Sabtu, 11 Mei 2013

Diskusi Publik ke-1, Paramadina-IPA Kriminalisasi Kebijakan Korporasi: Ancaman bagi Karyawan dan Hambatan Serius Investasi di Indonesia


Jakarta, 8 Mei 2013 – Tindak kriminalisasi keputusan bisnis korporasi semakin meningkat pada dua tahun terakhir. Beberapa kasus telah terjadi pada beberapa perusahaan besar seperti  Merpati Nusantara, PT Telkomsel Tbk, dan yang terkini adalah PT lndosat Tbk. Hal ini berakibat langsung pada tingkat kepercayaan para investor internasional tentang kepastian hukum untuk kelangsungan berusaha di Indonesia.

Ketidakpastian tersebut juga ditengarai sebagai salah satu penyebab penurunan outlook Indonesia oleh S&P beberapa waktu yang lalu menjadi BB+ dengan outlook stabil. Dalam kesempatan lain, Moodys juga menjelaskan kemungkinan untuk menurunkan rating Indonesia, jika berbagai ketidakpastian tersebut tidak segera diatasi.

Di sisi lain, kriminalisasi korporasi ini juga telah mengancam karyawan perusahaan yang hanya menjalankan tugas mereka dengan membawa mereka ke ranah pidana, seperti yang terjadi pada kasus Bioremediasi di Chevron. Tentunya ini menyentuh aspek human right mereka sebagai professional.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, dalam sambutan pembukaannya mengatakan bahwa Indonesia memerlukan tegaknya Rule of Law. Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. “Penegakan Rule of Law adalah masalah leadership,” sambung Anies. Elemen masyarakat juga tidak boleh tinggal diam. “Orang-orang yang baik, perusahaan-perusahaan yang baik, organisasi yang baik, harus berdiri dan melawan tindakan sewenang-wenang dan segala upaya kriminalisasi,” tegas Anies.

Lukman Mahfoedz, Presiden IPA, menggarisbawahi dengan mengatakan bahwa dunia usaha sangat memerlukan 3 C, Clarity, Consistency, dan Certainty dalam hal hukum dan peraturan perundangan. Kejelasan, konsistensi, dan kepastian hukum. “Industri hulu migas adalah industri padat modal. Investasi tinggi ini memerlukan sekali kepastian hukum,” kata Lukman. Lukman juga menambahkan peran sentral industri migas sebagai penyumbang hampir 30% APBN kita, sebesar US$35 milyar di tahun 2012.  Selain itu, IPA sangat mendorong dan mengutamakan pelaksanaan tata kelola korporasi yang baik, yang menjunjung tinggi etika, integritas dan kepatuhan.

Tampil sebagai pembicara pertama, Hotasi Nababan, memaparkan betapa kriminalisasi mengintai pekerja korporasi, baik BUMN maupun swasta. Akibat ketidakjelasan intrepertasi hukum dan tumpang tindih peraturan, siapa pun sangat mungkin dipersalahkan dengan dakwaan korupsi. “Integritas sebagian oknum di institusi peradilan kita, termasuk kejaksaan, membuat situasi semakin parah. Saya dan beberapa teman bertekad ingin terus bergerak untuk berupaya meluruskan keadaan.”ungkap Hotasi berapi-api. Hotasi menjabarkan bahwa ada upaya pemerasan oleh oknum tertentu terhadap dirinya dalam kasus Merpati, ia juga menduga hal yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus Chevron.
Erry Riyana menambahkan, bahwa reformasi birokrasi di Kejaksaan dan MA perlu dipercepat. “Institusi perlu diperkuat dan pada saat yang bersamaan oknum-oknum perusak institusi harus ditindak tegas.” terang Erry. Ia juga menjelaskan bahwa para penegak hukum harus berhati-hati untuk tidak begitu mudah memasukan kasus bisnis/perdata ke ranah korupsi.
Dalam pemaparannya, Johanes Widjanarko (Wakil Kepala SKK Migas), yang juga merupakan saksi kasus Chevron mengatakan, bahwa sebenarnya berbagai peraturan di sektor migas sudah sangat lengkap. Kasus yang muncul di industri ini tidak harus selalu dibawa ke ranah hukum, tetapi bisa diatasi dengan renegosiasi kontrak. Ia juga menambahkan bahwa kondisi yang kondusif di industri migas perlu dijaga, apabila tidak akan terjadi penurunan investasi dan kemunduran produksi minyak yang tentunya membahayakan sustainability perekonomian kita. “Dengan konsumsi sebesar 1,5 juta barrel perhari dan produksi 840.000 barrel per-hari, saat ini tingkat ketergantungan kita terhadap minyak impor sudah terlalu besar,” tandasnya.  
Dalam konteks HAM, Otto Nur Abdullah, mantan ketua Komnas HAM menyampaikan bahwa kasus HAM mengalami pergeseran yang cepat. “Dulu kasus HAM selalu melibatkan pemerintah dan rakyat sebagai korban, tetapi saat ini kasus yang menempatkan karyawan korporasi besar sebagai korban pelanggaran HAM sudah mulai muncul, dan perkembangan ini perlu diantisipasi oleh para pegiat HAM di Indonesia” kata Otto.
Di negara yang berdasar hukum, tidak ada seorangpun yang kebal hukum, dan tidak boleh ada penegak hukum yang memaksakan tindakan yang mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Diskusi bertema “Kriminalisasi Kebijakan Korporasi, Ancaman bagi Pekerja dan Hambatan serius Investasi di Indonesia” yang dilaksanakan di Kampus Pasca Sarjana Universitas Paramadina merupakan kerjasama antara Indonesian Petroleum Association (IPA) dan  Paramadina Public Policy Institute (PPPI), dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat serta memberikan masukan konstruktif kepada para pengambil kebijakan. “Insya Allah, kita akan mengadakan diskusi dengan berbagai topik secara periodik. Ini untuk kemajuan dan perbaikan negeri kita” kata Wijayanto Samirin, Managing Director PPPI yang juga moderator diskusi tersebut.



Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Wijayanto Samirin
Co-founder & Managing Director, PPPI

Dipnala Tamzil
IPA Executive Director


Tentang PPPI:

·        PPPI (Paramadina Public Policy Institute) adalah lembaga think-tank independen dan non-partisan berada di bawah Universitas Paramadina, bertujuan untuk mendorong pelaksanaan kebijakan publik yang baik yang memungkinkan Indonesia menggali potensinya yang luar biasa. PPPI memiliki fokus memberikan berbagai rekomendasi kebijakan kepada pemerintah.
·        PPPI melakukan berbagai riset, penyusunan policy recommendation untuk mendorong terwujudnya kebijakan publik yang tepat dan terarah. Melalui berbagai public discourse yang dilaksanakan, PPPI ingin terlibat dalam upaya edukasi bagi publik, stakeholder utama kebijakan publik.
·         Berbagai kegiatan dan program yang telah dilaksanakan atas kerjasama dengan berbagai lembaga dari dalam dan luar negeri dapat dilihat pada http://policy.paramadina.ac.id


Tentang IPA:

·        IPA (Indonesian Petroleum Association) adalah organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 1971, yang bertujuan untuk menyatukan pelaku utama di industri hulu minyak dan gas untuk bersama-sama menjunjung kemitraan dan komunikasi di industri yang memainkan peran penting dalam pembangunan nasional Indonesia.
·        Melaui 52 anggota perusahaan minyak dan gas nasional dan multinasional, 119 anggota perusahaan penunjang industri migas dan sekitar 2.012 anggota individu, IPA merepresentasikan sekitar 90% dari eksplorasi dan produksi minyak dan gas di Indonesia.
·        Misi IPA adalah untuk merealisasikan potensi hidrokarbon Indonesia untuk kepentingan pemerintah, investor dan masyarakat Indonesia.
·        IPA menyediakan forum bagi para anggotanya dan investor baru untuk saling bertukar info, pandangan, kekhawatiran dan inisiatif tentang industri.
·        IPA merupakan mitra dari institusi pemerintah (ESDM, MIGAS dan SKMIGAS) dengan memfasilitasi dialog dan komunikasi antara industri dan Pemerintah Indonesia.
·         IPA juga menggalakkan pendidikan, alih teknologi dan pengetahuan dalam industri maupun dengan masyarakat luas.
·        www.ipa.or.id

--
Public Relations Supervisor
Department of Marketing and Public Relations
Universitas Paramadina
Jalan Gatot Subroto Kav.97 Mampang Jakarta Selatan 12970
Telp +6221 7918 1188 ext.211 Fax +6221 799 3375

Tidak ada komentar:

Posting Komentar