Sabtu, 30 Maret 2013

MK Putuskan DPD Berhak Mengajukan dan Membahas RUU

Mahkamah Konstistusi (MK) mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). MK memutuskan DPD berhak mengajukan dan membahas
Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu sejak awal hingga akhir. DPD
hanya tidak terlibat pengesahan.
Menurut Mahkamah, terdapat lima pokok persoalan konstitusional, yaitu
kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur Pasal 22D ayat (1) UUD
1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara RUU
dari Presiden dan DPR; kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut
Pasal 22D UUD 1945 bersama DPR dan Presiden; kewenangan DPD memberi
persetujuan atas RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945; keterlibatan DPD
dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) yang menurut
DPD sama dengan keterlibatan Presiden dan DPR; serta kewenangan DPD
memberi  pertimbangan terhadap RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” demikian amar putusan
Rapat  Permusyawaratan Hakim oleh sembilan hakim konstitusi yang
dibacakan bergiliran oleh sembilan hakim di Gedung MK, Jl Merdeka
Barat No 6, Jakarta, Rabu (27/3). Sidang pleno MK dipimpin Mohammad
Mahfud MD selaku ketua majelis hakim merangkap anggota. Ia didampingi
Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi,
Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Tanggal 14 September 2012, DPD
mendaftarkan permohonan uji materi kedua UU guna mempertegas
kewenangan legislasi DPD sebagaimana ketentuan Pasal 22 D ayat (1) dan
Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Dalam pertimbangannya mengenai kewenangan DPD mengajukan RUU, MK
menilai DPD mempunyai posisi dan  kedudukan yang sama dengan DPR dan
Presiden menyangkut pengajuan RUU tertentu, ihwal otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan derah. “Mahkamah
menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian
dibahas oleh Badan  Legislasi  (Baleg) DPR, dan menjadi RUU dari DPR
adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU
yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.”
Mengenai kewenangan DPD ikut membahas RUU, MK menilai DPD sebagai
lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR
dan Presiden dalam membahas RUU. Dengan demikian, pembahasan RUU harus
melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada tingkat I oleh komisi
atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan membahas daftar inventaris masalah (DIM)
serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan
di tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan
tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD  harus
diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
Menyangkut kewenangan DPD ikut menyetujui RUU, DPD dapat saja ikut
membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang
membahas RUU pada tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi
persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap RUU
untuk menjadi undang-undang, terkait ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR dan Presiden yang memiliki hak
memberi persetujuan atas semua RUU. “Kewenangan DPD yang demikian
sejalan dengan kehendak awal (original  intent) pada saat pembahasan
pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berlangsung sejak
tahun 2000 sampai tahun 2001.”
Mengenai keterlibatan DPD dalam penyusunan prolegnas, menurut
Mahkamah,  seharusnya merupakan konsekuensi norma Pasal 22D ayat (1)
UUD 1945. Norma undang-undang yang tidak melibatkan DPD dalam
penyusunan prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan
oleh UUD 1945. “Dengan demikian permohonan pemohon (DPD) beralasan
menurut hukum.”
Menyangkut kewenangan DPD memberikan pertimbangan terhadap RUU, makna
“memberikan pertimbangan” tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk
ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut
serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk
menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau
seluruhnya. “Hal terpenting adalah adanya  kewajiban dari DPR dan
Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”
“Seluruh ketentuan UU 27/2009 dan UU 12/2011 yang telah mereduksi atau
mengurangi kewenangan pemohon yang ditentukan oleh UUD 1945 atau telah
mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangan DPD sebagaimana yang
dikehendaki oleh konstitusi dan sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD
dibentuk dan diadakan dalam konstitusi haruslah dinyatakan
inkonstitusional dan diposisikan sebagaimana mestinya sesuai dengan
UUD 1945,” ujar Mahfud yang membacakan amar putusan.
Lagi pula, menurut MK, sebuah lembaga negara yang cukup besar seperti
DPD dengan anggaran biaya negara yang cukup besar adalah sangat tidak
seimbang dengan kewenangan yang diberikan menurut kedua undang-undang
a quo. “Dengan anggota yang dipilih secara  langsung oleh rakyat di
masing-masing provinsi, tetapi tanpa kewenangan yang memadai
sebagaimana diatur dalam kedua undang-undang a quo dapat mengecewakan
para pemilih di masing-masing daerah yang bersangkutan.”
Oleh karena itu, seluruh ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD
Dalam kedua undang-undang a quo, baik yang dimohonkan atau yang tidak
dimohonkan oleh pemohon tetapi terkait kewenangan DPD, harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau dinyatakan bertentangan
secara bersyarat dengan UUD 1945 apabila tidak  sesuai dengan
pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah.
Atas putusan ini, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Tim Litigasi DPD I
Wayan Sudirta, dan Koordinator Kuasa Hukum DPD Todung Mulya Lubis,
menyambut baik. “Atas nama pimpinan DPD, kami bersyukur karena para
negarawan dengan independensi yang dimilikinya telah menerima semua
yang kami ajukan. Ini hari bersejarah dalam sistem ketatanegaraan
kita. Telah mendapatkan tempat sebagaimana seharusnya,” Irman
menyatakannya ketika konferensi pers usai sidang pleno MK disertai
sejumlah anggota DPD.
“Dengan pengabulan gugatan uji materi tersebut, DPD memiliki hak dan
kewenangan yang setara dengan DPR untuk mengajukan dan membahas RUU,”
ia menambahkan. “Keputusan MK merupakan peristiwa bersejarah.”
Bagi Todung, keputusan Mahkamah memulihkan kembali kewenangan
legislasi DPD yang selama ini dikebiri oleh DPR serta meluruskan
tafsiran terhadap UUD 1945.


Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat Jenderal DPD
       
Penanggungjawab:
Mahyu Darma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar