Rabu, 22 Mei 2013

I Wayan Sudirta: “Suatu saat kewenangan DPD seimbang DPR”


Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal penegasan konstitusionalitas hak dan/atau kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), selanjutnya ditulis DPD, eksistensinya diyakini akan semakin diakui oleh masyarakat. Terlebih jika para senator atau anggota DPD mati-matian berjuang untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah.
I Wayan Sudirta, Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, menyatakan keyakinannya dalam rapat dengar pendapat PPUU DPD yang menghadirkan Sulastio, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC); Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi); dan Mike Verawati Tangka, Kordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (Seknas KPI) di lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5). Acara tersebut membahas model tripartit yang ideal dalam proses legislasi.
Wayan meyakini, perwujudan hak dan/atau kewenangan DPD yang seimbang DPR hanya masalah waktu. Lambat laun itu akan terjadi. “Kenapa saya mau kembali maju (calon anggota DPD), lembaga perwakilan ini suatu saat akan sampai ke muara, mencapai tujuan, yang kewenangannya seimbang DPR. Mungkin tidak sama; seimbang, iya. Ini hanya soal waktu, sejarah akan mencatat bahwa saya di DPD bisa terpilih berkali-kali, juga anggota yang lain, pasti tidak akan sia-sia asalkan bekerja sungguh-sungguh. Saya yakin.”
Apa yang menyebabkan situasi DPD seperti ini? Menurutnya, “Kalau jawabannya karena kewenangan nggak ada, pasti tidak seksi di mata media. Kalau dilihat kualitas anggota, sulit mengukur. Mengapa? Orang seperti Pak Fatwa (Andi Mapetahang Fatwa alias AM Fatwa) hebat sekali waktu di DPR. Begitu masuk DPD, silakan dinilai. Jadi, bukan karena kualitas anggotanya DPD begini. Jawabannya adalah karena kewenangannya nggak ada, nggak ada jawaban lain.”
Karena hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya di bidang legislasi dikebiri oleh dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), maka segala kegiatan DPD pra-putusan MK menjadi tidak menarik.
“Kekurangan kami adalah merangkul media, merangkul LSM (lembaga swadaya masyarakat), merangkut potensi-potensi masyarakat. Tapi ke depan, kami harapkan bisa merangkul semuanya.” Menyinggung produk legislasi DPD, ia mencontohkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. “Kami punya RUU versi sendiri, materinya ditentang oleh Pemerintah. Setelah melalui proses legislasi, RUU yang disahkan itu betul-betul buatan kami. Tapi masyarakat tidak mengetahui RUU itu buatan kami. Sehingga, sepertinya kami tidak bekerja. Ini bukan pembelaan.”
Senator asal Bali yang juga Koordinator Tim Litigasi DPD ini menegaskan, di beberapa daerah eksistensi anggota DPD justru lebih diakui masyarakat ketimbang anggota DPR, karena kesungguhan perjuangannya. Selain meneken kontrak politik, ada anggota DPD yang menolak perjalanan ke luar negeri dan menyerahkan gajinya untuk konstituen. “Ada anggota DPD asal Bali yang berani teken kontrak politik dengan masyarakat. Mungkin kontrak politik termasuk langka. Maka, anggota DPD itu bisa mati-matian melaksanakan isi kontrak politik. Tapi itu pun tidak banyak diliput media.”
Paulus Yohanes Sumino, senator asal Papua, menambahkan bahwa status sebagai senator merupakan jabatan yang istimewa karena posisinya lebih bebas dalam menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah. “Di sini (DPD), saya lebih bebas bicara atas nama rakyat. Tak seorang pun bisa menghambat.”
Oleh karena itu, ketika melaksanakan hak dan kewajiban sebagai anggota DPD ihwal mengajukan dan membahas RUU maka setiap anggota DPD sebenarnya bisa mengawal proses legislasinya dari tahapan awal ke tahapan akhir. Hanya saja, keseimbangan kewenangan antara DPR dan DPD menjadi kendala karena DPD tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). “Andaikan DPD bisa mengawalnya hingga ke tahapan akhir, tetapi apirasi daerah ternyata bisa dikalahkan oleh aspirasi politik, berarti belum tercapai keseimbangan antara DPR dan DPD.
Ia juga mencontohkan keterlibatan DPD ketika mengajukan dan membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta yang materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undangnya diakui Komisi II DPR mengakomodasi aspirasi masyarakat dan daerah DI Yogyakarta. “DPD kurang apa? Produk RUU versi DPD sangat baik, diakui Komisi II DPR. RUU versi Pemerintah nggak laku, ditinggalkan. Tetapi ada pasal yang tersandera. Jadi, kami tidak bisa mengawal aspirasi seterusnya.”

Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat Jenderal DPD
                           
Penanggungjawab:
Mahyu Darma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar