Minggu, 04 November 2012

Curhat Rieke Diah Pitaloka untuk Jabar

Aliansi Rakyat5 November 5:39
SEORANG ARTIS YANG AKTIVIS DAN WAKIL RAKYAT DARI PDI PERJUANGAN, RIEKE DIAH PITALOKA YANG DIUSUNG PARTAINYA UNTUK MENJADI CAGUB JAWA BARAT, MENYAMPAIKAN CURAHAN HATINYA SEBAGAI "ORANG SUNDA" DALAM MINDSET BHINNEKA TUNGGAL IKA.

GERAKAN ALIANSI LASKAR ANTI KORUPSI (GALAK) MENYAMBUT SEKALIGUS MENDUKUNG ONENG YANG MAU MAJU DALAM PERHELATAN PILGUB JABAR, KARENA ADA KEYAKINAN JIKA ONENG TERPILIH, INSYA ALLAH KORUPSI DI JABAR BISA TIDAK ADA SEKALIGUS TERBANGUN PEMDA YANG BERSIH DAN BEBAS KKN. INSYA ALLAH.

INILAH KUTIPAN CURAHAN HATI RIEKE DIAH PITALOKA :

"Ijinkan saya menyampaikan sebuah mimpi tentang Jawa Barat. Sebagai Manusia Sunda (seperti yang dikatakan Pak Ayip Rosidi), saya yang lahir dan di besarkan di Tanah Parahiyangan."

"Saya punya mimpi yang barangkali tidak pernah hinggap dalam percaturan perebutan kekuasaan yang akan terjadi di Pilkada Jabar, pada Februari 2013. Sebuah mimpi, yang diilhami oleh masa kecil saya yang masih mengalami “ngurek” mencari belut atau nyair gendol (ikan kecil) di aliran pematang sawah.

Saya merasa kehilangan masa-masa bermain bersama teman-teman sekolah yang sore hari jadi tukang angon (mengembala) domba atau meri (bebek). Saya rindu masa kecil dimana anak-anak bermain gelas sodor atau sorodot gaplok atau gatrik di halaman madrasah, tempat saya dan kawan-kawan “kursus spiritual" di sore hari.

Kesemua itu tanpa saya sadari telah membentuk karakter saya sebagai manusia Indonesia yang tetap punya karakter dan tanpa malu mengatakan, “saya orang Sunda”.

Saya tetap bangga meski sering diledek bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris saya tetap berlogat Sunda. Sampai kawan-kawan di DPR atau para wartawan pun memanggil saya “si teteh”

Bagi saya, menjadi manusia Sunda adalah hal kodrati yang membuat kita punya identitas tersendiri. Memiliki keunikan di tengah keberagaman, bukankah itu maksud dari Bhineka Tunggal Ika.

Sore ini saya berdiskusi kecil dengan seorang sahabat, Kang Dedi, Bupati Purwakarta. Ada kegelisahan yang sama tentang kenangan masa kecil yang tergerus modernitas, yang seperti membuai namun sesungguhnya menindas.
Kami sepakat, kami merasakan ada sebuah “proyek yang tak kasat mata” yang sedang mencabut masyarakat dari akarnya. Memisahkan rakyat dari budayanya. Diam-diam namun sebetulnya sangat sistematik.

Di tengah obrolan ringan, lalu Kang Dedi menyampaikan hal yang bagi saya sangat melegakan, “akang ingin anak-anak di kampung tak malu kalau harus membantu orang tua jadi tukang angon, mereka harus bangga jadi tukang angon.”

Saya tanyakan bagaimana caranya. Ia menjawab dengan santai, “akang sedang buat program budak angon, ada alokasi anggaran untuk memberikan lima ekor domba buat anak-anak di kampung-kampung. Mereka akan didampingi diberi pelatihan bagaimana cara merawat domba.”

Sebuah gagasan yang luar biasa bagi saya, “ekstrakulikuler yang memberdayakan”. Anak-anak dilatih menjadi enterpreneur sejak dini, namun tanpa disadari lewat sebuah keputusan politik yang berbasis kecintaan pada budaya, sekaligus akan mempertahankan ke-Sunda-an kita.

Kembali soal Pilkada Jabar, dari obrolan ringan dengan Bupati Purwakarta, saya mendapatkan pencerahan. Jika ingin menghadirkan jati diri Tatar Sunda, model-model dialog dengan para bupati dan walikota tentu sesuatu yang harus dilakukan secara rutin.

Bukan sekedar lewat jalur formal Musrenbang, namun lewat “sambung rasa” persahabatan, sabilulungan (gotong royong) kuncinya.

20 kota dan kabupaten di Jawa Barat pasti punya ciri khas dan identitas lokal masing-masing. Lewat jalur kebudayaan, saya yakin sebuah kekuasaan akan lebih memanusiakan rakyat, tak mencabutnya dari akar kultural tiap daerah.

Untuk semua itu saya harus belajar dari mereka para bupati dan walikota yang telah terlebih dahulu berjuang lewat keputusan-keputusan kebijakan sekaligus anggaran.

Dari mereka saya akan belajar bagaimana kita bisa sama-sama bersama rakyat di Parahiyanga kelak akan berani dengan kepala tegak berkata, “saya rakyat Indonesia sekaligus orang Sunda, berasal dari Tanah Parahiyangan yang rakyatnya tak lagi hidup dalam kemiskinan dan kebodohan karena kami mempertahankan diri sebagai manusia Sunda”

Depok, 3 November 2012
Rieke Diah Pitaloka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar