Senin, 20 Mei 2013

Manufacturing Hope 71 : Kebahagiaan yang Hanya Hampir Saja Membuat Pertamina Tidak Diejek-ejek Sepanjang Masa


 
Oleh Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Hampir saja saya merasa bahagia yang berkepanjangan. Yakni ketika mengetahui bahwa laba PT Pertamina (Persero) berhasil mencapai Rp 25 triliun. Itulah laba terbesar dalam sejarah Pertamina. Juga laba terbesar di lingkungan BUMN. Bahkan laba terbesar yang bisa dicapai oleh sebuah perusahaan apa pun di Indonesia sepanjang tahun 2012.

Saya pun minta agar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengumumkannya. Agar capaian yang hebat itu bisa membuat masyarakat bangga pada Pertamina. Setidaknya bisa mengurangi ejekan sinis masyarakat kepada Pertamina. Maka pada laporan keuangan kepada publik bulan lalu, disertakanlah judul ini: Pertamina berhasil memperoleh laba terbesar dalam sejarahnya.

Melalui twitter (@iskan_dahlan) saya pun ikut membagi kebahagiaan itu. Tentu saya ingin memberikan penghargaan pada jajaran Pertamina. Berita gembira itu juga saya manfaatkan untuk kampanye menumbuhkan harapan umum. Manufacturing hope. Yakni bahwa perbaikan dan kerja keras yang dilakukan jajaran Pertamina sudah mulai memberikan hasil yang nyata. Berarti kalau perbaikan, efisiensi, dan kerja teras terus dilakukan, hasilnya akan lebih hebat lagi.

Saya ingin ada satu harapan untuk dunia twitter, khususnya yang terkait dengan politik, yang terlalu didominasi oleh pesimisme dan putus harapan. Pesimisme perorangan adalah hak, tapi pesimisme massal bisa membawa kehancuran.

Saya pun segera membayangkan bahwa masyarakat akan ikut bahagia mengikuti twit perkembangan terbaru di Pertamina itu. Dan saya akan menggunakan kebahagiaan masyarakat tersebut untuk terus memacu kinerja manajemen Pertamina. Misalnya lifting minyak yang harus naik untuk menjadikan Pertamina perusahaan minyak kelas regional.

Sekarang ini Pertamina baru bisa menghasilkan minyak 500 ribu barel per hari. Jauh dari kelas perusahaan minyak tingkat Asean sekali pun. Karena itu tahun ini Pertamina membentuk Brigade 300K. Terdiri dari anak-anak muda Pertamina yang umurnya maksimum 29 tahun. Brigade ini bertugas menambah produksi minyak Pertamina 300 ribu barel lagi per hari. Inilah brigade yang akan membuat produksi total Pertamina menjadi 800 ribu barel. Dan target itu harus tercpai akhir tahun depan. Di dalamnya dihitung produksi energi geothermal yang disetarakan dengan minyak.  

Tiap bulan saya mengikuti perkembangan Brigade 300K ini. Termasuk ikut mencarikan jalan keluar kalau terjadi hambatan di luar Pertamina. Misalnya bagaimana Pertamina bisa menjual geothermalnya ke PLN dengan cepat. Kesepakatan pun segera dicapai: sembilan lokasi geothermal milik Pertamina yang skalanya besar-besar itu bisa segera dikerjakan.

Tapi semua itu belum cukup. Harapan masyarakat terhadap Pertamina memang sangat besar. Pengumuman mengenai besarnya laba yang berhasil dicapai Pertamina itu, misalnya, ternyata belum bisa membahagiakan masyarakat. Mereka menginginkan Pertamina yang jauh lebih hebat. Mereka tidak mempersoalkan laba, omset, dan sebangsanya. Masyarakat menginginkan Pertamina yang membanggakan.

Masyarakat ternyata langsung membandingkannya dengan Petronas, Malaysia.
“Laba Petronas Rp 160 triliun!" ujar follower twitter saya.

Saya pun tersadar dari lamunan kebahagiaan. Terbangun. Kebahagiaan saya akan prestasi Pertamina itu ternyata hanya berlangsung kurang dari lima menit. Padahal semula saya mengira kebahagiaan itu akan berlangsung selama setahun penuh. Lalu disambung dengan kebahagiaan berikutnya manakala melihat hasil kerja jajaran Pertamina tahun 2013.
Ternyata hukum kebahagiaan tidak seperti itu. Bahagia itu bisa naik dan tiba-tiba bisa anjlok. Kebahagiaan saya itu langsung lenyap saat membaca twit pembandingan antara laba Pertamina dan laba Petronas.

Itu persis seperti kebahagiaan seorang pembina sepakbola di Indonesia. Setidaknya seperti yang saya alami selama memimpin Persebaya dulu. Begitu peluit panjang berbunyi dan Persebaya menang, bahagianya bukan main. Tapi kebahagiaan itu hanya berlangsung sekitar lima menit. Begitu keluar dari garis lapangan, para wartawan langsung mengerubung dengan pertanyaan yang mengakhiri kebahagiaan itu: berapa juta bonus yang akan diberikan kepada setiap pemain. Maka kebahagiaan pun langsung beralih ke bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar bonus saat itu juga.

Begitulah pula soal kebahagiaan Pertamina ini. Begitu kicauan mengenai laba Petronas tersebut saya baca hati saya langsung terbakar. Saya benar-benar gelisah. Pikiran saya dipenuhi pertanyaan ini: bagaimana cara mengejar Petronas. Sudah lama masyarakat tidak bisa menerima kalau Pertamina sampai kalah dari Petronas. Apalagi kalahnya telak.
Ketika berada di Rumah Sakit Tianjin untuk check-up rutin tahunan pekan lalu, saya memiliki waktu merenung lebih panjang. Saya utak-atik berbagai kemungkinan untuk bisa mengejar Petronas. Saya browsing di internet. Saya pelajari angka-angka. Kekalahan Pertamina atas Petronas itu ternyata sudah sangat lama. Sudah lebih 30 tahun. Grafiknya pun kian memburuk.

Tapi apa yang bisa diperbuat? Sungguh tidak mudah menemukan jalannya. Padahal soal kekalahan Pertamina ini sudah bukan lagi soal kekalahan sebuah perusahaan biasa. Ini sudah menyangkut harga diri negara dan bangsa. Ini sudah soal merah putih. Pertamina sudah menjadi lambang negara. Di bidang sawit kita sudah bisa mengejar Malaysia. Garuda Indonesia sudah mengalahkan Malaysia Airlines. Semen dan pupuk kita sudah jauh di depannya. Di bidang pelabuhan kita sedang mengejarnya dengan proyek PT Indonesia Port Corporation (Pelindo II) yang insyaallah pasti bisa.

Tapi kita masih belum bisa menemukan jalan untuk Pertamina. Program-program Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru akan bisa membuat Pertamina masuk ke jajaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh dari prestasi Petronas.
Memang ada jalan pintas. Bahkan sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman. Maksudnya, jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa mengalahkan Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya sudah bisa membuatnya sejajar dengan Petronas. Tapi saat saya menulis naskah ini, di sebuah ruang check-up Rumah Sakit Tianjin, saya terpikir kesulitan-kesulitannya: “jalan tol” itu bukan milik Pertamina. “Jalan tol” itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya tahun 2017 nanti: Blok Mahakam.

Saya pun minta Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, untuk membuat kalkulasi ini: seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertamina, berapa laba Pertamina di tahun 2018? Dan tahun-tahun berikutnya?
Dengan cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun.
Saya tidak tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa  bangganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar