Minggu, 03 Februari 2013

Tragedi Berdarah 13 Desember Kota Tebing Tinggi

Sekilas, tidak ada yang penting di tanggal 13 Desember. Namun tidak demikian dengan seluruh masyarakat di kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Di tahun 1945 silam, di tanggal ini pernah terjadi pembantaian massal terhadap warga sipil Tebing Tinggi oleh pihak militer Jepang. Begitu membekasnya peristiwa ini dalam ingatan masyarakat kota Tebing Tinggi, hingga pada saat ini, tanggal 13 Desember menjadi moment khusus bagi seluruh masyarakat Tebing Tinggi untuk mengenang seluruh korban yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun satu hal yang sangat disayangkan, selain masyarakat Tebing Tinggi sendiri, tidak banyak orang yang mengetahui adanya tragedi 13 Desember ini. Selama 66 tahun sejak Indonesia menyatakan diri merdeka, seolah-olah ada satu upaya menutupi tragedi berdarah ini dari catatan sejarah.

Untuk mengangkat peristiwa berdarah yang mengarah pada kejahatan perang di kota Tebing Tinggi ini, Darapati Activity menggandeng pihak media untuk menelusuri kembali sejumlah informasi tentang runtut peristiwa ini. Dengan harapan dapat ikut memperjuangkan pelanggaran HAM terhadap warga sipil kota Tebing Tinggi oleh tentara Jepang, Darapati Activity menghimpun sejumlah narasumber peristiwa berdarah 13 Desember 1945 silam.
Dalam satu sesi wawancara di Rumah Dinasnya (12/12/2012), Ir. H. Umar Zunadi Hasibuan, MM, selaku Wali Kota Tebing Tinggi mengatakan bahwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Jepang memakan korban hingga ribuan masyarakat sipil. “Diperkirakan korbannya mencapai hingga 2000 orang lebih,” demikian ungkap beliau sebagai salah satu pemegang informasi peristiwa ini.
“Jumlah korbannya tidak bisa dipastikan, karena banyaknya makam massal, makan tanpa nama, dan jasad korban yang tidak dikenali asal usulnya dari mana,” jelas beliau.
Banyaknya korban yang jatuh di hari peristiwa tersebut tampak dari banyaknya kerangka manusia yang ditemukan di banyak tempat di kota Tebing Tinggi. Bahkan selang beberapa tahun setelah kejadian 13 Desember 1945 tersebut, di beberapa tempat banyak ditemukan kerangka manusia yang merupakan warga sipil kota Tebing Tinggi yang menjadi korban kekejaman tersebut. Dari penemuan tersebut dapat diketahui bahwa korban banyak yang ditumpuk dalam satu lubang dan dimakamkan secara asal.
Beliau juga menceritakan bahwa pembantaian ini dilakukan secara membabi buta. Dimana setiap warga sipil yang dijumpai di tiap sudut kota pada hari itu, akan langsung dibunuh oleh tentara Jepang. “Bahkan ada yang mati ditembak saat sedang makan siang di rumahnya,” ujar Ir. H. Umar Zunadi Hasibuan, MM.

******

Latar Belakang Peristiwa 13 Desember Kota Tebing Tinggi

Awalnya dimulai dengan jatuhnya Jepang oleh bom Sekutu di Nagasaki dan Hirosima pada awal Agustus 1945. Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia menyatakan menyerah pada Sekutu. Kekalahan Jepang atas Sekutu ini menjadi kesempatan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dua peristiwa besar ini juga ikut memunculkan semangat patriotisme rakyat Tebing Tinggi. Berita kekalahan Jepang yang secara resmi disampaikan Fukubusuncho (setingkat Bupati/ Walikota) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan berita proklamasi kemerdekaan RI yang sampai di Tebing Tinggi pada tanggal 16 September 1945 menjadi semangat munculnya kesatuan-kesatuan pemuda di wilayah kota Tebing Tinggi dan daerah-daerah di sekitarnya.
Pasca tersebarnya kedua berita besar tersebut, muncul juga isu bahwa Belanda akan mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara Sekutu. Menanggapi isu tersebut, seluruh rakyat Tebing Tinggi ikut memperlengkapi diri menghadapi serangan Sekutu dengan melucuti senjata tentara Jepang yang sedang menunggu kepulangan ke negaranya. Sedang tentara Jepang sebagai pihak yang kalah perang, diwajibkan menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu.
Keadaan ini kemudian menimbulkan ketegangan antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia di Tebing Tinggi dalam merebut senjata. Menyikapi hal ini, Komando Tentara Jepang Mayjend. S. Sawamura mengadakan perundingan dengan pemerintah Tebing Tinggi saat itu. Namun karena perbedaan kepentingan, perundingan yang terjadi tanggal 3 November 1945 di markas tentara Jepang di Kebun Bahilang tersebut tidak memberikan hasil sepakat.

