek yang dibentuk ini melahirkan makna baru, bahkan termasuk pada material-material yang menyusunnya. Kita bisa melihat pada objek jamur dalam karyanya yang dibuat dari campuran material batu dan kayu. Dari segi sifat keduanya berlainan, dan saling bertolak belakang. Setelah diolah persepsi kita pun diajak bermain-main, batu yang keras seakan menjadi lembut, demikian sebaliknya.
Merentang pandang dari awal risetnya tentang material hingga makna-makna baru yang ingin disodorkannya dengan cara bermain persepsi atas objek, imajinasi berperan dalam setiap fase proses kreatifnya. Hal ini bukan tanpa sebab, empati yang muncul ketika melihat lingkungan keseharianlah yang menuntunnya berimajinasi. Baik atas material ataupun konsep-konsep besar yang ingin dia tuju. Aspek sosio-kultural jelas memberikan kontribusi. Namun sebelum merangkai pembacaan ke arah itu, ulang-alik gagasan yang disodorkannya melalui permainan persepsi atas material dan objek adalah nilai penting dari kenakalan imajinasinya.

4.      Rosit dan Tafsir Tekstual
Melalui karyanya, Rosit mempertanyakan bagaimana mode tafsir atas ayat Muhammad SAW tentang larangan menggambar makhluk yang bernyawa. Secara eksplisit, larangan ini diikuti dengan ancaman bagi penggambarnya untuk menghidupkan obyek yang digambar di hadapan Allah SWT nanti. Rosit memahami bahwa tafsir sebuah ayat harus disesuaikan dengan konteks zaman. Bisa jadi larangan ini turun ketika ummat masih lemah imannya. Kehadiran gambar-gambar ini nanti dikhawatirkan menjadi berhala-berhala baru yang disembah sebagaimana fenomena umat-umat sebelumnya (Kisah berhala Sapi Samiri, yang dikisahkan dalam Surah Al Baqarah misalnya). Maka pertanyaan yang dia lontarkan kemudian melalui karyanya adalah, ‘bagaimana jika saya menggambarkan makhluk yang sudah tidak bernyawa? Apa dan bagaimana hadits itu berlaku dalam kasus ini?’
Banyak ayat-ayat Rosul dan Alqur’an yang ditafsir secara tekstual oleh sebagian golongan umat muslim. Dan hal ini menurut penulis kembali pada keyakinan tafsir masing-masing. Bahwa Islam lahir di suatu tempat dan bernegosiasi dengan budaya setempat itu adalah kenyataan. Sebagaimana sejarah perkembangan Islam di Jawa yang bernegosiasi dengan sistem masyarakat yang kental dengan tradisi Hindu Jawa nya. Upaya Wali Songo dengan pendekatan budaya lokal (termasuk kesenian, gending, wayang, arsitektur dan banyak lagi) dalam penyebaran agama Islam adalah satu bukti atas praktek negosiasi itu. Bahwa kemudian Wali Songo menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Kasultanan Demak, adalah wujud bagaimana ajaran Islam harus dilegitimasi oleh negara sebagai  bagian sistem perundang-undangan untuk mengatur masyarakatnya. Perlu kita tahu bahwa Raden Patah adalah anak Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit. Dan penggunaan nama Sultan (‘sulthon’) sebagai sebutan raja menggantikan kata Prabu, diambil dari ayat Alqur’an (QS 55:33) “laa tanfudhunaa illa bi sulthon” yang ‘berarti kekuatan’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam perjalanannya Islam kemudian banyak melahirkan praktek-praktek budaya baru.
Jadi dalam kacamata penulis apa yang dilontarkan Rosit melalui gagasan-gagasan karyanya menyarankan  bahwa kita harus jeli melihat praktek-praktek dalam  Islam, apakah ini benar risalah agama yang berpijak pada Qur’an-Hadits, ataukah ini adalah  bentuk praktek budaya? Dan bagaimana ayat dan praktek-praktek ini kemudian ditafsirkan? Memang benar wilayah penafsiran ini mempunyai cakrawala yang luas, namun hal ini harus dirujuk pada sekian banyak referensi tafsir, teks, dan sejarah pemikiran para ulama. Dan penulis kira, Rosit telah melakukan hal tersebut dalam observasinya saat ini, melihat ada dua karya potret ulama Nahdhliyin, Cak Nun dan Gus Dur dalam serangkaian karyanya.
Mereka Membuat Koma
Melihat secara singkat proses I:OBSERVE, keempat seniman memilih tema riset dan melakukan observasi secara personal. Format ‘Open Studio’ menjadikan riset keempatnya menjadi ruang dialog yang menarik bagi publik. Pilihan praktek kerja seni berbasis riset menjadikan mereka untuk berfikir lebih dalam atas setiap tema yang dilontarkan. Mereka bekerja dalam dua lini pemikiran. Antara ‘menemu makna’ dan ‘mengkaji pengetahuan’. Sebagaimana yang kita tahu bahwa makna berkait dengan pemikiran yang jauh tersimpan di dalam karya seni dan pengetahuan berkait dengan pembuktian-pembuktian logis-kongkret, refleksi teori dan segudang referensi, dimana kebenarannya vis ‘a vis dengan realitas. Setiap karya yang mereka presentasikan dalam pameran adalah materialisasi dari cara mereka berfikir. Apa yang sebetulnya tidak terlihat dibuat ‘hadir’. Melalui karya membangun makna atau memberikan arah pada penonton untuk mencari makna itu.
Penulis percaya bahwa karya seni yang dihasilkan keempat seniman bukanlah produk akhir dari pemikiran. Ia hanya berhenti sebentar pada titik wujud yang dianggap terbaik, dari proses berfikir yang tidak pernah berakhir. Layaknya sebuah catatan, mereka membuat koma, dan kita sebagai penonton dipersilahkan mengambil inisiatif untuk merangkai kalimat selanjutnya. Sebagai bagian dari riset, kita turut mengambil peran dalam pekerjaan mereka, mengambil kereta pemikiran seniman yang mewujud dalam karya.

*kurator independen






Tidak ada komentar:

Posting Komentar