Illustrasi: napaktilas peringatan 13 desember tebing tinggi (12/12/12)
Merasa bahwa diplomasi tak dapat memberi jalan, maka pemuda/ rakyat Tebing Tinggi memutuskan merebut senjata secara paksa dari tentara Jepang. Dari situ kemudian muncul berbagai insiden perebutan senjata yang diwarnai dengan perkelahian antara pemuda dan tentara Jepang, bahkan berakhir dengan terbunuhnya tentara Jepang. Ketengangan terus meningkat hingga tentara Jepang tak berani berjalan sendiri di kota Tebing Tinggi, tanpa barisan lengkap.
Menyusul semakin meningkatnya insiden perebutan senjata, pada tanggal 12 Desember 1945 pihak Jepang kembali mengundang pimpinan pemerintahan Tebing Tinggi dalam perundingan. Namun, pemuda/ rakyat yang curiga dengan kegagalan perundingan tersebut segera melakukan persiapan perang menghadapi tentara Jepang dengan memblokir seluruh akses jalan kota Tebing Tinggi. Namun hingga pagi hari 13 Desember 1945, tak terlihat gerakan mencurigakan dari tentara Jepang, sehingga rakyat membuka seluruh blokade jalan dan para pemuda serta laskar meninggalkan pos-pos jaga mereka.
Dan setelah suluruh blokade dibuka, pada pukul 14.30 hari itu 13 Desember, tentara Jepang segera mengepung kota Tebing Tinggi. Dengan gerakan perang dan dilengkapi sejumlah tank, tentara Jepang masuk dan menyusuri jalan-jalan kota Tebing Tinggi yang kemudian melakukan pembantaian terhadap setiap warga Tebing Tinggi yang dijumpai hari itu.
Dalam satu sesi wawancara yang diadakan Darapati Activity di Tebing Tinggi (12/12/2012), Abdul Haliq (45), seorang staf pengajar sejarah Sekolah Tinggi Ilmu Karbiyah Tebing Tinggi, mengatakan bahwa penyerangan dan pembantaian tentara Jepang ini berlangsung selama 9 hari, dimulai tanggal 13 hingga 22 Desember 1945. “Ini jelas kejahatan perang, karena korban yang jatuh di pihak kita adalah rakyat sipil,” demikian juga ungkapnya.
Penyerangan secara tiba-tiba, ketidaksiapan, dan kekurangan senjata menyebabkan banyaknya korban yang jatuh di pihak pemuda/ rakyat Tebing Tinggi. Bahkan Abdul Haliq juga membenarkan jumlah korban yang jatuh diperkirakan mencapai 2000 orang, mengacu pada informasi dan data yang ia temukan setelah beberapa tahun belakangan menelusuri secara aktif sejarah peristiwa berdarah kota Tebing Tinggi ini.
**************************


Diplomasi Palsu, Peristiwa 13 Desember Kota Tebing Tinggi

Saat ketegangan terus meningkat, sejak berbulan-bulan sebelum tanggal 13 Desember 1945 di kota Tebing Tinggi, banyak terjadi insiden perebutan senjata oleh pemuda/ rakyat Tebing Tinggi terhadap tentara Jepang. Beberapa peristiwa diantaranya menyebabkan terbunuhnya sejumlah tentara Jepang dalam perkelahian yang kerap mewarnai insiden tersebut.
Mengatasi keadaan ini, kemudian diadakan pertemuan antara Bupati Simalungun Tuan Maja Purba, seorang kapten tentara Jepang sebagai utusan pihak Jepang, dan para pemimpin pemerintahan Tebing Tinggi yang diwakili oleh Tarip Siregar, Deblot Sundoro, dan Tuan Syekh Beringin. Dalam pertemuan tersebut dilaporkan bahwa pihak Jepang melalui utusannya meminta agar tidak terjadi permusuhan di antara kedua pihak. Dan juga meminta agar seluruh blokade jalan kota Tebing Tinggi dibuka segera.
Menanggapi permintaan pihak Jepang ini, maka pada pagi hari 13 Desember 1945 seluruh blokade jalan yang dibangun sore hari sebelumnya pun dibuka. Atas permintaan dalam pertemuan tersebut juga, maka para pemuda dan laskar yang berjaga di titik strategis kota sejak sore 12 Desember kemudian membubarkan diri. Merasa keadaan telah cukup aman, rakyat pun kembali ke tempat masing-masing.
Namun sekitar pukul 14.30 (13 Desember), pemuda/ rakyat Tebing menyadari bahwa tentara Jepang telah mengepung kota Tebing Tinggi. Dengan senjata lengkap dan sejumlah tank, mereka masuk dan menyusuri kota jalan-jalan kota Tebing Tinggi, dan di warnai dengan suara rentetan senjata dan dentuman meriam.

Seluruh warga kota yang kaget tidak dapat melakukan banyak perlawanan. Juga mengingat pada keterbatasan peralatan senjata yang dimiliki oleh laskar dan pemuda Tebing Tinggi. Dan dari waktu inilah terjadi pembantaian secara membabi buta oleh tentara Jepang terhadap pemuda, laskar, bahkan rakyat sipil kota Tebing Tinggi yang hanya dapat memberi perlawanan dengan bambu runcing saja. Dimulai dari tanggal 13 hingga 16 Desember 1945, tentara Jepang melakukan penembakan bahkan pemenggalan terhadap warga kota, bahkan juga warga di luar kota Tebing Tinggi. Sejumlah pemuda/ rakyat juga ditangkap dan ditawan oleh Jepang di markasnya.
Kemudian pada tanggal 17 Desember 1945 terjadi perundingan antara Residen Sumatera Timur Tengku Hafas dengan pihak Jepang. Dari perundingan ini disepakati perdamaian diantara kedua belah pihak. Namun, meski telah ada kesepakatan damai, pembantaian oleh tentara Jepang ternyata tetap berlanjut, bahkan hingga tanggal 22 Desember 1945.
Sejumlah pemuda/ rakyat yang tertangkap, dengan diikat tangan dan kakinya, dibunuh setiap malam harinya di pinggiran sungai Bahilang dengan cara ditembak atau ditusuk dengan bayonet. Hingga setiap pagi, selalu ditemukan mayat laki-laki di pinggiran sungai tersebut.



 Sumber: http://www.gobatak.com/tragedi-berdarah-13-desember-kota-tebing-tinggi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar